Sabtu, 21 Mei 2011

PSI KONSELING CLIENT CENTERED

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Permasalahan hidup yang semakin kompleks dan rumit sangat terasa di era yang global ini, mulai dari permasalahan, sosial ekonomi, politik, keluarga dan masih banyak lagi permasalahan hidup yang timbul sehingga sifat negatif yang ada dalam diri manusia pun terpacu untuk dapat diaktualisasikan. Tentu hal ini sangat dilematis sekali karena dari semua itu hanya akan memperburuk dan menambah masalah saja, dalam teori client centered berlandaskan suatu filsafata tentang manusia menyusun dirinya sendiri menurut persepsi-persepsinya tentang kenyataan. Orang termotivasi untuk mengaktualkan diri dalam kenyataan yang dipersepsinya.
Dari teori tersebut dapat dipahami ketika permasalahan hidup semakin komplek maka diperlukan adanya konsep diri ataupun memperspsi diri dalam menghadapi masalah yang dia hadapi tersebut, agar dapat mencapai aktualisasi diri yang dia punyai..
Manusia memiliki kesanggupan untuk memahami factor-faktor yang ada dalam hidupnya yang menjadi penyebab ketidakbahagiaan. Manusia juga memiliki kesanggupan untuk mengarahkan diri dan melakukan perubahan pribadi yang konstruktif Oleh karena itu saat ini banyak sekali kita temukan permasalahan-permasalahan yang mengarah pada kehidupan efektif sehari-hari terhambat karena disebabkan banyak faktor yang sudah disebutkan diatas sehingga pemikiran-pemikiran individu sudah tak dapat lagi berpikir rasional yang membuat emosi dalam diri labil dan melakukan tindakan-tindakan menyimpang tak hanya pada lingkup masyarakat luas namun kejadian ini sudah merambah kedalam institusi sekolah, yang dimana siswa juga merasakannya dan mengganggu efektivitas kegiatan belajar mengajar serta mengganggu potensi dan kemandirian siswa kedepannya
Dalam mengtasi permasalahan-permasalahan tersebut banyak teori yang dapat membatu untuk mengatasinya, namaun disini penulis akan menjelaskan teori client-centered sebagai salah satu teori teori untuk mengatasi masalah, yang mana teori tersebut dikembangkan oleh carl R. Roger

B. Rumusan Masalah
a) Apa pengertian tentang client-centered?
b) Apa peran dan fungsi Terapis dalam client-centered?
c) Bagaimana penerapanya atau teknik yang dilakukan pada client-centered?

C. Tujuan
a) Untu mengetahui pengertian tentang clien-centered.
b) Untuk mengetahui peran dan fungsi terapis dalam client-centered.
c) Untuk mengetahui penerapan atau teknik yang dilakukan pada client centered.












BAB II
PEMBAHASAN

PENDEKATAN CLIENT-CENTERED (Carl Rogers)

Carl Rogers mengembangkan terapi Client-centered sebagai reaksi terhadap apa yang disebutnya keterbatasan-keterbatasan mendasar dari psikoanalisis. Pada hakikatnya, pendekatan client-centered adalah cabang khusus dari humanistic yang menggarisbawahi tindakan mengalami klien berikut dunia subjektif dan fenomemalnya. Terapis berfungsi terutama sebagai penunjang jalan terapi pertumbuhan pribadi kliennya dengan jalan membantu kliennya itu dalam menemukan kesanggupan untuk memecahkan masalah. Pendekatan client-centered menaruh kepercayaan yang besar pada kesanggupan klien untuk mengikuti jalan terapi dan menemukan arahnya sendiri. Hubungan terapeutik antara terapis dan klien merupakan katalisator bagi perubahan; klien menggunakan hubungan yang unik sebagai alat untuk meningkatkan kesadaran dan untuk menemukan sumber-sumber terpendam yang bisa digunakan secara konstruktif dalam pengubahan hidupnya.

A. Konsep Utama
Pandangan Tentang Sifat Manusia
Pandangan ini menolak adanya kecendrungan-kecendrungan negative dasar. Sementara beberapa pendekatan beranggapan bahwa manusia menurut kodratnya adalah irasional dan berkecenderungan merusak terhadap dirinya sendiri maupun terhadap orang lain kecuali jika telah menjalani sosialisasi. Rogers menunjukkan kepercayaan yang mendalam pada manusia. Ia memandang manusia tersosialisasi dan bergerak kemuka, berjuang untuk berfngsi penuh, serta memiliki kebaikan yang positif pada intinya yang terdalam. Pendek kata, manusia dipercayai dan karena pada dasarnya kooperatif dan konstruktif, tidak perlu diadakan pengendalian terhadap dorongan-dorongan agresifnya.
Pandangan manusia yang positif ini memiliki implikasi-implikasi yang berarti bagi paktik terapi client-centered. Berkat pandangan filosofis bahwa individu memiliki kesanggupan yang inheren untuk menjauhi maldjustment menuju keadaan psikologis yang sehat, terapis meletakkan tanggung jawab utamanya bagi proses terapi pada klien. Model client-centered menolak konsep yang memandang terapis sebagai otoritas yang mengetahui yang terbaik dan yang memandang klien sebagai manusia pasif yang hanya mengikuti perintah-perinyah terapis. Oleh karena itu, terapi client-centered berakar pada kesanggupan klien untuk sadar dan membuat putusan-putusan.

Ciri-ciri Pendekatan Client-Centered
Pendekatan ini difokuskan pada tanggung jawab dan kesanggupan klien untuk menemukan cara-cara menyadari kenyataan secara lebih penuh. Menurut pendekatan ini, psikoterapi hanyalah salah satu contoh dari hubungan pribadi yang konstruktif. Klien mengalami pertpsikoterapeutik didalam dan melalui hubungannya dengan seseorang yang membantunya melakukan apa yang tidak bisa dilakukannya sendirian. Itu adalah hungan dengan konselor yang selaras (menyeimbangkan tingkah laku dan ekspresi eksternal dengan perasaan-perasaan dan pemikiran-pemikiran internal), bersikap menerima dan empatik yang bertindak sebagai agen perubahan terapeutik bagi klien.
Terapi client-centerd memasukkan konsep bahwa fungsi terapis adalah tampil langsung dan bisa dijangkau oleh lien serta memusatkan perhatian pada pengalaman disini-dan-sekarang yang tercipta melalui hubungan antara klien dan terapis.
Terapi client-centered dicirikan sebagai perjalanan bersama dimana baik terapis maupun klien memperlihatkan kemanusiawiannya dan berpartisipasi dalam pengalaman pertumbuhan.




B. PROSES TERAPEUTIK
Tujuan-tujuan Terapeutik
Yaitu menciptakan iklim yang kondusif bagi usaha membantu klien untuk menjadi seorang pribadi yang berfungsi penuh. Guna mencapai tujuan terapeutik tersebut, terapis perlu mengusahakan agar klien bias memahami hal-hal yang ada dibalik topeng yang dikenakannya. Klien mengembangakan kepura-puraan dan bertopeng sebagai pertahanan terhadap ancaman.
Apabila dinding itu runtuh selama proses terapeutik, orang macam apa yang muncul dari balik kepura-puraan itu? Rogers (1961) menguraikan cirri-ciri orang yang bergerak kea rah menjadi bertambah teraktualkan sebagai berikut :
1. Keterbukaan pada pengalaman
Keterbukaan pemgalaman perlu memandang kenyataan tanpa mengubah bentuknya supaya sesuai dengan struktur diri yang tersusun lebih dulu. Sebagai lawan kebertahanan, keterbukaan pada pengalaman menyiratkan menjadi lebih sadar terhadap kenyataan sebagaimana kenyataan itu hadir diluar dirinya. Hal ini juga berarti bahwa kepercayaan-kepercayaan orang tidak kaku; dia dapat tetap terbuka terhadap pengetahuan lebih lanjut dan pertumbuhan serta bisa menoleransi kedwiartian. Orang memiliki kesadaran atas diri sendiri pada saat sekarang dan kesanggupan mengalami dirinya dengan cara-cara yang baru.
2. Kepercayaan terhadap organisme sendiri
Salah satu tujuan terapi adalah membantu klien dalam membangun rasa percaya diri terhadap diri sendiri. Acap kali, pada tahap-tahap permulaan terapi, kepercayaan klien terhadap diri sendiri dan terhadap putusan-putusannya sendiri sangat kecil. Mereka secara khas mencari saran dan jawaban-jawaban dari luar karena pada dasarnya mereka tidak mempercayai kemampuan-kemampuan dirinya untuk mengarahkan hidupnya sendiri. Dengan meningkatnya keterbukaan klien pada pengalaman-pengalamannya sendiri, kepercayaan klien kepada dirinya sendiri pun mulai timbul.
3. Tempat evaluasi internal
Tempat evaluasi internal yang berkaitan dengan kepercayaan diri, berarti lebih banyak mencari jawaban-jawaban pada diri sendiri bagi masalah-masalah keberadaanya. Orang semakin menaruh perhatian pada pusat dirinya daripada mencari pengesahan bagi kepribadiannya dari luar. Dia mengganti persetujuan universal dari orang lain dengan persetujuan dari diri sendiri. Dia menetapkan standar-standar tingkah laku dan melihat ke dalam dirinya sendiri dalam membuat putusan-putusan dan pilihan-pilihan bagi hidupnya.
4. Kesediaan untuknmenjadi suatu proses
Konsep tentang diri dalam proses pemenjadian, yang merupakan lawan dari konsep tentang diri sebagai produk, sangat penting. Meskipun klien boleh jadi menjalani terapi untuk mencari sejenis formula untuk membangun keadaan berhasil dan berbahagia (hasil akhir), mereka menjadi sadar bahwa pertumbuhan adalah suatu proses yang berkesinambungan. Para klien dalam terapi berada dalam proses pengujia persepsi-persepsi dan kepercayaan-kepercayaan serta membuka diri bagi pengalaman-pengalaman baru dan revisi-revisi ahli-ahli menjadi wujud yang membeku.
Tonggak terapi client-centered adalah anggapannya bahwa klien dalam hubungannya dengan terapis yang menunjang, memiliki kesanggupan untuk menentukan dan menjernihkan tujuan-tujuannya sendiri.

C. FUNGSI DAN PERAN TERAPIS
Peran terapis dalam pendekatan ini terletak pada cara-cara keberadaan terapis dan sikap-sikapnya, bukan penggunaan teknik. Terapis menggunakan dirinya sendiri sebagai alat untuk mengubah client. Peran terapis adalah tanpa peran. Adapun fungsi terapis adalah membangun suatu iklim terapeutik yang menunjang pertumbuhan client. Terapis memberikan pengalaman-pengalaman dalam proses terapi untuk membangun kepercayaan diri untuk membuat keputusan-keputusan sendiri. Membangun kematangan psikologis client dalam proses terapi menjadi bagian yang krusial.
Konsep hubungan antara terapis dan client dalam pendekatan ini ditegaskan oleh pernyataan Rogers (1961) “jika saya bisa menyajikan suatu tipe hubungan, maka orang lain akan menemukan dalam dirinya sendiri kesanggupan menggunakan hubungan itu untuk pertumbuhan dan perubahan, sehingga perkembangan peribadipun akan terjadi.
Ada tiga ciri atau sikap terapis yang membentuk bagian dengan hubungan teraputik :
Pertama, Keselarasan/kesejatian. Konsep kesejatian yang dimaksud Rogers adalah bagaimana terapis tampil nyata, utuh, otentik dan tidak palsu serta terinytgrasi selama pertemuan terapi. Terapis bersikap secara spontan dan terbuka menyatakan sikap-sikap yang ada pada dirinya baik yang positif maupun negatif. Jelas bahwa pendekatan client centered berasumsi bahwa jika terapi selaras/menunjukkan kesejatiannya dalam berhubungan dengan client maka proses terapeutik bisa berlangsung.
Kedua, Perhatian positif tak bersayarat. Perhatian tak bersayarat itu tidak dicampuri oleh evaluasi atau penilaian terhadap pemikiran-pemikiran dan tingkah laku client sebagai hal yang buruk atau baik. Perhatian tak bersyarat bukan sikap “Saya mau menerima asalkan…..melainkan “Saya menerima anda apa adanya”. Perhatian tak bersyarat itu seperti continuum.
Ketiga, Pengertian empatik yang akurat. Terapis benar-benar dituntut untuk menggunakan kemampuan inderanya dalam berempati guna mengenali dan menjelajahi pengalaman subjektif dari client. Konsep ini menyiratkan terapis memahami perasaan-perasaan client yang seakan-akan perasaanya sendiri. Tugas yang makin rumit adalah memahami perasaan client yang samar dan memberikan makna yang makin jelas. Regers percaya bahwa apabila terapis mampu menjangkau dunia pribadi client sebagaimana dunia pribadi itu diamati dan dirasakan oleh client, tanpa kehilangan identitas dirinya yang terpisah dari client, maka perubahan yang konstruktif akan terjadi.
D. PENERAPAN : TEKNIK-TEKNIK DAN PROSEDUR-PROSEDUR TERAPEUTIK
Tempat Teknik-Teknik dalam Pendekatan Client Centered
Penekanan teknik-teknik dalam pendekatan ini adalah pada kepribadian, keyakinan-keyakinan, dan sikap-sikap terapis, serta hubungannya dengan terapeutik. Dalam kerangka client centered, “teknik-teknik”nya adalah pengungkapan dan pengkomunikasian penerimaan, respek dan pengertian serta berbagi upaya dengan client dalam mengembangkan kerangka acuan internal dengan memikirkan, merasakan dan mengeksplorasi.
Periode-periode Perkembangan Terapi Client Centered
Hart (1970) membagi perkembangan teori Rogers ke dalam tiga periode yakni : Pertama, periode 1 (1940-1950) : Psikoterapi nondirektif, dimana menekankan penciptaan iklim permisif dan nondirektif. Penerimaan dan klarifikasi sebagai tekniknya. Kedua, Periode 2 (1950-1957) : Psikoterapi reflektif. Terapis merefleksikan perasaan-perasaan client dan menghindari ancaman dalam hubungannya dengan dengan client. Client diharapkan mampu mengembangkan keselarasan antara konsep diri dan konsep diri ideal. Ketiga, Periode 3 (1957-1970); Terapi eksperiensial. Tingkah laku yang luas terapis yang mengungkapkan sikap-sikap dsarnya menandai pendekatan ini. Terapis difokuskan pada apa yang sedang dialami client dan pengungkapan oleh terapis. Sejak tiga pulu tahun terakhir, terapi client centered telah bergeser ke arah lebih banyak membawa kepribadian terapis dalam proses terapeutik.
Penerapan di Sekolah : Proses Belajar Mengajar
Filsafat yang mendasari teori client centered memiliki penerapan langsung pada proses belajar. Seperti pandangannya terhadap terapis dan client, guru berperan sebagai alat yang menciptakan atmosfer yang positif dan siswa dipandang sebagai manusi yang dapat bertanggungjawab dan menemukan masalah-masalah yang penting yang berkaitan dengan keberadaan dirinya. Siswa bisa terlibat dalam kegiatan belajar bermakna, jika guru menciptakan iklim kebebasan dan kepercayaan. Fungsi guru seperti yang dijalankan terapis : kesejatian, ketulusan, keterbukaan, penerimaan, pengertian, empati dan kesediaan untuk membiarkan para siswa untuk mengeksplorasi materi yang bermakna menciptakan atmosfer dimana kegiatan belajar yang signifikan bisa berjalan.
Seseorang guru yang berorientasi psikologis bisa dengan banyal cara membimbing parara siswa, secara individual atau secara kelompok. Konseling bisa diintergrasikan ke dalam kurikulum yang dibuat terpisah dari kegiatan belajar. Proses belajar mengajar bisa menempatkan siswa pada satu tempat sentral yang menyingkiran persoaln-persoalan yang berkaitan dengadiri serta nilai-nilai pengalaman-pengalaman, perasaan-perasaan perhatian dan minat siswa yang sesungguhnya.

E. ANALISIS
Jika melihat paparan tentang pokok-pokok pemikiran pendekatan client centered di atas, jelas sekali bahwa ada 3 hal yang menjadi pemikiran/konsep utama yakni client, terapis dan proses terapi. Client dipandang sebagai manusia yang tumbuh dan bergerak. Manusia merupakan sesuatu yang unik. Manusia memiliki rasa, jiwa, pemikiran yang tumbuh dan bergerak untuk menjadi maju, memiliki pilihan, menentukan pilihannya yang dianggap baik dan bertanggungjawab dalam kehidupannya. Sedang terapis berfungsi sebagai alat atau media untuk membantu gerak jiwa client kearah apa yang diinginkannya. Maka proses terapeutiknya tidak bersifat searah, tetapi bagaimana mensinergikan dua bagian (terapis dan client) untuk mencapai kematangan psikologis client. Terapis tetap sebagi instrumen yang mengedepankan kepribadian dan sikap-sikap terbuka, otentik, ketulusan dan empati yang notabene ia dituntut untuk menciptakan iklim yang kondusif dalam proses terapeutiknya.
Penulis melihat pendekatan client centered ini seperti tidak memiliki “wajah” yang jelas dalam proses terapi. Artinya pendekatan ini tidak memiliki struktur dan mekanisme yang baku. Hal ini memberikan sinyal bahwa kebebasan terapis dalam berkreasi dalam proses terapi dan sekaligus menuntut adanya kreatifitas yang tinggi. Terapis dituntut untuk memiliki keterampilan terapi, berkomunikasi dan berinteraksi dengan baik. Terapis harus sangat berhati-hati dalam peranya misalnya berempati tapi tidak boleh larut kedalam perasaanya, menciptakan kesadaran client tapi tidak mengarahkan, membuat isyarat tapi tidak boleh memutuskan, dan sebaginya. Peran dan fungsi terapis dalam pendekatan ini memiliki tantangan tersendiri bagi konselor dimana kemampuan spontanitas reaktifnya sangat diuji.
Pendekatan Client Centered memandang manusia sebagai individu yang memiliki nilai-nilai tersendiri. Implikasi dari pandangan ini, terapis harus menjunjung tinggi nilai-nilai yang dibawa oleh individu. Pendekatan ini dapat diterapkan ketika asumsi-asumsi ini juga berlaku dimana konteks budaya individu itu berada. Sebagai contoh misalnya di budaya masyarakat jawa. Anak (sebelum 17) dalam budaya jawa (meskipun tidak seluruhnya) masih dianggap belum memiliki kemampuan untuk mengolah dan menentukan dirinya sendiri. Orang tua adalah bagian yang mengatur atau bila perlu mengarahkan dan menentukan keputusan-keputasan yang berkaitan dengan keberadaan anak. Dengan kata yang lebih sederhana adalah “membantu”. Dari kondisi ini tentu pendekatan client centered memiliki kesulitan dalam penerapannya.
Menurut Superka, et. al. dalam Zakaria (2001) ada lima pendekatan pendidikan penanaman nilai yang dapat diadopsi dalam bidang konseling : (1) Pendekatan penanaman nilai (inculcation approach), (2) Pendekatan perkembangan moral kognitif (cognitive moral development approach), (3) Pendekatan analisis nilai (values analysis approach), (4) Pendekatan klarifikasi nilai (values clarification approach), dan (5) Pendekatan pembelajaran berbuat (action learning approach). Dalam konteks konseling, pendekatan yang cenderung dilakukan adalah dengan pendekatan penanaman nilai dan pendekatan pembelajaran berbuat (teladan, memberi contoh). Jadi pendekatan client centered dapat digunakan dalam bidang konseling ketika filosofi dasar tentang manusia itu berlaku dalam konteks tempat dan budayanya.

BAB III
PENUTUP

A. Simpulan
Terapi Client-Centered berlandaskan suatu filsafat tentang manusia yang menekankan bahwa kita memilki dorongan bawaan pada aktualisasi diri. Selain itu Rogers mamandang manusia secara fenomenologis, yakni bahwa manusia menyusun dirinya sendiri menurut persepsi-persepsinya tentang kenyataan. Orang termotivasi untuk mengaktualisasikan diri dalam kenyataan yang dipersepsinya.
Teori ini, berlandaskan dalil bahwa klien memiliki kesanggupan untuk memahami fator-faktor yang ada dalam hidupnya yang menjadi penyebab ketidak bahagiaan. Klien juga memiliki kesanggupan untuk mengarahkan diri dan melakukan perubahan pribadi yang konstruktif.
Terapi client-centered menempatkan tanggung jawaab utama terhadap arah terapi pada klien. Tujuan-tujuan umumnya ialah menjadi lebih terbuka pada pengalaman, mempercayai organisme sendirinya sendirir, mengembangkan evaluasi internal, kesediaan untuk menjadi suatu proses, dan dengan cara-cara lain bergerak menuju taraf-taraf yang lebih tinggi dan aktualisasidiri.
Terapi ini juga menitikberatkan hubungan pribadi antara klien dan terapis; sikap-sikap terapis lebih penting daripada teknik-teknik, pengetahuan, atau teori. Jika terapis menunjukkan dan mengomunikasikan kepada kliennya bahwa terapis adalah pribadi yang selaras, secara hangat dan tak bersyarat menerima perasaan-perasan dan kepribadian klien, dan mempu mempersepsi secara peka dan tepat dunia internal klien sebagaimana klien mempersepsi dunia internalnya itu, maka klien bisa menggunakan hubungan terapeutik untuk memperlancar pertumbuhan dan menjadi pribadi yang dipilihnya


B. Saran
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca, baik kalangan mahasiswa sendiri atau bagi para pembaca lainnya.




























DAFTAR PUSTAKA

Corey, Gerald. 2003. Teori dan Praktek Konseling & Psikoterapi. Bandung : PT. Refika Aditama
Depdiknas (2007). Penataan Pendidikan Profesional Konselor dan LayananBimbingan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal. Depdiknas.
Zakaris, Teuku Ramli. (2001). Pendekatan-Pendekatan Pendidikan Nilai dan Implementasi dalam Pendidikan Budi Pekerti. Jakarta : Jurnal end Pendidikan dan Kebudayaan No 26, 479-495
Artikel Tuesday, 28 September 2010 23:46 Written by Joko Yuwono. Diposkan oleh Education di 09:30 Label: Teori Bimbingan Konseling
http://phakiah.multiply.com/journal/item/24/TEORI-TEORI_YANG_DIGUNAKAN_DALAM_KONSELING_DAN_PSIKOTERAPI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar