Kamis, 19 Agustus 2010 05:17
PERNYATAAN SIKAP FORUM SOLIDARITAS KEBEBASAN BERAGAMA
PERNYATAAN SIKAP
Indonesia merupakan negara majemuk, terdiri dari berbagai suku bangsa, agama maupun aliran kepercayaan yang merasa senasib untuk membentuk suatu negara yakni Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945, berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Kemajemukan dalam wujud Berbhineka Tunggal Ika ini merupakan kekayaan yang harus dipelihara sebagai alat persatuan bangsa, sebagaimana yang dicita-citakan dan diperjuangkan para pendiri bangsa kita. Dengan kemajemukan ini, tentunya negara berkewajiban dan bertanggung-jawab untuk melindungi dan menghormati setiap unsur-unsur pembentuk kemajemukan, termasuk didalamnya kebebasan beribadah, beragama dan berkeyakinan sebagai Hak Asasi Manusia yang sangat fundamental.
Tetapi kenyataan menunjukkan hal lain karena negara tidak konsisten memberikan perlindungan dan penghormatan terhadap hak atas kebebasan beribadah, beragama dan berkeyakinan bagi warganya. Hal ini dapat dilihat dari eskalasi penutupan, penyegelan dan penyerangan terhadap rumah ibadah yang dilakukan oleh negara dan non-negara, yang disebut dengan kelompok-kelompok vigilante (kelompok yang melakukan kekerasan dengan mengambil alih fungsi penegakan hukum). Dalam laporan Setara Institute pada siaran pers tanggal 26 Juli 2010 menyatakan bahwa sejak memasuki tahun 2010, eskalasi penyerangan terhadap rumah ibadah, khususnya jemaat Kristiani terus meningkat jika dibandingkan pada tahun sebelumnya. Pada tahun 2008, terdapat 17 tindakan, pada tahun 2009 terdapat 18 tindakan pelanggaran-pelanggaran yang menyasar Jemaat Kristiani dalam berbagai bentuk, tahun 2010 antara Januari - Juli terdapat 28 kasus yang sama. Berdasarkan catatan Persekutuan Gereja- Gereja di Indonesia (PGI), ada 16 kasus pelarangan beribadah dan penutupan gereja dan lembaga Kristiani tahun 2010.
Selain itu, rumah ibadah dan bangunan-bangunan pemeluk agama/keyakinan lainnya mengalami hal yang sama misalnya, pembongkaran rumah ibadah Ahmadiyah di Bogor, pembatasan ibadah jemaat Ahmadiyah di Tasikmalaya hingga pada Surat Perintah Bupati Kuningan, H. AANG HAMID SUGANDA untuk menyegel rumah ibadah Ahmadiyah pada bulan Juli 2010 di Manis Lor, Kuningan, Jawa Bara dan kasus penutupan/penyegelan rumah ibadah pemeluk agama lainnya.
Kasus terakhir menimpa Jemaat Gereja HKBP Pondok Timur Indah di Kelurahan Mustika Jaya, Bekasi Timur. Gereja ini telah berdiri selama kurang lebih 20 tahun, dan dalam kurun waktu yang sama berupaya mendirikan gedung Peribadatan / Gereja. Tetapi kenyataanya, negara melakukan ketidakadilan terhadap gereja tersebut karena rumah ibadahnya disegel Walikota Bekasi, MOCHTAR MOHAMMAD pada tanggal 01 Maret 2010 dan tanggal 20 Juni 2010, dengan alasan hanya karena adanya penolakan dari sekelompok masyarakat. Kejadian menyedihkan kembali dialami jemaat gereja tersebut dalam beberapa Minggu terakhir (11 Juli 2010, 18 Juli 2010, 25 Juli 2010, 01 Agustus 2010, 08 Agustus 2010), sekelompok massa (vigilante) berusaha menghalang-halangi bahkan melakukan penyerbuan dan kekerasan terhadap jemaat yang sedang melakukan ibadah di tanah milik gereja itu sendiri, yang terletak di Kampung Ciketing, RT 03/RW 06, Pondok Indah Timur, Bekasi Timur, Jawa Barat. Akibatnya, puluhan jemaat yang sebagian besar dari kaum perempuan menderita luka-luka, ironisnya tangisan dan jeritan warga jemaat menjadi tontonan aparat kepolisian yang datang dengan jumlah besar, yang semestinya memberikan pengamanan dan cenderung membiarkan aksi kekerasan berlangsung.
Problematika kebebasan beribadah, beragama dan berkeyakinan sebagaimana diuraikan di atas merupakan puncak gunung es, artinya bahwa kasus-kasus di atas hanya sebagian dari berbagai permasalahan yang ada. Kenyataan ini menunjukkan bahwa negara telah mengingkari nilai-nilai Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika yang mengakui dan menghargai keberagaman (pluralisme) sebagaimana dicita-citakan dan diperjuangkan para pendiri negara. Dalam ini juga negara gagal mengikat keseluruhan keberagaman (perbedaan-perbedaan) menjadi suatu persatuan.
Berbicara mengenai hak asasi manusia, dalam hal ini Negara, utamanya Pemerintah telah mengingkari Konstitusi dan peraturan hukum lainnya yang mengakui eksistensi hak atas kebebasan beribadah, beragama, dan berkeyakinan sebagaimana dimaksud dalam dalam Pasal 28E ayat (1) dan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 jo. Pasal 22 Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia jo. Pasal 18 UU. No. 12 Tahun 2005 Tentang Ratifikasi Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik jo pasal 18 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM).
Secara khusus perlu ditegaskan bahwa hak beribadah secara sendiri-sendiri atau bersama-sama di tempat tertutup atau terbuka merupakan hak asasi manusia yang dijamin dalam Konstitusi dan peraturan hukum lainnya sebagaimana disebutkan di atas.
Di sisi lain, perlu juga ditegaskan bahwa penutupan/penyegelan rumah ibadah selain melanggar hak konstitusional warga negara, dari segi kebijakan publik menunjukkan adanya kekeliruan dan kesalahan mendasar karena hal tersebut merupakan bentuk intervensi negara terhadap hak privasi warga negara. Semestinya negara lebih fokus mengurus persoalan kemiskinan, kesehatan, pendidikan, petani dan pertanian, nelayan, buruh, kaum miskin kota dan kelompok-kelompok lemah lainnya.
Refleksi Hari Kemerdekaan 17 Agustus
Hari Kemerdekaan 17 Agustus, yang akan kita rayakan beberapa hari lagi menjadi momentum tepat untuk merefleksikan eksistensi kemerdekaan yang diperjuangkan para pendiri bangsa yang terdiri dari berbagai suku bangsa dan golongan. Momentum ini juga sangat tepat untuk melihat berbagai permasalahan kebebasan beribadah, beragama dan berkeyakinan bagi pemeluk agama tertentu, sekaligus mempertanyakan eksistensi 65 tahun kemerdekaan, benarkah kita sudah merdeka? Hari Kemerdekaan 17 Agustus ini merupakan momentum tepat untuk menemukan kembali kemerdekaan yang hakiki bagi setiap warga negara, khususnya hak atas kebebasan beribadah, beragama, dan berkeyakinan.
Hari Kemerdekaan 17 Agustus seharusnya juga menjadi pembelajaran bagi negara untuk dapat memberikan perlindungan dan penghormatan terhadap hak-hak warga negara dalam melaksanakan ibadahnya, agamanya dan keyakinannya. Tanggung jawab ini dapat dilakukan dengan membuat aturan hukum dan kebijakan yang menciptakan rasa aman bagi warga negara dalam melaksanakan ibadah, agama dan keyakinannya. Ini merupakan amanat hukum dan HAM, yaitu bahwa negara mempunyai kewajiban pokok terhadap Hak Asasi warga negara yaitu: melindungi (to protect), memenuhi (to fulfill) dan menghormati (to respect) hak asasi warga negara, dimana hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan turut di dalalamnya.
Didasarkan pada uraian diatas, kami FORUM SOLIDARITAS KEBEBASAN BERAGAMA menyatakan sikap kami sebagai berikut:
1. Negara dalam hal ini Pemerintah, terutama Presiden harus bertanggung jawab untuk menjamin hak-hak warga negara untuk beribadah, beragama dan berkeyakinan yang merupakan Hak Asasi yang tidak bisa dikurangi dalam keadaan apapun (non derogable rights),sesuai dengan UUD 1945, UU. No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, UU. Nomor. 12 Tahun 20005 Tentang Ratifikasi Konvenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.
2. Negara harus menindak tegas terhadap tindakan kekerasan atas nama agama yang dilakukan oleh kelompok-kelompok vigilante /ormas radikal terterhadap penganut agama tertentu.
3. Negara harus mencabut peraturan perundang-undangan yang diskriminatif, yang membelenggu hak atas kebebasan beribadah, beragama dan berkeyakinan.
4. Negara seharusnya mengurus kepentingan publik, seperti masalah kemiskinan, pengangguran, buruh, petani, nelayan, kaum miskin kota dan kelompok-kelompok lemah lainnya, bukan mengurus urusan keagamaan yang merupakan ranah privat (pribadi)
Jakarta, 15 Agustus 2010
21 September 2010
Negara dan Kebebasan Beragama
• Oleh Abu Rokhmad
Menafsirkan ajaran agama secara anarkis tanpa melihat rambu-rambu ilmu, hukum, dan sosial dapat berpotensi menimbulkan benturan antarmasyarakat
ISTILAH aliran sesat, ajaran menyimpang, atau gerakan sempalan, sudah lama populer di lndonesia. Sebutan ini lazim dikenakan kepada orang, jamaah, aliran, atau pikiran yang dianggap aneh alias menyimpang dari akidah, ibadah, amalan, atau pendirian mayoritas umat. Karena itu, kajian tentang aliran sesat atau gerakan sempalan selalu bertolak dari suatu pengertian tentang ortodoksi atau mainstream (aliran induk).
Tanpa ortodoksi, takkan ada sempalan. Jadi, gerakan sempalan adalah aliran yang menyimpang atau memisahkan diri dari ortodoksi. Karena menyempal maka dihinakan sebagai aliran sesat dan ajarannya dianggap menyimpang. Untuk memudahkan pemahaman tesis ini, sebutlah contohnya Jamaah Ahmadiyah.
Mereka dianggap menyimpang dari aliran induk. Ajarannya sedikit berbeda tapi sangat krusial bagi aliran induk. Misalnya aliran induk mengatakan bahwa Muhammad SAW adalah nabi dan utusan terakhir, sedang Ahmadiyah berpendapat tidak demikian. Karena perbedaan itulah, mereka dianggap sesat. Lantas apa dan siapa yang salah? Bagaimanakah sejatinya kebebasan beragama?
Apa yang menimpa Ahmadiyah dapat ditarik sebagai masalah kebebasan beragama. Pejuang dan aktivis HAM selalu berdalih bahwa setiap orang bebas meyakini dan menafsirkan ajaran agamanya. Adalah HAM-nya warga Ahmadiyah untuk meyakini seperti itu. Di sisi lain, muncul kritik tajam bahwa HAM tidak identik dengan perilaku semau gue. Kebebasan beragama dan berkeyakinan harus menghindari penghinaan dan penodaan terhadap keyakinan orang lain.
Semua persoalan yang menyangkut kebebasan beragama dan berkeyakinan tidak mudah diselesaikan. Buktinya, kekerasan atas nama agama dan pemaksaan berkeyakinan masih menjadi fenomena rutin di negeri ini. Setidaknya ada tiga faktor yang membuat implementasi kebebasan beragama tidak mudah dilakukan.
Pertama, perbedaan definisi tentang apa yang dimaksud dengan kebebasan beragama dan keyakinan itu? Jika yang dimaksud adalah kebebasan untuk memeluk atau tidak memeluk suatu agama tertentu, hemat saya tidak menjadi masalah. Begitu pun bila yang dimaksud adalah kebebasan untuk membuat agama baru dan meyakininya sebagai agama yang benar, hemat saya juga tidak masalah.
Wajib Menegakkan Kedua, perbedaan definisi tentang HAM. Apakah HAM identik dengan kebebasan sebebas-bebasnya, sehingga setiap orang bebas dan berhak mengaku sebagai tuhan, rasul, dan nabi yang sedang menyampaikan risalah kepada manusia. Kebebasan beragama yang diyakini seperti ini adalah bagian dari HAM yang anarkis; identik dengan kehidupan di rimba raya. Padahal, masyarakat yang lain juga memiliki HAM yang perlu dihormati pula.
Ketiga, apa yang dimaksud dengan melindungi HAM sama saja artinya dengan melanggar sebagian HAM milik orang lain. Batas-batas HAM yang dimiliki setiap orang adalah ketika kebebasan beragama dan keyakinannya telah membuat orang lain (yang seagama dengannya) merasa tidak nyaman dan terganggu karenanya.
Tiga faktor di atas perlu dituntaskan pembahasannya agar kasus yang menimpa Ahmadiyah tidak terulang kembali. Menafsirkan ajaran agama secara anarkis tanpa melihat rambu-rambu ilmu, hukum dan sosial berpotensi menimbulkan benturan antarmasyarakat. Menafsir tentang ajaran jihad dan menyimpulkan bahwa semua orang yang menentang Islam dicap kafir dan halal darahnya adalah HAM bagi yang meyakininya. Keyakinan seperti ini pasti tidak semua orang setuju.
Dalam masalah agama dan hal-hal yang berhubungan dengannya, peran negara sesungguhnya diatur secara jelas dalam konstitusi,’’Negara menjamin kebebasan warganya menjalankan agama dan kepercayaannya masing-masing’’. Secara filosofis, jaminan ini adalah komitmen dan janji agung negara kepada warganya yang wujud konkretnya berupa disusunnya berbagai peraturan organik dan kesediaan aparatus negara mengimplementasikannya.
Dengan kata lain, sepanjang kebebasan beragama dan berkeyakinan seseorang atau kelompok tidak mengganggu kebebasan beragama dan berkeyakinan orang atau kelompok lain, maka negara tidak boleh ikut campur di dalamnya. Namun, ketika kebebasan beragama telah menimbulkan masalah di masyarakat, maka negara wajib menegakkan hukum yang berlaku. (10)
— Doktor H Abu Rokhmad MA, dosen IAIN Walisongo Semarang
Potret Buram Kebebasan Beragama
Oleh Saidiman Ahmad
Negara yang absen dalam perlindungan hak atas kebebasan beragama menjadi pintu gerbang pelbagai bentuk tindakan kekerasan dan diskriminatif terhadap penganut-penganut agama minoritas. Hal ini berkali-lipat menjadi lebih buruk ketika ternyata negara tidak sekedar absen memberi perlindungan, melainkan juga secara aktif melakukan tindakan pelanggaran.
Bagaimana merumuskan kehidupan keagamaan di Indonesia memang telah menjadi perdebatan yang tak kunjung selesai. Ketidakselesaian pembahasan itu tentu bukan khas Indonesia. Hampir seluruh negara di muka bumi ini mengalami persoalan yang sama: belum selesai merumuskan kehidupan beragama.
Beberapa Kemajuan
Namun di tengah proses yang terus berjalan itu, harus diakui bahwa Indonesia mengalami sejumlah kemajuan penting. Amandemen Undang-undang Dasar 1945 secara tegas memasukkan unsur kebebasan beragama dan berkeyakinan. Pada pasal 28 E ayat 1, 2 dan 3, pasal 28 I ayat 1 dan 2, dan pasal 29 ayat 2 UUD 1945 menyatakan tentang kebebasan warga negara untuk meyakini dan menjalankan keyakinannya masing-masing.
Pada tahun 2005, Indonesia telah meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik melalui UU No.12/2005. Kovenan ini jelas menunjukkan dukungan terhadap gagasan mengenai kebebasan beragama. Pasal 18 kovenan ini menjelaskan konsep mengenai kebebasan beragama.
Pada 25 November 1981, Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB)—di mana Indonesia adalah salah satu anggotanya—mengeluarkan resolusi Sidang Umum PBB No.36/55/1981 tentang Declaration of the Elimination of All Forms of Intolerance and of Discrimination Based on Religion or Belief. Deklarasi ini memberi dukungan kebebasan beragama secara luas baik dalam bentuk keyakinan maupun ekspresi keyakinan berupa ibadah, pendirian rumah ibadah, pendirian komunitas, dakwah, dan penyebaran gagasan melalui pelbagai media.
Perangkat hukum lain yang menjamin kebebasan beragama adalah UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pasal 4 UU ini menyebutkan bahwa hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun. Pada pasal 22 ayat 2 menyebutkan bahwa negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Diskriminasi Konstitusional
Meski mengalami kemajuan, tetapi kemajuan itu sangat terasa tertinggal jika dibandingkan dengan negara-negara maju yang secara konsisten memberi pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia, khususnya tentang hak atas kebebasan beragama. Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik, misalnya, baru diratifikasi pada tahun 2005, padahal kovenan ini telah ada sejak 1966.
Hal lain yang cukup merisaukan adalah masih adanya sejumlah perangkat UU yang diskriminatif. UU diskriminatif yang paling banyak disorot, dalam hubungannya dengan kebebasan beragama, adalah UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. UU ini pada mulanya adalah Penetapan Presiden Tahun 1965 yang kemudian statusnya diangkat menjadi UU pada tahun 1969. Pasal 1 UU tersebut menyatakan bahwa setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.
Implikasi UU No. 1/PNPS/1965 ini adalah tercantumnya delik hukum pada pasal 156 a Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang mengatur tentang pemidanaan lima tahun penjara bagi siapapun yang di muka hukum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan (a) yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia (b) dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan ke-Tuhanan Yang Maha Esa.
Gugatan Judicial Review yang dilakukan oleh sejumlah tokoh dan LSM terhadap UU No. 1/PNPS/1965 mengalami beberapa benturan konstitusional yang cukup serius. Di samping pencantuman gagasan kebebasan beragama, Konstitusi ternyata juga secara eksplisit mengandung unsur yang melegitimasi pembatasan kebebasan beragama. Pasal 28 J ayat 2 UUD 1945 menyebutkan: “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”
Di atas segalanya, dasar negara, Pancasila, sebenarnya sejak mula telah mencantumkan sila diskriminatif dan pembatasan kebebasan beragama. Sila pertama Pancasila secara tegas menyatakan: “Ketuhanan Yang Maha Esa.” Sila diskriminatif ini kemudian dipertegas oleh pasal 29 ayat 1 UUD 1945: “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi pada 2005 juga tidak tanpa masalah. Pasal 18 ayat 3 Kovenan tersebut menyatakan: “Kebebasan untuk mengejewantahkan agama atau kepercayaan seseorang hanya dapat dibatasi oleh ketentuan berdasarkan hukum dan apabila diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan atau moral masyarakat, atau hak-hak dan kebebasan mendasar orang lain.” Dengan demikian, kovenan ini membuka kemungkinan bagi pembatasan kebebasan beragama setidaknya pada lima alasan: (1) keamanan (public safety), (2) ketertiban (public order), (3) kesehatan (public health), (4) moral (public moral) dan (5) hak-hak atas kebebasan orang lain.
Fakta Kekerasan
Sepintas lalu tampak bahwa semua instrumen perundang-undangan di atas tidak memiliki persoalan pada hak sipil mengenai kebebasan beragama. Ketertiban sosial, misalnya, bahkan sangat diperlukan untuk penegakan hukum. Hanya pada kondisi di mana hukum dihormatilah kebebasan beragama bisa tercapai. Dan hanya pada kondisi normal dan stabillah penegakan hukum bisa diwujudkan.
Laporan indeks kebebasan beragama yang dilakukan sejumlah lembaga beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa persoalan kebebasan beragama justru bermula dari pendefinisian mengenai ketertiban, keamanan, dan moral sosial, juga beberapa kali dengan alasan untuk melindungi hak-hak kebebasan orang lain. Sejumlah kasus kriminalisasi terhadap kelompok minoritas dan agama-agama baru justru terjadi di atas argumen bahwa keyakinan kelompok-kelompok tersebut telah meresahkan warga dan berpotensi menimbulkan konflik sosial. UU No. 1/PNPS/1965 secara nyata digunakan dalam sejumlah bentuk kriminalisasi atas kebebasan beragama. Kasus-kasus seperti Lia Eden, Ahmadiyah, Salat Bersiul dan semacamnya dijatuhi hukuman pidana berdasarkan UU ini. Dan yang lebih mengerikan adalah bahwa UU ini telah digunakan oleh sejumlah elemen masyarakat untuk melakukan kekerasan tanpa memperoleh tanggapan serius dari negara (tidak diproses secara hukum).
Dengan demikian, pencegahan keonaran atau anarkhi yang menjadi semangat UU ini sama sekali tidak tercipta dalam penerapannya. Yang terjadi justru UU ini menjadi alat legitimasi bagi terciptanya rasa tidak aman untuk menjalan agama dan keyakinan pribadi.
Akibat lebih jauh terhadap adanya sejumlah instrumen UU yang diskriminatif adalah keterlibatan negara secara konsisten dalam kegiatan diskriminasi dan pelanggaran hak kebebasan beragama. Sejumlah data indeks kebebasan beragama yang ditunjukkan oleh sejumlah lembaga menyatakan bahwa negara sangat aktif dalam melakukan atau terlibat dalam kegiatan pelanggaran hak atas kebebasan beragama. Setara Institute merilis temuan bahwa dari 291 tindakan pelanggaran kebebasan beragama tahun 2009, 139 di antaranya dilakukan oleh negara. Wahid Institute melaporkan ada 35 kasus pelanggaran kebebasan beragama dan/atau keyakinan yang dilakukan oleh negara sepanjang tahun 2009. Moderat Moslem Society mengidentifikasi 22 dari 59 kasus intoleransi sepanjang 2009 dilakukan oleh pemerintah. Sementara Center for Religious & Cross-cultural Studies (CRCS) mengidentifikasi sejumlah kasus di mana negara juga terlibat aktif seperti persoalan seputar rumah ibadah dan Ahmadiyah.
Temuan-temuan ini semakin mempertegas bahwa negara tidak hanya absen di dalam perlindungan hak-hak kebebasan beragama, melainkan juga secara aktif melakukan tindakan pelanggaran kebebasan beragama. Aktivitas negara melanggar kebebasan beragama tersebut dilakukan dalam bentuk tindakan aktif (by commission) dan pembiaran (by omission). Yang mengejutkan adalah bahwa tindakan aktif di mana aparatus negara berinisiatif melakukan pelanggaran sangat dominan. Dari 139 pelanggaran negara yang dilaporkan oleh Setara, 101 di antaranya dilakukan dalam bentuk keterlibatan aktif (by commission).
Kondisi semacam ini sangat merisaukan. Negara yang absen dalam perlindungan hak atas kebebasan beragama menjadi pintu gerbang pelbagai bentuk tindakan kekerasan dan diskriminatif terhadap penganut-penganut agama minoritas. Hal ini berkali-lipat menjadi lebih buruk ketika ternyata negara tidak sekedar absen memberi perlindungan, melainkan juga secara aktif melakukan tindakan pelanggaran. Pantauan yang dilakukan oleh Setara Institut dalam tiga tahun terakhir menunjukkan grafik yang bergerak naik. Meski lebih banyak pelanggaran yang terjadi pada tahun 2008 di banding tahun 2009, namun jika ditarik garis dari tahun 2007 sampai 2009, maka akan ditemukan trend pelanggaran yang menaik.
Melihat fakta-fakta hukum yang ada, tampaknya kelompok-kelompok minoritas masih tetap harus dirundung malang dalam jangka waktu yang lama. Salah satu sumber petaka diskriminasi, UU No. 1/PNPS/1965, memang sedang dibahas oleh Mahkamah Konstitusi. Tetapi belum lagi MK memberi keputusan, Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) baru sedang disusun dan diusulkan untuk ditetapkan. RUU ini secara terperinci mengurai pembatasan kebebasan beragama.
Tentu kita mengharapkan terpenuhinya hak-hak kebebasan warga secara penuh, namun tampaknya kita mesti lebih banyak bersabar.
Kebebasan Beragama Kisah Negara
Pertanyaan yang Sering Diajukan
Berikut adalah beberapa pertanyaan yang sering diajukan tentang hasil dari sebuah negara Restorasi Undang-Undang Kebebasan Beragama.
What is a Religious Freedom Restoration Act? Apa yang dimaksud dengan Restorasi Undang-Undang Kebebasan Beragama?
Sebuah Kebebasan Beragama Restorasi Act (RFRA) membangun kembali tes yang pengadilan harus digunakan untuk menentukan apakah keyakinan keagamaan seseorang harus diakomodasi bila tindakan pemerintah atau peraturan melarang praktek agama nya. Dikenal sebagai "uji bunga menarik," mengharuskan tes ini pemerintah untuk membuktikan dengan bukti bahwa regulasi adalah (1) penting untuk mencapai suatu kepentingan pemerintah yang menarik dan (2) cara pembatasan paling tidak untuk mencapai's menarik bunga pemerintah.
Menggunakan "Tes bunga menarik," dibutuhkan pengadilan negara untuk menunjukkan bahwa (1) sertifikasi guru sangat penting untuk memenuhi's menarik kepentingan negara bahwa anak-anak dididik dan (2) bahwa sertifikasi guru adalah alat pembatasan paling tidak untuk memenuhi bunganya.
Negara itu mampu menunjukkan tanpa kesulitan banyak sehingga memiliki minat yang menarik dalam melihat warganya dididik. Tapi karena pasangan anak-anak ini adalah penilaian di atas persentil ke-90 pada tes standar, negara tidak bisa membuktikan sertifikasi guru sangat penting bagi anak-anak untuk dididik dan cara-cara pembatasan paling tidak untuk mencapai tujuan itu.
Dengan demikian, karena negara tidak bisa memuaskan "uji bunga menarik," orang tua diizinkan untuk melanjutkan mengajar anak-anak mereka sesuai dengan keyakinan agama mereka
Mengapa negara RFRA yang dibutuhkan?
Sebelum tahun 1990 Mahkamah Agung AS digunakan uji-atas "menguji kompetensi menarik"-ketika memutuskan klaim keagamaan. Namun, dalam keputusan 1990 (Pekerjaan Div. Of Oregon v. Smith) Pengadilan memiringkan timbangan keadilan dalam mendukung peraturan pemerintah. Pengadilan membuang uji bunga menarik, yang terlindung kebebasan beragama kita dari peraturan pemerintah berat selama lebih dari 30 tahun.
Keputusan Smith mengurangi standar review dalam kasus-kasus kebebasan beragama ke. Dalam "lain kata" standar kewajaran, jika peraturan negara adalah "wajar" (yang mereka hampir selalu adalah), seorang penentang agama kehilangan. Sementara semua hak-hak dasar lainnya (kebebasan berbicara, pers, perakitan, dll) tetap dilindungi dengan ketat "test bunga menarik," dipilih Mahkamah keluar kebebasan beragama, mengurangi perlindungan kepada yang lemah "uji kewajaran."
Pada tahun 1993, Kongres berusaha untuk memperbaiki keputusan Smith dengan memberlakukan Agama Kebebasan Restorasi federal Undang-Undang. Undang-undang ini hanya memulihkan "menguji kompetensi menarik" dalam kasus-kasus kebebasan beragama. Empat tahun kemudian, RFRA federal telah tertimpa oleh Mahkamah Agung AS di Kota 1.997 kasus Boerne.
Sebagai masalah praktis, berikut adalah kehidupan nyata beberapa contoh pemerintah membatasi latihan bebas dari agama yang telah terjadi di bawah "uji kewajaran."
Di antara konflik peraturan zonasi lain, pelayanan gereja untuk tunawisma ditutup karena terletak di lantai dua gedung dengan lift no.
d) Sebuah gereja dilarang oleh peraturan kota setempat dari makan lebih dari 50 orang per hari.
e) Justice Fellowship reports that a Jewish minimum-security prisoner (CPA in jail for fraud, in 6th year of 8-year term) was denied the right to attend high holy day celebrations. e) Keadilan Fellowship melaporkan bahwa seorang tahanan minimum-security Yahudi (BPA di penjara untuk penipuan, dalam jangka waktu 6 tahun 8 tahun) adalah ditolak haknya untuk menghadiri perayaan hari kudus tinggi.
Bagaimana suatu negara menetapkan suatu hukum RFRA jika Mahkamah Agung AS telah memutuskan UU inkonstitusional?
1993 RFRA federal mencoba untuk menggunakan 'kekuasaan Kongres dalam Bagian 5 dari 14 Perubahan ke untuk meminta baik pemerintah federal dan negara untuk menggunakan "menguji kompetensi menarik" dalam kasus-kasus kebebasan beragama.
Namun, ketika Mahkamah Agung memukul RFRA federal pada tahun 1997 (Kota Boerne ay Flores), masalah tidak dengan itu, AS oleh Mahkamah Agung menarik "kepentingan tes." Uji telah digunakan, seperti yang disebutkan sebelumnya sendiri selama lebih dari 30 tahun. Sebaliknya, sementara Mahkamah Agung mengakui legitimasi "uji bunga menarik," Kongres memutuskan seperti itu tidak dapat meminta negara untuk menggunakan tes ini dalam kasus-kasus kebebasan beragama.
Berdasarkan prinsip ini dan keputusan Boerne, negara-negara bebas untuk menetapkan RFRAs mereka sendiri, sehingga memilih untuk menerapkan "bunga yang lebih tinggi" menarik uji standar dalam agama sendiri kasus kebebasan mereka.
Akankah negara Undang-Undang Kebebasan Beragama menciptakan peningkatan litigasi?
No RUU ini hanya akan mengembalikan "uji bunga menarik," mana Mahkamah Agung AS didirikan hampir 40 tahun lalu sebagai standar review untuk kasus-kasus hak-hak dasar.
Ini "menguji kompetensi menarik" bekerja dengan baik selama lebih dari 30 tahun tanpa ledakan kasus kebebasan beragama. Penerapan yang konsisten dari "menguji kompetensi menarik" di pengadilan "menyamakan lapangan bermain," memberikan orang-orang beriman religius tulus kesempatan yang adil terhadap peraturan negara yang melanggar keyakinan agama mereka. Sering kali, kedua organisasi konservatif dan liberal kebebasan beragama dan sipil berhasil menggunakan "menguji kompetensi menarik" untuk membela hak-hak individu untuk secara bebas melaksanakan keyakinan agama mereka.
Seperti disebutkan di atas, RFRA federal, yang memulihkan "menguji kompetensi menarik" dalam kasus-kasus kebebasan beragama, ini berlaku efektif dari ditetapkannya pada tahun 1993 sampai Mahkamah Agung AS memukul ke bawah pada tahun 1997. Tidak ada catatan dari sebuah ledakan di litigasi kebebasan beragama selama periode empat tahun.
Selanjutnya, dua belas negara telah secara resmi lulus RFRAs untuk secara khusus mengembalikan aplikasi dari "menguji kompetensi menarik" dalam kasus-kasus kebebasan beragama (AL, AZ, CT, FL, ID, IL, NM, OK, PA, RI, SC, TX). Tujuh negara lebih, melalui preseden pengadilan negeri, telah membentuk sebuah "uji bunga menarik" independen Mahkamah Agung AS merusak diutamakan dalam Smith dan Boerne (KS, MA, MN, OH, VT, WA, WI, dan MI.) Tidak ada negara ini mengalami ledakan dalam litigasi latihan bebas.
Berdasarkan kurangnya contoh litigasi berlebihan selama hampir 30 tahun pengalaman menggunakan "uji bunga menarik" untuk kebebasan beragama (baik sebelum keputusan Smith dan selama tahun RFRA federal), kami percaya bahwa memulihkan tes ini akan menghasilkan sangat sedikit, jika ada litigasi, baru.. Bahkan, menjelaskan standar untuk kebebasan beragama menurut hukum negara mungkin terbukti mengurangi jumlah litigasi, karena hukum standar yang ditetapkan secara jelas sering menyebabkan pihak untuk menyelesaikan sengketa sebelum terjadi kemudian litigasi.
Apakah ini juga meningkatkan biaya untuk kantor pengacara umum dalam membela pejabat negara?
"menguji kompetensi menarik" bukanlah hal baru. It has been in effect for most of the last 40 years. Telah berlaku untuk sebagian besar 40 tahun terakhir.. dan pejabat negara belum dibanjiri dengan setelan kebebasan beragama.
Tak satu pun dari negara-negara yang telah melewati negara RFRA pernah mengalami tanda ledakan kasus kebebasan beragama, termasuk Rhode Island di mana hukum adalah sembilan tahun. "menguji kompetensi menarik" adalah waktu-diuji.
Selanjutnya, "menguji kompetensi menarik" hanyalah sebuah "uji balancing." Hal ini tidak memberikan sebuah agama pengadu menang otomatis. Ini hanya "GENAP lapangan bermain" untuk si kecil.
Apakah keadaan RFRA mengganti semua obat yang ada untuk melindungi kebebasan beragama?
No negara Sebuah RFRA hanya menciptakan sebuah "lagu" tambahan yang seorang penuntut agama dapat digunakan untuk melindungi latihan bebas tentang agama. State constitutional and federal constitutional remedies are still available. solusi konstitusional Negara konstitusional dan federal masih tersedia.
Apakah ada masalah dengan kurangnya definisi untuk "keyakinan agama"?
Isu pertama adalah keprihatinan atas tidak adanya definisi keyakinan agama.
Ada tubuh besar kasus hukum yang berkaitan dengan definisi Hukum Kebebasan Beragama "agama. (" Untuk rangkuman yang baik dari kasus hukum melihat Carl H. Esbeck A dari Penyajian Kembali tersebut, Mahkamah Agung: Coherence, Konflik, atau Chaos? , Sebagai contoh, di AS v. Seeger, 380 US 163, 176 (1965), Mahkamah Agung AS keyakinan agama didefinisikan sebagai "dan bermakna keyakinan tulus yang menempati dalam kehidupan pemiliknya tempat yang sejajar dengan yang diisi oleh Allah."
Para perancang tahun 1993 RFRA federal dianggap mendefinisikan "agama" tetapi memutuskan untuk tidak melakukannya terutama karena Mahkamah Agung AS telah melakukannya. Karena Mahkamah Agung AS telah didefinisikan keyakinan agama dalam puluhan kasus dengan kejelasan yang cukup, tidak perlu untuk mendefinisikan itu dalam keadaan RFRA.
Para setan hipotesis yang ditolak akses ke sekolah bisa membuat klaim di bawah Klausul Pidato Free, Klausul Bebas Latihan, dan Equal Access Act. Kasus mereka mungkin akan dipertimbangkan di bawah Undang-Undang Equal Akses dan Amandemen Pertama's Free Speech hukum latihan Ayat-tidak bebas. Di bawah Akses Equal Act (berlaku sejak 1984), jika sekolah memungkinkan satu kelompok noncurriculum bertemu, maka harus membiarkan semua kelompok noncurriculum bertemu. Ketika Kongres sedang mempertimbangkan Equal Access Act, orang-orang khawatir bahwa hal itu akan menyebabkan ledakan setan, Nazi, dan membenci kelompok-kelompok yang ingin bertemu dan berorganisasi di sekolah, namun, ini "ledakan" belum terjadi.
Dalam Klausul Pidato Free Amandemen Pertama, ekspresi keagamaan menerima tingkat perlindungan yang sama sebagai ekspresi nonreligius. hak berbicara bebas adalah dasarnya pagu hak latihan bebas. Standar ulasan untuk kasus-kasus kebebasan berbicara adalah "kepentingan tes menarik" memberikan individu-individu yang menggunakan hak mereka untuk kebebasan berbicara tingkat tertinggi perlindungan. Lihat Heffron v. Int'l Masyarakat Kesadaran Krishna, 452 US 640, 652-53 (1981) (ajakan pada adil dasar negara).
Jadi, sekali sekolah memungkinkan Persekutuan Kristen Atlet bertemu setelah jam kerja, maka harus membiarkan kelompok lain. Ini adalah kasus terlepas dari standar hukum latihan bebas. Sekolah tidak bisa membedakan antara kelompok-kelompok kecuali sejauh yang dibutuhkan untuk mengatur pidato mengganggu. See, eg, Tinker v. Des Moines , 393 US 503 (1969). Lihat, misalnya, Tinker v. Des Moines, 393 US 503 (19
By Christopher J. Klicka, Senior Counsel for Home School Legal Defense Association. Oleh Christopher J. Klicka, Penasihat Senior untuk Home Sekolah Dasar Hukum Pertahanan. Permission to reprint granted. Izin untuk mencetak ulang diberikan.