PRAKTEK KLINIK PROFESI UNIT KEPERAWATAN MATERNITAS
PSIK – FK UNAIR SURABAYA
LAPORAN PENDAHULUAN
NAMA : Subhan TEMPAT PRAKTEK: RB II
NIM : 010030170 B TANGGAL : 8-12 April 2002
TOPIK : ASUHAN KEPERAWATAN PADA IBU DENGAN POST PARTUM (MASA NIFAS)
Gangguan Pemenuhan Kebutuhan Dasar
(Dikaitkan Dengan Patofisiologi, Insiden dan Prognosis Penyakit)
1. PENGERTIAN:
Puerperium (masa nifas) adalah masa sesudah persalinan yang diperlukan untuk pulihnya kembali alat kandungan yang lamanya 6 minggu. Kejadian yang terpenting dalam nifas adalah involusi dan laktasi.
2. PATOFISIOLOGI:
Post partum/masa nifas/puerperium
Aspek fisiologis Aspek psikososial
Tanda vital Sist.kardiovaskuler Sist.endokrin Sist.urinaria Kelahiran bayi
Sist.pencernaan Sist.muskuloskletal Reproduksi Perubahan dalam keluarga
Adaptasi Tidak beradaptasi
Suhu meningkat Sensasi eks.bawah
Breast engorgement Tromboplebitis
Edema Resiko ggn.proses parenting
Nyeri Ggn. Pemenuhan ADL Diuresis
Resiko gangguan proses laktasi Urgensi
Resiko infeksi puerperalis Urinary frekuency
Nafsu makan Meningkat Prod. Hormon turun.
Penurunan tonus abdomen Prolaktin meningkat Ggn. Eleminasi BAK
Prod. ASI
Resiko konstipasi Resiko ggn. Proses parenting
Bradikardia Involusi uteri
Takikardia involusi daerah impalntasi plasenta
Cerviks
Instability vasomotor Perubahan pd. vagina
Kencang pd clitoris dan labia
Diaporesis/menggigil Luka perineum
Pengeluaran kolostrum.
Gangguan rasa nyaman
Resiko infeksi puerperalis
Ggn.rasa nyaman(nyeri)
Resiko ggn proses laktasi
Pemeriksaan Diagnostik Hasil:
1. Kondisi uterus: palpasi fundus, kontraksi, TFU.
2. Jumlah perdarahan: inspeksi perineum, laserasi, hematoma.
3. Pengeluaran lochea.
4. Kandung kemih: distensi bladder.
5. Tanda-tanda vital: Suhu 1 jam pertama setelah partus, TD dan Nadi terhadap penyimpangan cardiovaskuler. Kontraksi miometrium, tingkat involusi uteri.
Bentuk insisi, edema.
Rubra, serosa dan alba.
Hematuri, proteinuria, acetonuria.
24 jam pertama 380C.
Kompensasi kardiovaskuler TD sistolik menurun 20 mmHg.
Bradikardi: 50-70 x/mnt.
Diagnosa Keperawatan:
1. Resiko defisit volume cairan b/d pengeluaran yang berlebihan; perdarahan; diuresis; keringat berlebihan.
2. Perubahan pola eleminasi BAK (disuria) b/d trauma perineum dan saluran kemih.
3. Perubahan pola eleminasi BAB (konstipasi) b/d kurangnya mobilisasi; diet yang tidak seimbang; trauma persalinan.
4. Gangguan rasa nyaman (nyeri) b/d peregangan perineum; luka episiotomi; involusi uteri; hemoroid; pembengkakan payudara.
5. Resiko infeksi b/d trauma jalan lahir.
6. Resiko gangguan proses parenting b/d kurangnya pengetahuan tentang cara merawat bayi.
7. Gangguan pemenuhan ADL b/d kelemahan; kelelahan post partum.
RENCANA KEPERAWATAN
Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Rencana Intervensi Rasional
Resiko defisit volume cairan b/d pengeluaran yang berlebihan; perdarahan; diuresis; keringat berlebihan.
Pasien dapat mendemostrasikan status cairan membaik.
Kriteria evaluasi: tak ada manifestasi dehidrasi, resolusi oedema, haluaran urine di atas 30 ml/jam, kulit kenyal/turgor kulit baik. Pantau:
- Tanda-tanda vital setiap 4 jam.
- Warna urine.
- Berat badan setiap hari.
- Status umum setiap 8 jam.
Beritahu dokter bila: haluaran urine < 30 ml/jam, haus, takikardia, gelisah, TD di bawah rentang normal, urine gelap atau encer gelap.
Konsultasi dokter bila manifestasi kelebihan cairan terjadi.
Pantau: cairan masuk dan cairan keluar setiap 8 jam. Mengidentifikasi penyimpangan indikasi kemajuan atau penyimpangan dari hasil yang diharapkan.
Temuan-temuan ini mennadakan hipovolemia dan perlunya peningkatan cairan.
Mencegah pasien jatuh ke dalam kondisi kelebihan cairan yang beresiko terjadinya oedem paru.
Mengidentifikasi keseimbangan cairan pasien secara adekuat dan teratur.
Perubahan pola eleminasi BAK (disuria) b/d trauma perineum dan saluran kemih.
Pola eleminasi (BAK) pasien teratur.
Kriteria hasil: eleminasi BAK lancar, disuria tidak ada, bladder kosong, keluhan kencing tidak ada.
Kaji haluaran urine, keluhan serta keteraturan pola berkemih.
Anjurkan pasien melakukan ambulasi dini.
Anjurkan pasien untuk membasahi perineum dengan air hangat sebelum berkemih.
Anjurkan pasien untuk berkemih secara teratur.
Anjurkan pasien untuk minum 2500-3000 ml/24 jam.
Kolaborasi untuk melakukan kateterisasi bila pasien kesulitan berkemih. Mengidentifikasi penyimpangan dalam pola berkemih pasien.
Ambulasi dini memberikan rangsangan untuk pengeluaran urine dan pengosongan bladder.
Membasahi bladder dengan air hangat dapat mengurangi ketegangan akibat adanya luka pada bladder.
Menerapkan pola berkemih secara teratur akan melatih pengosongan bladder secara teratur.
Minum banyak mempercepat filtrasi pada glomerolus dan mempercepat pengeluaran urine.
Kateterisasi memabnatu pengeluaran urine untuk mencegah stasis urine.
Perubahan pola eleminasi BAB (konstipasi) b/d kurangnya mobilisasi; diet yang tidak seimbang; trauma persalinan.
Pola eleminasi (BAB) teratur.
Kriteria hasil: pola eleminasi teratur, feses lunak dan warna khas feses, bau khas feses, tidak ada kesulitan BAB, tidak ada feses bercampur darah dan lendir, konstipasi tidak ada. Kaji pola BAB, kesulitan BAB, warna, bau, konsistensi dan jumlah.
Anjurkan ambulasi dini.
Anjurkan pasien untuk minum banyak 2500-3000 ml/24 jam.
Kaji bising usus setiap 8 jam.
Pantau berat badan setiap hari.
Anjurkan pasien makan banyak serat seperti buah-buahan dan sayur-sayuran hijau. Mengidentifikasi penyimpangan serta kemajuan dalam pola eleminasi (BAB).
Ambulasi dini merangsang pengosongan rektum secara lebih cepat.
Cairan dalam jumlah cukup mencegah terjadinya penyerapan cairan dalam rektum yang dapat menyebabkan feses menjadi keras.
Bising usus mengidentifikasikan pencernaan dalam kondisi baik.
Mengidentifiakis adanya penurunan BB secara dini.
Meningkatkan pengosongan feses dalam rektum.
Gangguan pemenuhan ADL b/d immobilisasi; kelemahan.
ADL dan kebutuhan beraktifitas pasien terpenuhi secara adekuat.
Kriteria hasil:
- Menunjukkan peningkatan dalam beraktifitas.
- Kelemahan dan kelelahan berkurang.
- Kebutuhan ADL terpenuhi secara mandiri atau dengan bantuan.
- frekuensi jantung/irama dan Td dalam batas normal.
- kulit hangat, merah muda dan kering • Kaji toleransi pasien terhadap aktifitas menggunakan parameter berikut: nadi 20/mnt di atas frek nadi istirahat, catat peningaktan TD, dispnea, nyeri dada, kelelahan berat, kelemahan, berkeringat, pusing atau pinsan.
• Tingkatkan istirahat, batasi aktifitas pada dasar nyeri/respon hemodinamik, berikan aktifitas senggang yang tidak berat.
• Kaji kesiapan untuk meningkatkan aktifitas contoh: penurunan kelemahan/kelelahan, TD stabil/frek nadi, peningaktan perhatian pada aktifitas dan perawatan diri.
• Dorong memajukan aktifitas/toleransi perawatan diri.
• Anjurkan keluarga untuk membantu pemenuhan kebutuhan ADL pasien.
• Jelaskan pola peningkatan bertahap dari aktifitas, contoh: posisi duduk ditempat tidur bila tidak pusing dan tidak ada nyeri, bangun dari tempat tidur, belajar berdiri dst.
• Parameter menunjukkan respon fisiologis pasien terhadap stres aktifitas dan indikator derajat penagruh kelebihan kerja jnatung.
• Menurunkan kerja miokard/komsumsi oksigen , menurunkan resiko komplikasi.
• Stabilitas fisiologis pada istirahat penting untuk menunjukkan tingkat aktifitas individu.
• Komsumsi oksigen miokardia selama berbagai aktifitas dapat meningkatkan jumlah oksigen yang ada. Kemajuan aktifitas bertahap mencegah peningkatan tiba-tiba pada kerja jantung.
• Teknik penghematan energi menurunkan penggunaan energi dan membantu keseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen.
• Aktifitas yang maju memberikan kontrol jantung, meningaktkan regangan dan mencegah aktifitas berlebihan.
Gangguan rasa nyaman (nyeri) b/d peregangan perineum; luka episiotomi; involusi uteri; hemoroid; pembengkakan payudara.
Pasien mendemonstrasikan tidak adanya nyeri.
Kriteria hasil: vital sign dalam batas normal, pasien menunjukkan peningkatan aktifitas, keluhan nyeri terkontrol, payudara lembek, tidak ada bendungan ASI. Kaji tingkat nyeri pasien.
Kaji kontraksi uterus, proses involusi uteri.
Anjurkan pasien untuk membasahi perineum dengan air hangat sebelum berkemih.
Anjurkan dan latih pasien cara merawat payudara secara teratur.
Jelaskan pada ibu tetang teknik merawat luka perineum dan mengganti PAD secara teratur setiap 3 kali sehari atau setiap kali lochea keluar banyak.
Kolaborasi dokter tentang pemberian analgesik bial nyeri skala 7 ke atas. Menentukan intervensi keperawatan sesuai skala nyeri.
Mengidentifikasi penyimpangan dan kemajuan berdasarkan involusi uteri.
Mengurangi ketegangan pada luka perineum.
Melatih ibu mengurangi bendungan ASI dan memperlancar pengeluaran ASI.
Mencegah infeksi dan kontrol nyeri pada luka perineum.
Mengurangi intensitas nyeri denagn menekan rangsnag nyeri pada nosiseptor.
Resiko infeksi b/d trauma jalan lahir.
Infeksi tidak terjadi.
Kriteria hasil: tanda infeksi tidak ada, luka episiotomi kering dan bersih, takut berkemih dan BAB tidak ada. Pantau: vital sign, tanda infeksi.
Kaji pengeluaran lochea, warna, bau dan jumlah.
Kaji luka perineum, keadaan jahitan.
Anjurkan pasien membasuh vulva setiap habis berkemih dengan cara yang benar dan mengganti PAD setiap 3 kali perhari atau setiap kali pengeluaran lochea banyak.
Pertahnakan teknik septik aseptik dalam merawat pasien (merawat luka perineum, merawat payudara, merawat bayi). Mengidentifikasi penyimpangan dan kemajuan sesuai intervensi yang dilakukan.
Mengidentifikasi kelainan pengeluaran lochea secara dini.
Keadaan luka perineum berdekatan dengan daerah basah mengakibatkan kecenderunagn luka untuk selalu kotor dan mudah terkena infeksi.
Mencegah infeksi secara dini.
Mencegah kontaminasi silang terhadap infeksi.
Resiko gangguan proses parenting b/d kurangnya pengetahuan tentang cara merawat bayi.
Gangguan proses parenting tidak ada.
Kriteria hasil: ibu dapat merawat bayi secara mandiri (memandikan, menyusui). Beri kesempatan ibu untuk melakuakn perawatan bayi secara mandiri.
Libatkan suami dalam perawatan bayi.
Latih ibu untuk perawatan payudara secara mandiri dan teratur.
Motivasi ibu untuk meningkatkan intake cairan dan diet TKTP.
Lakukan rawat gabung sesegera mungkin bila tidak terdapat komplikasi pada ibu atau bayi. Meningkatkan kemandirian ibu dalam perawatan bayi.
Keterlibatan bapak/suami dalam perawatan bayi akan membantu meningkatkan keterikatan batih ibu dengan bayi.
Perawatan payudara secara teratur akan mempertahankan produksi ASI secara kontinyu sehingga kebutuhan bayi akan ASI tercukupi.
Mneingkatkan produksi ASI.
Meningkatkan hubungan ibu dan bayi sedini mungkin.
BUKU ACUAN:
1. Bagian Obstetri dan Ginekologi FK Unpad (1994), Obstetri Patologi, Bagian Obstetri dan Ginekologi FK Unpad, Bandung.
2. Hacker Moore (1999), Esensial Obstetri dan Ginekologi Edisi 2, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
3. Hanifa Wikyasastro (1997), Ilmu Kebidanan, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo, Jakarta.
4. Marylin E. Doengoes, Mary Frances Moorhouse, Alice C. Geissler (2000), Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien Edisi 3, Peneribit Buku Kedokteran EGC, Jakarta
ANALISA DATA
No D A T A Etiologi Masalah Paraf
1. S: Pasien mengatakan luka jahitan pada kemaluan terasa sakit bila duduk dan bergerak. Pasien juga mengatakan sakit dirasa bila cebok setelah berkemih dan buang air besar. Pasien mengatakan jahitan terasa tegang. Ibu mengatakan payudara terasa bengkak dan nyeri, ASI tidak mau keluar dengan lancar.
O: Pasien meringis saat berpindah posisi, pasien post partum hari I, riwayat persalinan pertama kali, TD: 110/70 mmHg, N: 84 x/mnt. Peregangan perineum, luka episiotomi, involusi uteri, pembengkakan payudara. Nyeri.
2. S: --
O: Luka perineoterapi masih basah, tanda infeksi tidak ada, pasien post partum hari I, riwayat persalinan pertama kali, pasien meringis bila berpindah posisi, S: 37,20C. Trauma jalan lahir; perineoterapi. Resiko infeksi.
3. S: Pasien banyak bertanya tentang perawatan bayinya, pasien mengatakan belum pernah sebelumnya merawat bayi, pasien mengatakan persalinan ini adalah persalinan yang pertama kali.
O: Pasien terlihat canggung dalam merawat bayi (menggendong, memandikan, menyusui bayi), Ibu primipara, usia 21 tahun, ASI keluar belum lancar, bayi sering menangis karena kecukupan ASI kurang terpenuhi. Kurangnya pengetahuan tentang cara merawat bayi. Resiko gangguan proses parenting.
DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Nyeri b/d Peregangan perineum, luka episiotomi, involusi uteri, pembengkakan payudara.
Data penunjang:
S: Pasien mengatakan luka jahitan pada kemaluan terasa sakit bila duduk dan bergerak. Pasien juga mengatakan sakit dirasa bila cebok setelah berkemih dan buang air besar. Pasien mengatakan jahitan terasa tegang. Ibu mengatakan payudara terasa bengkak dan nyeri, ASI tidak mau keluar dengan lancar.
O: Pasien meringis saat berpindah posisi, pasien post partum hari I, riwayat persalinan pertama kali, TD: 110/70 mmHg, N: 84 x/mnt.
2. Resiko infeksi b/d trauma jalan lahir; perineoterapi.
Data penunjang:
S: --
O: Luka perineoterapi masih basah, tanda infeksi tidak ada, pasien post partum hari I, riwayat persalinan pertama kali, pasien meringis bila berpindah posisi, S: 37,20C.
3. Resiko gangguan proses parenting b/d kurangnya pengetahuan tentang cara merawat bayi.
Data penunjang:
S: Pasien banyak bertanya tentang perawatan bayinya, pasien mengatakan belum pernah sebelumnya merawat bayi, pasien mengatakan persalinan ini adalah persalinan yang pertama kali.
O: Pasien terlihat canggung dalam merawat bayi (menggendong, memandikan, menyusui bayi), Ibu primipara, usia 21 tahun, ASI keluar belum lancar, bayi sering menangis karena kecukupan ASI kurang terpenuhi.
RENCANA INTERVENSI, RASIONAL DAN IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
No Diagnosa Keperawatan Rencana Keperawatan Implementasi Keperawatan Paraf
Tujuan dan Kriteria Hasil Rencana Intervensi Rasional Implementasi Evaluasi
1. Nyeri b/d Peregangan perineum, luka episiotomi, involusi uteri, pembengkakan payudara.
Pasien menunjukkan tidak adanya nyeri.
Kriteria hasil: vital sign dalam batas normal (TD: 110-120/70-80 mmHg, N: 70-90 x/mnt), pasien menunjukkan peningkatan aktifitas, keluhan nyeri terkontrol, payudara lembek, tidak ada bendungan ASI. Kaji tingkat nyeri pasien.
Kaji kontraksi uterus, proses involusi uteri.
Anjurkan pasien untuk membasahi perineum dengan air hangat sebelum berkemih.
Anjurkan dan latih pasien cara merawat payudara secara teratur.
Jelaskan pada ibu tentang teknik merawat luka perineum dan mengganti PAD secara teratur setiap 3 kali sehari atau setiap kali lochea keluar banyak.
Delegatif dokter tentang pemberian analgesik Mef. Acid 3x500 mg. Menentukan intervensi keperawatan sesuai skala nyeri.
Mengidentifikasi penyimpangan dan kemajuan berdasarkan involusi uteri.
Mengurangi ketegangan pada luka perineum.
Melatih ibu mengurangi bendungan ASI dan memperlancar pengeluaran ASI.
Mencegah infeksi dan kontrol nyeri pada luka perineum.
Mengurangi intensitas nyeri denagn menekan rangsnag nyeri pada nosiseptor.
2. Resiko infeksi b/d trauma jalan lahir; perineoterapi Infeksi tidak terjadi.
Kriteria hasil: tanda infeksi tidak ada, luka episiotomi kering dan bersih, vital sign dalam batas normal (S: 36-370C, N: 70-90 x/mnt). Pantau: vital sign, tanda infeksi.
Kaji pengeluaran lochea, warna, bau dan jumlah.
Kaji luka perineum, keadaan jahitan.
Anjurkan pasien membasuh vulva setiap habis berkemih dengan cara yang benar dan mengganti PAD setiap 3 kali perhari atau setiap kali pengeluaran lochea banyak.
Pertahnakan teknik septik aseptik dalam merawat pasien (merawat luka perineum, merawat payudara, merawat bayi).
Delegatif pemberian antibiotika Amoxicillin 3x500 mg. Mengidentifikasi penyimpangan dan kemajuan sesuai intervensi yang dilakukan.
Mengidentifikasi kelainan pengeluaran lochea secara dini.
Keadaan luka perineum berdekatan dengan daerah basah mengakibatkan kecenderunagn luka untuk selalu kotor dan mudah terkena infeksi.
Mencegah infeksi secara dini.
Mencegah kontaminasi silang terhadap infeksi.
Antibiotika mampu membunuh kuman penyebab infeksi.
3. Resiko gangguan proses parenting b/d kurangnya pengetahuan tentang cara merawat bayi.
Gangguan proses parenting tidak ada.
Kriteria hasil: ibu dapat merawat bayi secara mandiri (memandikan, menggendong, menyusui), bayi tidak menangis, ASI keluar dengan lancar. Beri kesempatan ibu untuk melakukan perawatan bayi secara mandiri.
Libatkan suami dalam perawatan bayi.
Latih ibu untuk perawatan payudara secara mandiri dan teratur.
Motivasi ibu untuk meningkatkan intake cairan dan diet TKTP.
Lakukan rawat gabung sesegera mungkin bila tidak terdapat komplikasi pada ibu atau bayi. Meningkatkan kemandirian ibu dalam perawatan bayi.
Keterlibatan bapak/suami dalam perawatan bayi akan membantu meningkatkan keterikatan batih ibu dengan bayi.
Perawatan payudara secara teratur akan mempertahankan produksi ASI secara kontinyu sehingga kebutuhan bayi akan ASI tercukupi.
Mneingkatkan produksi ASI.
Meningkatkan hubungan ibu dan bayi sedini mungkin.
CATATAN PERKEMBANGAN
No Diagnosa Keperawatan Evaluasi Perkembangan
1. Nyeri b/d Peregangan perineum, luka episiotomi, involusi uteri, pembengkakan payudara.
Data penunjang:
S: Pasien mengatakan luka jahitan pada kemaluan terasa sakit bila duduk dan bergerak. Pasien juga mengatakan sakit dirasa bila cebok setelah berkemih dan buang air besar. Pasien mengatakan jahitan terasa tegang. Ibu mengatakan payudara terasa bengkak dan nyeri, ASI tidak mau keluar dengan lancar.
O: Pasien meringis saat berpindah posisi, pasien post partum hari I, riwayat persalinan pertama kali, TD: 110/70 mmHg, N: 84 x/mnt.
2. Resiko infeksi b/d trauma jalan lahir; perineoterapi.
Data penunjang:
S: --
O: Luka perineoterapi masih basah, tanda infeksi tidak ada, pasien post partum hari I, riwayat persalinan pertama kali, pasien meringis bila berpindah posisi, S: 37,20C.
3. Resiko gangguan proses parenting b/d kurangnya pengetahuan tentang cara merawat bayi.
Data penunjang:
S: Pasien banyak bertanya tentang perawatan bayinya, pasien mengatakan belum pernah sebelumnya merawat bayi, pasien mengatakan persalinan ini adalah persalinan yang pertama kali.
O: Pasien terlihat canggung dalam merawat bayi (menggendong, memandikan, menyusui bayi), Ibu primipara, usia 21 tahun, ASI keluar belum lancar, bayi sering menangis karena kecukupan ASI kurang terpenuhi.
KReAsI MuHliS
Sabtu, 21 Mei 2011
PSI KONSELING CLIENT CENTERED
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Permasalahan hidup yang semakin kompleks dan rumit sangat terasa di era yang global ini, mulai dari permasalahan, sosial ekonomi, politik, keluarga dan masih banyak lagi permasalahan hidup yang timbul sehingga sifat negatif yang ada dalam diri manusia pun terpacu untuk dapat diaktualisasikan. Tentu hal ini sangat dilematis sekali karena dari semua itu hanya akan memperburuk dan menambah masalah saja, dalam teori client centered berlandaskan suatu filsafata tentang manusia menyusun dirinya sendiri menurut persepsi-persepsinya tentang kenyataan. Orang termotivasi untuk mengaktualkan diri dalam kenyataan yang dipersepsinya.
Dari teori tersebut dapat dipahami ketika permasalahan hidup semakin komplek maka diperlukan adanya konsep diri ataupun memperspsi diri dalam menghadapi masalah yang dia hadapi tersebut, agar dapat mencapai aktualisasi diri yang dia punyai..
Manusia memiliki kesanggupan untuk memahami factor-faktor yang ada dalam hidupnya yang menjadi penyebab ketidakbahagiaan. Manusia juga memiliki kesanggupan untuk mengarahkan diri dan melakukan perubahan pribadi yang konstruktif Oleh karena itu saat ini banyak sekali kita temukan permasalahan-permasalahan yang mengarah pada kehidupan efektif sehari-hari terhambat karena disebabkan banyak faktor yang sudah disebutkan diatas sehingga pemikiran-pemikiran individu sudah tak dapat lagi berpikir rasional yang membuat emosi dalam diri labil dan melakukan tindakan-tindakan menyimpang tak hanya pada lingkup masyarakat luas namun kejadian ini sudah merambah kedalam institusi sekolah, yang dimana siswa juga merasakannya dan mengganggu efektivitas kegiatan belajar mengajar serta mengganggu potensi dan kemandirian siswa kedepannya
Dalam mengtasi permasalahan-permasalahan tersebut banyak teori yang dapat membatu untuk mengatasinya, namaun disini penulis akan menjelaskan teori client-centered sebagai salah satu teori teori untuk mengatasi masalah, yang mana teori tersebut dikembangkan oleh carl R. Roger
B. Rumusan Masalah
a) Apa pengertian tentang client-centered?
b) Apa peran dan fungsi Terapis dalam client-centered?
c) Bagaimana penerapanya atau teknik yang dilakukan pada client-centered?
C. Tujuan
a) Untu mengetahui pengertian tentang clien-centered.
b) Untuk mengetahui peran dan fungsi terapis dalam client-centered.
c) Untuk mengetahui penerapan atau teknik yang dilakukan pada client centered.
BAB II
PEMBAHASAN
PENDEKATAN CLIENT-CENTERED (Carl Rogers)
Carl Rogers mengembangkan terapi Client-centered sebagai reaksi terhadap apa yang disebutnya keterbatasan-keterbatasan mendasar dari psikoanalisis. Pada hakikatnya, pendekatan client-centered adalah cabang khusus dari humanistic yang menggarisbawahi tindakan mengalami klien berikut dunia subjektif dan fenomemalnya. Terapis berfungsi terutama sebagai penunjang jalan terapi pertumbuhan pribadi kliennya dengan jalan membantu kliennya itu dalam menemukan kesanggupan untuk memecahkan masalah. Pendekatan client-centered menaruh kepercayaan yang besar pada kesanggupan klien untuk mengikuti jalan terapi dan menemukan arahnya sendiri. Hubungan terapeutik antara terapis dan klien merupakan katalisator bagi perubahan; klien menggunakan hubungan yang unik sebagai alat untuk meningkatkan kesadaran dan untuk menemukan sumber-sumber terpendam yang bisa digunakan secara konstruktif dalam pengubahan hidupnya.
A. Konsep Utama
Pandangan Tentang Sifat Manusia
Pandangan ini menolak adanya kecendrungan-kecendrungan negative dasar. Sementara beberapa pendekatan beranggapan bahwa manusia menurut kodratnya adalah irasional dan berkecenderungan merusak terhadap dirinya sendiri maupun terhadap orang lain kecuali jika telah menjalani sosialisasi. Rogers menunjukkan kepercayaan yang mendalam pada manusia. Ia memandang manusia tersosialisasi dan bergerak kemuka, berjuang untuk berfngsi penuh, serta memiliki kebaikan yang positif pada intinya yang terdalam. Pendek kata, manusia dipercayai dan karena pada dasarnya kooperatif dan konstruktif, tidak perlu diadakan pengendalian terhadap dorongan-dorongan agresifnya.
Pandangan manusia yang positif ini memiliki implikasi-implikasi yang berarti bagi paktik terapi client-centered. Berkat pandangan filosofis bahwa individu memiliki kesanggupan yang inheren untuk menjauhi maldjustment menuju keadaan psikologis yang sehat, terapis meletakkan tanggung jawab utamanya bagi proses terapi pada klien. Model client-centered menolak konsep yang memandang terapis sebagai otoritas yang mengetahui yang terbaik dan yang memandang klien sebagai manusia pasif yang hanya mengikuti perintah-perinyah terapis. Oleh karena itu, terapi client-centered berakar pada kesanggupan klien untuk sadar dan membuat putusan-putusan.
Ciri-ciri Pendekatan Client-Centered
Pendekatan ini difokuskan pada tanggung jawab dan kesanggupan klien untuk menemukan cara-cara menyadari kenyataan secara lebih penuh. Menurut pendekatan ini, psikoterapi hanyalah salah satu contoh dari hubungan pribadi yang konstruktif. Klien mengalami pertpsikoterapeutik didalam dan melalui hubungannya dengan seseorang yang membantunya melakukan apa yang tidak bisa dilakukannya sendirian. Itu adalah hungan dengan konselor yang selaras (menyeimbangkan tingkah laku dan ekspresi eksternal dengan perasaan-perasaan dan pemikiran-pemikiran internal), bersikap menerima dan empatik yang bertindak sebagai agen perubahan terapeutik bagi klien.
Terapi client-centerd memasukkan konsep bahwa fungsi terapis adalah tampil langsung dan bisa dijangkau oleh lien serta memusatkan perhatian pada pengalaman disini-dan-sekarang yang tercipta melalui hubungan antara klien dan terapis.
Terapi client-centered dicirikan sebagai perjalanan bersama dimana baik terapis maupun klien memperlihatkan kemanusiawiannya dan berpartisipasi dalam pengalaman pertumbuhan.
B. PROSES TERAPEUTIK
Tujuan-tujuan Terapeutik
Yaitu menciptakan iklim yang kondusif bagi usaha membantu klien untuk menjadi seorang pribadi yang berfungsi penuh. Guna mencapai tujuan terapeutik tersebut, terapis perlu mengusahakan agar klien bias memahami hal-hal yang ada dibalik topeng yang dikenakannya. Klien mengembangakan kepura-puraan dan bertopeng sebagai pertahanan terhadap ancaman.
Apabila dinding itu runtuh selama proses terapeutik, orang macam apa yang muncul dari balik kepura-puraan itu? Rogers (1961) menguraikan cirri-ciri orang yang bergerak kea rah menjadi bertambah teraktualkan sebagai berikut :
1. Keterbukaan pada pengalaman
Keterbukaan pemgalaman perlu memandang kenyataan tanpa mengubah bentuknya supaya sesuai dengan struktur diri yang tersusun lebih dulu. Sebagai lawan kebertahanan, keterbukaan pada pengalaman menyiratkan menjadi lebih sadar terhadap kenyataan sebagaimana kenyataan itu hadir diluar dirinya. Hal ini juga berarti bahwa kepercayaan-kepercayaan orang tidak kaku; dia dapat tetap terbuka terhadap pengetahuan lebih lanjut dan pertumbuhan serta bisa menoleransi kedwiartian. Orang memiliki kesadaran atas diri sendiri pada saat sekarang dan kesanggupan mengalami dirinya dengan cara-cara yang baru.
2. Kepercayaan terhadap organisme sendiri
Salah satu tujuan terapi adalah membantu klien dalam membangun rasa percaya diri terhadap diri sendiri. Acap kali, pada tahap-tahap permulaan terapi, kepercayaan klien terhadap diri sendiri dan terhadap putusan-putusannya sendiri sangat kecil. Mereka secara khas mencari saran dan jawaban-jawaban dari luar karena pada dasarnya mereka tidak mempercayai kemampuan-kemampuan dirinya untuk mengarahkan hidupnya sendiri. Dengan meningkatnya keterbukaan klien pada pengalaman-pengalamannya sendiri, kepercayaan klien kepada dirinya sendiri pun mulai timbul.
3. Tempat evaluasi internal
Tempat evaluasi internal yang berkaitan dengan kepercayaan diri, berarti lebih banyak mencari jawaban-jawaban pada diri sendiri bagi masalah-masalah keberadaanya. Orang semakin menaruh perhatian pada pusat dirinya daripada mencari pengesahan bagi kepribadiannya dari luar. Dia mengganti persetujuan universal dari orang lain dengan persetujuan dari diri sendiri. Dia menetapkan standar-standar tingkah laku dan melihat ke dalam dirinya sendiri dalam membuat putusan-putusan dan pilihan-pilihan bagi hidupnya.
4. Kesediaan untuknmenjadi suatu proses
Konsep tentang diri dalam proses pemenjadian, yang merupakan lawan dari konsep tentang diri sebagai produk, sangat penting. Meskipun klien boleh jadi menjalani terapi untuk mencari sejenis formula untuk membangun keadaan berhasil dan berbahagia (hasil akhir), mereka menjadi sadar bahwa pertumbuhan adalah suatu proses yang berkesinambungan. Para klien dalam terapi berada dalam proses pengujia persepsi-persepsi dan kepercayaan-kepercayaan serta membuka diri bagi pengalaman-pengalaman baru dan revisi-revisi ahli-ahli menjadi wujud yang membeku.
Tonggak terapi client-centered adalah anggapannya bahwa klien dalam hubungannya dengan terapis yang menunjang, memiliki kesanggupan untuk menentukan dan menjernihkan tujuan-tujuannya sendiri.
C. FUNGSI DAN PERAN TERAPIS
Peran terapis dalam pendekatan ini terletak pada cara-cara keberadaan terapis dan sikap-sikapnya, bukan penggunaan teknik. Terapis menggunakan dirinya sendiri sebagai alat untuk mengubah client. Peran terapis adalah tanpa peran. Adapun fungsi terapis adalah membangun suatu iklim terapeutik yang menunjang pertumbuhan client. Terapis memberikan pengalaman-pengalaman dalam proses terapi untuk membangun kepercayaan diri untuk membuat keputusan-keputusan sendiri. Membangun kematangan psikologis client dalam proses terapi menjadi bagian yang krusial.
Konsep hubungan antara terapis dan client dalam pendekatan ini ditegaskan oleh pernyataan Rogers (1961) “jika saya bisa menyajikan suatu tipe hubungan, maka orang lain akan menemukan dalam dirinya sendiri kesanggupan menggunakan hubungan itu untuk pertumbuhan dan perubahan, sehingga perkembangan peribadipun akan terjadi.
Ada tiga ciri atau sikap terapis yang membentuk bagian dengan hubungan teraputik :
Pertama, Keselarasan/kesejatian. Konsep kesejatian yang dimaksud Rogers adalah bagaimana terapis tampil nyata, utuh, otentik dan tidak palsu serta terinytgrasi selama pertemuan terapi. Terapis bersikap secara spontan dan terbuka menyatakan sikap-sikap yang ada pada dirinya baik yang positif maupun negatif. Jelas bahwa pendekatan client centered berasumsi bahwa jika terapi selaras/menunjukkan kesejatiannya dalam berhubungan dengan client maka proses terapeutik bisa berlangsung.
Kedua, Perhatian positif tak bersayarat. Perhatian tak bersayarat itu tidak dicampuri oleh evaluasi atau penilaian terhadap pemikiran-pemikiran dan tingkah laku client sebagai hal yang buruk atau baik. Perhatian tak bersyarat bukan sikap “Saya mau menerima asalkan…..melainkan “Saya menerima anda apa adanya”. Perhatian tak bersyarat itu seperti continuum.
Ketiga, Pengertian empatik yang akurat. Terapis benar-benar dituntut untuk menggunakan kemampuan inderanya dalam berempati guna mengenali dan menjelajahi pengalaman subjektif dari client. Konsep ini menyiratkan terapis memahami perasaan-perasaan client yang seakan-akan perasaanya sendiri. Tugas yang makin rumit adalah memahami perasaan client yang samar dan memberikan makna yang makin jelas. Regers percaya bahwa apabila terapis mampu menjangkau dunia pribadi client sebagaimana dunia pribadi itu diamati dan dirasakan oleh client, tanpa kehilangan identitas dirinya yang terpisah dari client, maka perubahan yang konstruktif akan terjadi.
D. PENERAPAN : TEKNIK-TEKNIK DAN PROSEDUR-PROSEDUR TERAPEUTIK
Tempat Teknik-Teknik dalam Pendekatan Client Centered
Penekanan teknik-teknik dalam pendekatan ini adalah pada kepribadian, keyakinan-keyakinan, dan sikap-sikap terapis, serta hubungannya dengan terapeutik. Dalam kerangka client centered, “teknik-teknik”nya adalah pengungkapan dan pengkomunikasian penerimaan, respek dan pengertian serta berbagi upaya dengan client dalam mengembangkan kerangka acuan internal dengan memikirkan, merasakan dan mengeksplorasi.
Periode-periode Perkembangan Terapi Client Centered
Hart (1970) membagi perkembangan teori Rogers ke dalam tiga periode yakni : Pertama, periode 1 (1940-1950) : Psikoterapi nondirektif, dimana menekankan penciptaan iklim permisif dan nondirektif. Penerimaan dan klarifikasi sebagai tekniknya. Kedua, Periode 2 (1950-1957) : Psikoterapi reflektif. Terapis merefleksikan perasaan-perasaan client dan menghindari ancaman dalam hubungannya dengan dengan client. Client diharapkan mampu mengembangkan keselarasan antara konsep diri dan konsep diri ideal. Ketiga, Periode 3 (1957-1970); Terapi eksperiensial. Tingkah laku yang luas terapis yang mengungkapkan sikap-sikap dsarnya menandai pendekatan ini. Terapis difokuskan pada apa yang sedang dialami client dan pengungkapan oleh terapis. Sejak tiga pulu tahun terakhir, terapi client centered telah bergeser ke arah lebih banyak membawa kepribadian terapis dalam proses terapeutik.
Penerapan di Sekolah : Proses Belajar Mengajar
Filsafat yang mendasari teori client centered memiliki penerapan langsung pada proses belajar. Seperti pandangannya terhadap terapis dan client, guru berperan sebagai alat yang menciptakan atmosfer yang positif dan siswa dipandang sebagai manusi yang dapat bertanggungjawab dan menemukan masalah-masalah yang penting yang berkaitan dengan keberadaan dirinya. Siswa bisa terlibat dalam kegiatan belajar bermakna, jika guru menciptakan iklim kebebasan dan kepercayaan. Fungsi guru seperti yang dijalankan terapis : kesejatian, ketulusan, keterbukaan, penerimaan, pengertian, empati dan kesediaan untuk membiarkan para siswa untuk mengeksplorasi materi yang bermakna menciptakan atmosfer dimana kegiatan belajar yang signifikan bisa berjalan.
Seseorang guru yang berorientasi psikologis bisa dengan banyal cara membimbing parara siswa, secara individual atau secara kelompok. Konseling bisa diintergrasikan ke dalam kurikulum yang dibuat terpisah dari kegiatan belajar. Proses belajar mengajar bisa menempatkan siswa pada satu tempat sentral yang menyingkiran persoaln-persoalan yang berkaitan dengadiri serta nilai-nilai pengalaman-pengalaman, perasaan-perasaan perhatian dan minat siswa yang sesungguhnya.
E. ANALISIS
Jika melihat paparan tentang pokok-pokok pemikiran pendekatan client centered di atas, jelas sekali bahwa ada 3 hal yang menjadi pemikiran/konsep utama yakni client, terapis dan proses terapi. Client dipandang sebagai manusia yang tumbuh dan bergerak. Manusia merupakan sesuatu yang unik. Manusia memiliki rasa, jiwa, pemikiran yang tumbuh dan bergerak untuk menjadi maju, memiliki pilihan, menentukan pilihannya yang dianggap baik dan bertanggungjawab dalam kehidupannya. Sedang terapis berfungsi sebagai alat atau media untuk membantu gerak jiwa client kearah apa yang diinginkannya. Maka proses terapeutiknya tidak bersifat searah, tetapi bagaimana mensinergikan dua bagian (terapis dan client) untuk mencapai kematangan psikologis client. Terapis tetap sebagi instrumen yang mengedepankan kepribadian dan sikap-sikap terbuka, otentik, ketulusan dan empati yang notabene ia dituntut untuk menciptakan iklim yang kondusif dalam proses terapeutiknya.
Penulis melihat pendekatan client centered ini seperti tidak memiliki “wajah” yang jelas dalam proses terapi. Artinya pendekatan ini tidak memiliki struktur dan mekanisme yang baku. Hal ini memberikan sinyal bahwa kebebasan terapis dalam berkreasi dalam proses terapi dan sekaligus menuntut adanya kreatifitas yang tinggi. Terapis dituntut untuk memiliki keterampilan terapi, berkomunikasi dan berinteraksi dengan baik. Terapis harus sangat berhati-hati dalam peranya misalnya berempati tapi tidak boleh larut kedalam perasaanya, menciptakan kesadaran client tapi tidak mengarahkan, membuat isyarat tapi tidak boleh memutuskan, dan sebaginya. Peran dan fungsi terapis dalam pendekatan ini memiliki tantangan tersendiri bagi konselor dimana kemampuan spontanitas reaktifnya sangat diuji.
Pendekatan Client Centered memandang manusia sebagai individu yang memiliki nilai-nilai tersendiri. Implikasi dari pandangan ini, terapis harus menjunjung tinggi nilai-nilai yang dibawa oleh individu. Pendekatan ini dapat diterapkan ketika asumsi-asumsi ini juga berlaku dimana konteks budaya individu itu berada. Sebagai contoh misalnya di budaya masyarakat jawa. Anak (sebelum 17) dalam budaya jawa (meskipun tidak seluruhnya) masih dianggap belum memiliki kemampuan untuk mengolah dan menentukan dirinya sendiri. Orang tua adalah bagian yang mengatur atau bila perlu mengarahkan dan menentukan keputusan-keputasan yang berkaitan dengan keberadaan anak. Dengan kata yang lebih sederhana adalah “membantu”. Dari kondisi ini tentu pendekatan client centered memiliki kesulitan dalam penerapannya.
Menurut Superka, et. al. dalam Zakaria (2001) ada lima pendekatan pendidikan penanaman nilai yang dapat diadopsi dalam bidang konseling : (1) Pendekatan penanaman nilai (inculcation approach), (2) Pendekatan perkembangan moral kognitif (cognitive moral development approach), (3) Pendekatan analisis nilai (values analysis approach), (4) Pendekatan klarifikasi nilai (values clarification approach), dan (5) Pendekatan pembelajaran berbuat (action learning approach). Dalam konteks konseling, pendekatan yang cenderung dilakukan adalah dengan pendekatan penanaman nilai dan pendekatan pembelajaran berbuat (teladan, memberi contoh). Jadi pendekatan client centered dapat digunakan dalam bidang konseling ketika filosofi dasar tentang manusia itu berlaku dalam konteks tempat dan budayanya.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Terapi Client-Centered berlandaskan suatu filsafat tentang manusia yang menekankan bahwa kita memilki dorongan bawaan pada aktualisasi diri. Selain itu Rogers mamandang manusia secara fenomenologis, yakni bahwa manusia menyusun dirinya sendiri menurut persepsi-persepsinya tentang kenyataan. Orang termotivasi untuk mengaktualisasikan diri dalam kenyataan yang dipersepsinya.
Teori ini, berlandaskan dalil bahwa klien memiliki kesanggupan untuk memahami fator-faktor yang ada dalam hidupnya yang menjadi penyebab ketidak bahagiaan. Klien juga memiliki kesanggupan untuk mengarahkan diri dan melakukan perubahan pribadi yang konstruktif.
Terapi client-centered menempatkan tanggung jawaab utama terhadap arah terapi pada klien. Tujuan-tujuan umumnya ialah menjadi lebih terbuka pada pengalaman, mempercayai organisme sendirinya sendirir, mengembangkan evaluasi internal, kesediaan untuk menjadi suatu proses, dan dengan cara-cara lain bergerak menuju taraf-taraf yang lebih tinggi dan aktualisasidiri.
Terapi ini juga menitikberatkan hubungan pribadi antara klien dan terapis; sikap-sikap terapis lebih penting daripada teknik-teknik, pengetahuan, atau teori. Jika terapis menunjukkan dan mengomunikasikan kepada kliennya bahwa terapis adalah pribadi yang selaras, secara hangat dan tak bersyarat menerima perasaan-perasan dan kepribadian klien, dan mempu mempersepsi secara peka dan tepat dunia internal klien sebagaimana klien mempersepsi dunia internalnya itu, maka klien bisa menggunakan hubungan terapeutik untuk memperlancar pertumbuhan dan menjadi pribadi yang dipilihnya
B. Saran
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca, baik kalangan mahasiswa sendiri atau bagi para pembaca lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Corey, Gerald. 2003. Teori dan Praktek Konseling & Psikoterapi. Bandung : PT. Refika Aditama
Depdiknas (2007). Penataan Pendidikan Profesional Konselor dan LayananBimbingan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal. Depdiknas.
Zakaris, Teuku Ramli. (2001). Pendekatan-Pendekatan Pendidikan Nilai dan Implementasi dalam Pendidikan Budi Pekerti. Jakarta : Jurnal end Pendidikan dan Kebudayaan No 26, 479-495
Artikel Tuesday, 28 September 2010 23:46 Written by Joko Yuwono. Diposkan oleh Education di 09:30 Label: Teori Bimbingan Konseling
http://phakiah.multiply.com/journal/item/24/TEORI-TEORI_YANG_DIGUNAKAN_DALAM_KONSELING_DAN_PSIKOTERAPI
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Permasalahan hidup yang semakin kompleks dan rumit sangat terasa di era yang global ini, mulai dari permasalahan, sosial ekonomi, politik, keluarga dan masih banyak lagi permasalahan hidup yang timbul sehingga sifat negatif yang ada dalam diri manusia pun terpacu untuk dapat diaktualisasikan. Tentu hal ini sangat dilematis sekali karena dari semua itu hanya akan memperburuk dan menambah masalah saja, dalam teori client centered berlandaskan suatu filsafata tentang manusia menyusun dirinya sendiri menurut persepsi-persepsinya tentang kenyataan. Orang termotivasi untuk mengaktualkan diri dalam kenyataan yang dipersepsinya.
Dari teori tersebut dapat dipahami ketika permasalahan hidup semakin komplek maka diperlukan adanya konsep diri ataupun memperspsi diri dalam menghadapi masalah yang dia hadapi tersebut, agar dapat mencapai aktualisasi diri yang dia punyai..
Manusia memiliki kesanggupan untuk memahami factor-faktor yang ada dalam hidupnya yang menjadi penyebab ketidakbahagiaan. Manusia juga memiliki kesanggupan untuk mengarahkan diri dan melakukan perubahan pribadi yang konstruktif Oleh karena itu saat ini banyak sekali kita temukan permasalahan-permasalahan yang mengarah pada kehidupan efektif sehari-hari terhambat karena disebabkan banyak faktor yang sudah disebutkan diatas sehingga pemikiran-pemikiran individu sudah tak dapat lagi berpikir rasional yang membuat emosi dalam diri labil dan melakukan tindakan-tindakan menyimpang tak hanya pada lingkup masyarakat luas namun kejadian ini sudah merambah kedalam institusi sekolah, yang dimana siswa juga merasakannya dan mengganggu efektivitas kegiatan belajar mengajar serta mengganggu potensi dan kemandirian siswa kedepannya
Dalam mengtasi permasalahan-permasalahan tersebut banyak teori yang dapat membatu untuk mengatasinya, namaun disini penulis akan menjelaskan teori client-centered sebagai salah satu teori teori untuk mengatasi masalah, yang mana teori tersebut dikembangkan oleh carl R. Roger
B. Rumusan Masalah
a) Apa pengertian tentang client-centered?
b) Apa peran dan fungsi Terapis dalam client-centered?
c) Bagaimana penerapanya atau teknik yang dilakukan pada client-centered?
C. Tujuan
a) Untu mengetahui pengertian tentang clien-centered.
b) Untuk mengetahui peran dan fungsi terapis dalam client-centered.
c) Untuk mengetahui penerapan atau teknik yang dilakukan pada client centered.
BAB II
PEMBAHASAN
PENDEKATAN CLIENT-CENTERED (Carl Rogers)
Carl Rogers mengembangkan terapi Client-centered sebagai reaksi terhadap apa yang disebutnya keterbatasan-keterbatasan mendasar dari psikoanalisis. Pada hakikatnya, pendekatan client-centered adalah cabang khusus dari humanistic yang menggarisbawahi tindakan mengalami klien berikut dunia subjektif dan fenomemalnya. Terapis berfungsi terutama sebagai penunjang jalan terapi pertumbuhan pribadi kliennya dengan jalan membantu kliennya itu dalam menemukan kesanggupan untuk memecahkan masalah. Pendekatan client-centered menaruh kepercayaan yang besar pada kesanggupan klien untuk mengikuti jalan terapi dan menemukan arahnya sendiri. Hubungan terapeutik antara terapis dan klien merupakan katalisator bagi perubahan; klien menggunakan hubungan yang unik sebagai alat untuk meningkatkan kesadaran dan untuk menemukan sumber-sumber terpendam yang bisa digunakan secara konstruktif dalam pengubahan hidupnya.
A. Konsep Utama
Pandangan Tentang Sifat Manusia
Pandangan ini menolak adanya kecendrungan-kecendrungan negative dasar. Sementara beberapa pendekatan beranggapan bahwa manusia menurut kodratnya adalah irasional dan berkecenderungan merusak terhadap dirinya sendiri maupun terhadap orang lain kecuali jika telah menjalani sosialisasi. Rogers menunjukkan kepercayaan yang mendalam pada manusia. Ia memandang manusia tersosialisasi dan bergerak kemuka, berjuang untuk berfngsi penuh, serta memiliki kebaikan yang positif pada intinya yang terdalam. Pendek kata, manusia dipercayai dan karena pada dasarnya kooperatif dan konstruktif, tidak perlu diadakan pengendalian terhadap dorongan-dorongan agresifnya.
Pandangan manusia yang positif ini memiliki implikasi-implikasi yang berarti bagi paktik terapi client-centered. Berkat pandangan filosofis bahwa individu memiliki kesanggupan yang inheren untuk menjauhi maldjustment menuju keadaan psikologis yang sehat, terapis meletakkan tanggung jawab utamanya bagi proses terapi pada klien. Model client-centered menolak konsep yang memandang terapis sebagai otoritas yang mengetahui yang terbaik dan yang memandang klien sebagai manusia pasif yang hanya mengikuti perintah-perinyah terapis. Oleh karena itu, terapi client-centered berakar pada kesanggupan klien untuk sadar dan membuat putusan-putusan.
Ciri-ciri Pendekatan Client-Centered
Pendekatan ini difokuskan pada tanggung jawab dan kesanggupan klien untuk menemukan cara-cara menyadari kenyataan secara lebih penuh. Menurut pendekatan ini, psikoterapi hanyalah salah satu contoh dari hubungan pribadi yang konstruktif. Klien mengalami pertpsikoterapeutik didalam dan melalui hubungannya dengan seseorang yang membantunya melakukan apa yang tidak bisa dilakukannya sendirian. Itu adalah hungan dengan konselor yang selaras (menyeimbangkan tingkah laku dan ekspresi eksternal dengan perasaan-perasaan dan pemikiran-pemikiran internal), bersikap menerima dan empatik yang bertindak sebagai agen perubahan terapeutik bagi klien.
Terapi client-centerd memasukkan konsep bahwa fungsi terapis adalah tampil langsung dan bisa dijangkau oleh lien serta memusatkan perhatian pada pengalaman disini-dan-sekarang yang tercipta melalui hubungan antara klien dan terapis.
Terapi client-centered dicirikan sebagai perjalanan bersama dimana baik terapis maupun klien memperlihatkan kemanusiawiannya dan berpartisipasi dalam pengalaman pertumbuhan.
B. PROSES TERAPEUTIK
Tujuan-tujuan Terapeutik
Yaitu menciptakan iklim yang kondusif bagi usaha membantu klien untuk menjadi seorang pribadi yang berfungsi penuh. Guna mencapai tujuan terapeutik tersebut, terapis perlu mengusahakan agar klien bias memahami hal-hal yang ada dibalik topeng yang dikenakannya. Klien mengembangakan kepura-puraan dan bertopeng sebagai pertahanan terhadap ancaman.
Apabila dinding itu runtuh selama proses terapeutik, orang macam apa yang muncul dari balik kepura-puraan itu? Rogers (1961) menguraikan cirri-ciri orang yang bergerak kea rah menjadi bertambah teraktualkan sebagai berikut :
1. Keterbukaan pada pengalaman
Keterbukaan pemgalaman perlu memandang kenyataan tanpa mengubah bentuknya supaya sesuai dengan struktur diri yang tersusun lebih dulu. Sebagai lawan kebertahanan, keterbukaan pada pengalaman menyiratkan menjadi lebih sadar terhadap kenyataan sebagaimana kenyataan itu hadir diluar dirinya. Hal ini juga berarti bahwa kepercayaan-kepercayaan orang tidak kaku; dia dapat tetap terbuka terhadap pengetahuan lebih lanjut dan pertumbuhan serta bisa menoleransi kedwiartian. Orang memiliki kesadaran atas diri sendiri pada saat sekarang dan kesanggupan mengalami dirinya dengan cara-cara yang baru.
2. Kepercayaan terhadap organisme sendiri
Salah satu tujuan terapi adalah membantu klien dalam membangun rasa percaya diri terhadap diri sendiri. Acap kali, pada tahap-tahap permulaan terapi, kepercayaan klien terhadap diri sendiri dan terhadap putusan-putusannya sendiri sangat kecil. Mereka secara khas mencari saran dan jawaban-jawaban dari luar karena pada dasarnya mereka tidak mempercayai kemampuan-kemampuan dirinya untuk mengarahkan hidupnya sendiri. Dengan meningkatnya keterbukaan klien pada pengalaman-pengalamannya sendiri, kepercayaan klien kepada dirinya sendiri pun mulai timbul.
3. Tempat evaluasi internal
Tempat evaluasi internal yang berkaitan dengan kepercayaan diri, berarti lebih banyak mencari jawaban-jawaban pada diri sendiri bagi masalah-masalah keberadaanya. Orang semakin menaruh perhatian pada pusat dirinya daripada mencari pengesahan bagi kepribadiannya dari luar. Dia mengganti persetujuan universal dari orang lain dengan persetujuan dari diri sendiri. Dia menetapkan standar-standar tingkah laku dan melihat ke dalam dirinya sendiri dalam membuat putusan-putusan dan pilihan-pilihan bagi hidupnya.
4. Kesediaan untuknmenjadi suatu proses
Konsep tentang diri dalam proses pemenjadian, yang merupakan lawan dari konsep tentang diri sebagai produk, sangat penting. Meskipun klien boleh jadi menjalani terapi untuk mencari sejenis formula untuk membangun keadaan berhasil dan berbahagia (hasil akhir), mereka menjadi sadar bahwa pertumbuhan adalah suatu proses yang berkesinambungan. Para klien dalam terapi berada dalam proses pengujia persepsi-persepsi dan kepercayaan-kepercayaan serta membuka diri bagi pengalaman-pengalaman baru dan revisi-revisi ahli-ahli menjadi wujud yang membeku.
Tonggak terapi client-centered adalah anggapannya bahwa klien dalam hubungannya dengan terapis yang menunjang, memiliki kesanggupan untuk menentukan dan menjernihkan tujuan-tujuannya sendiri.
C. FUNGSI DAN PERAN TERAPIS
Peran terapis dalam pendekatan ini terletak pada cara-cara keberadaan terapis dan sikap-sikapnya, bukan penggunaan teknik. Terapis menggunakan dirinya sendiri sebagai alat untuk mengubah client. Peran terapis adalah tanpa peran. Adapun fungsi terapis adalah membangun suatu iklim terapeutik yang menunjang pertumbuhan client. Terapis memberikan pengalaman-pengalaman dalam proses terapi untuk membangun kepercayaan diri untuk membuat keputusan-keputusan sendiri. Membangun kematangan psikologis client dalam proses terapi menjadi bagian yang krusial.
Konsep hubungan antara terapis dan client dalam pendekatan ini ditegaskan oleh pernyataan Rogers (1961) “jika saya bisa menyajikan suatu tipe hubungan, maka orang lain akan menemukan dalam dirinya sendiri kesanggupan menggunakan hubungan itu untuk pertumbuhan dan perubahan, sehingga perkembangan peribadipun akan terjadi.
Ada tiga ciri atau sikap terapis yang membentuk bagian dengan hubungan teraputik :
Pertama, Keselarasan/kesejatian. Konsep kesejatian yang dimaksud Rogers adalah bagaimana terapis tampil nyata, utuh, otentik dan tidak palsu serta terinytgrasi selama pertemuan terapi. Terapis bersikap secara spontan dan terbuka menyatakan sikap-sikap yang ada pada dirinya baik yang positif maupun negatif. Jelas bahwa pendekatan client centered berasumsi bahwa jika terapi selaras/menunjukkan kesejatiannya dalam berhubungan dengan client maka proses terapeutik bisa berlangsung.
Kedua, Perhatian positif tak bersayarat. Perhatian tak bersayarat itu tidak dicampuri oleh evaluasi atau penilaian terhadap pemikiran-pemikiran dan tingkah laku client sebagai hal yang buruk atau baik. Perhatian tak bersyarat bukan sikap “Saya mau menerima asalkan…..melainkan “Saya menerima anda apa adanya”. Perhatian tak bersyarat itu seperti continuum.
Ketiga, Pengertian empatik yang akurat. Terapis benar-benar dituntut untuk menggunakan kemampuan inderanya dalam berempati guna mengenali dan menjelajahi pengalaman subjektif dari client. Konsep ini menyiratkan terapis memahami perasaan-perasaan client yang seakan-akan perasaanya sendiri. Tugas yang makin rumit adalah memahami perasaan client yang samar dan memberikan makna yang makin jelas. Regers percaya bahwa apabila terapis mampu menjangkau dunia pribadi client sebagaimana dunia pribadi itu diamati dan dirasakan oleh client, tanpa kehilangan identitas dirinya yang terpisah dari client, maka perubahan yang konstruktif akan terjadi.
D. PENERAPAN : TEKNIK-TEKNIK DAN PROSEDUR-PROSEDUR TERAPEUTIK
Tempat Teknik-Teknik dalam Pendekatan Client Centered
Penekanan teknik-teknik dalam pendekatan ini adalah pada kepribadian, keyakinan-keyakinan, dan sikap-sikap terapis, serta hubungannya dengan terapeutik. Dalam kerangka client centered, “teknik-teknik”nya adalah pengungkapan dan pengkomunikasian penerimaan, respek dan pengertian serta berbagi upaya dengan client dalam mengembangkan kerangka acuan internal dengan memikirkan, merasakan dan mengeksplorasi.
Periode-periode Perkembangan Terapi Client Centered
Hart (1970) membagi perkembangan teori Rogers ke dalam tiga periode yakni : Pertama, periode 1 (1940-1950) : Psikoterapi nondirektif, dimana menekankan penciptaan iklim permisif dan nondirektif. Penerimaan dan klarifikasi sebagai tekniknya. Kedua, Periode 2 (1950-1957) : Psikoterapi reflektif. Terapis merefleksikan perasaan-perasaan client dan menghindari ancaman dalam hubungannya dengan dengan client. Client diharapkan mampu mengembangkan keselarasan antara konsep diri dan konsep diri ideal. Ketiga, Periode 3 (1957-1970); Terapi eksperiensial. Tingkah laku yang luas terapis yang mengungkapkan sikap-sikap dsarnya menandai pendekatan ini. Terapis difokuskan pada apa yang sedang dialami client dan pengungkapan oleh terapis. Sejak tiga pulu tahun terakhir, terapi client centered telah bergeser ke arah lebih banyak membawa kepribadian terapis dalam proses terapeutik.
Penerapan di Sekolah : Proses Belajar Mengajar
Filsafat yang mendasari teori client centered memiliki penerapan langsung pada proses belajar. Seperti pandangannya terhadap terapis dan client, guru berperan sebagai alat yang menciptakan atmosfer yang positif dan siswa dipandang sebagai manusi yang dapat bertanggungjawab dan menemukan masalah-masalah yang penting yang berkaitan dengan keberadaan dirinya. Siswa bisa terlibat dalam kegiatan belajar bermakna, jika guru menciptakan iklim kebebasan dan kepercayaan. Fungsi guru seperti yang dijalankan terapis : kesejatian, ketulusan, keterbukaan, penerimaan, pengertian, empati dan kesediaan untuk membiarkan para siswa untuk mengeksplorasi materi yang bermakna menciptakan atmosfer dimana kegiatan belajar yang signifikan bisa berjalan.
Seseorang guru yang berorientasi psikologis bisa dengan banyal cara membimbing parara siswa, secara individual atau secara kelompok. Konseling bisa diintergrasikan ke dalam kurikulum yang dibuat terpisah dari kegiatan belajar. Proses belajar mengajar bisa menempatkan siswa pada satu tempat sentral yang menyingkiran persoaln-persoalan yang berkaitan dengadiri serta nilai-nilai pengalaman-pengalaman, perasaan-perasaan perhatian dan minat siswa yang sesungguhnya.
E. ANALISIS
Jika melihat paparan tentang pokok-pokok pemikiran pendekatan client centered di atas, jelas sekali bahwa ada 3 hal yang menjadi pemikiran/konsep utama yakni client, terapis dan proses terapi. Client dipandang sebagai manusia yang tumbuh dan bergerak. Manusia merupakan sesuatu yang unik. Manusia memiliki rasa, jiwa, pemikiran yang tumbuh dan bergerak untuk menjadi maju, memiliki pilihan, menentukan pilihannya yang dianggap baik dan bertanggungjawab dalam kehidupannya. Sedang terapis berfungsi sebagai alat atau media untuk membantu gerak jiwa client kearah apa yang diinginkannya. Maka proses terapeutiknya tidak bersifat searah, tetapi bagaimana mensinergikan dua bagian (terapis dan client) untuk mencapai kematangan psikologis client. Terapis tetap sebagi instrumen yang mengedepankan kepribadian dan sikap-sikap terbuka, otentik, ketulusan dan empati yang notabene ia dituntut untuk menciptakan iklim yang kondusif dalam proses terapeutiknya.
Penulis melihat pendekatan client centered ini seperti tidak memiliki “wajah” yang jelas dalam proses terapi. Artinya pendekatan ini tidak memiliki struktur dan mekanisme yang baku. Hal ini memberikan sinyal bahwa kebebasan terapis dalam berkreasi dalam proses terapi dan sekaligus menuntut adanya kreatifitas yang tinggi. Terapis dituntut untuk memiliki keterampilan terapi, berkomunikasi dan berinteraksi dengan baik. Terapis harus sangat berhati-hati dalam peranya misalnya berempati tapi tidak boleh larut kedalam perasaanya, menciptakan kesadaran client tapi tidak mengarahkan, membuat isyarat tapi tidak boleh memutuskan, dan sebaginya. Peran dan fungsi terapis dalam pendekatan ini memiliki tantangan tersendiri bagi konselor dimana kemampuan spontanitas reaktifnya sangat diuji.
Pendekatan Client Centered memandang manusia sebagai individu yang memiliki nilai-nilai tersendiri. Implikasi dari pandangan ini, terapis harus menjunjung tinggi nilai-nilai yang dibawa oleh individu. Pendekatan ini dapat diterapkan ketika asumsi-asumsi ini juga berlaku dimana konteks budaya individu itu berada. Sebagai contoh misalnya di budaya masyarakat jawa. Anak (sebelum 17) dalam budaya jawa (meskipun tidak seluruhnya) masih dianggap belum memiliki kemampuan untuk mengolah dan menentukan dirinya sendiri. Orang tua adalah bagian yang mengatur atau bila perlu mengarahkan dan menentukan keputusan-keputasan yang berkaitan dengan keberadaan anak. Dengan kata yang lebih sederhana adalah “membantu”. Dari kondisi ini tentu pendekatan client centered memiliki kesulitan dalam penerapannya.
Menurut Superka, et. al. dalam Zakaria (2001) ada lima pendekatan pendidikan penanaman nilai yang dapat diadopsi dalam bidang konseling : (1) Pendekatan penanaman nilai (inculcation approach), (2) Pendekatan perkembangan moral kognitif (cognitive moral development approach), (3) Pendekatan analisis nilai (values analysis approach), (4) Pendekatan klarifikasi nilai (values clarification approach), dan (5) Pendekatan pembelajaran berbuat (action learning approach). Dalam konteks konseling, pendekatan yang cenderung dilakukan adalah dengan pendekatan penanaman nilai dan pendekatan pembelajaran berbuat (teladan, memberi contoh). Jadi pendekatan client centered dapat digunakan dalam bidang konseling ketika filosofi dasar tentang manusia itu berlaku dalam konteks tempat dan budayanya.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Terapi Client-Centered berlandaskan suatu filsafat tentang manusia yang menekankan bahwa kita memilki dorongan bawaan pada aktualisasi diri. Selain itu Rogers mamandang manusia secara fenomenologis, yakni bahwa manusia menyusun dirinya sendiri menurut persepsi-persepsinya tentang kenyataan. Orang termotivasi untuk mengaktualisasikan diri dalam kenyataan yang dipersepsinya.
Teori ini, berlandaskan dalil bahwa klien memiliki kesanggupan untuk memahami fator-faktor yang ada dalam hidupnya yang menjadi penyebab ketidak bahagiaan. Klien juga memiliki kesanggupan untuk mengarahkan diri dan melakukan perubahan pribadi yang konstruktif.
Terapi client-centered menempatkan tanggung jawaab utama terhadap arah terapi pada klien. Tujuan-tujuan umumnya ialah menjadi lebih terbuka pada pengalaman, mempercayai organisme sendirinya sendirir, mengembangkan evaluasi internal, kesediaan untuk menjadi suatu proses, dan dengan cara-cara lain bergerak menuju taraf-taraf yang lebih tinggi dan aktualisasidiri.
Terapi ini juga menitikberatkan hubungan pribadi antara klien dan terapis; sikap-sikap terapis lebih penting daripada teknik-teknik, pengetahuan, atau teori. Jika terapis menunjukkan dan mengomunikasikan kepada kliennya bahwa terapis adalah pribadi yang selaras, secara hangat dan tak bersyarat menerima perasaan-perasan dan kepribadian klien, dan mempu mempersepsi secara peka dan tepat dunia internal klien sebagaimana klien mempersepsi dunia internalnya itu, maka klien bisa menggunakan hubungan terapeutik untuk memperlancar pertumbuhan dan menjadi pribadi yang dipilihnya
B. Saran
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca, baik kalangan mahasiswa sendiri atau bagi para pembaca lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Corey, Gerald. 2003. Teori dan Praktek Konseling & Psikoterapi. Bandung : PT. Refika Aditama
Depdiknas (2007). Penataan Pendidikan Profesional Konselor dan LayananBimbingan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal. Depdiknas.
Zakaris, Teuku Ramli. (2001). Pendekatan-Pendekatan Pendidikan Nilai dan Implementasi dalam Pendidikan Budi Pekerti. Jakarta : Jurnal end Pendidikan dan Kebudayaan No 26, 479-495
Artikel Tuesday, 28 September 2010 23:46 Written by Joko Yuwono. Diposkan oleh Education di 09:30 Label: Teori Bimbingan Konseling
http://phakiah.multiply.com/journal/item/24/TEORI-TEORI_YANG_DIGUNAKAN_DALAM_KONSELING_DAN_PSIKOTERAPI
Langganan:
Postingan (Atom)