Sabtu, 21 Mei 2011

ASUHAN KEPERAWATAN MATERNITAS PADA PASIEN NY. E.K DENGAN POST PARTUM HARI I DI RUANG BERSALIN II, RSUD DR. SOETOMO SURABAYA TANGGAL 08 – 09 APRIL 2002

PRAKTEK KLINIK PROFESI UNIT KEPERAWATAN MATERNITAS
PSIK – FK UNAIR SURABAYA

LAPORAN PENDAHULUAN

NAMA : Subhan TEMPAT PRAKTEK: RB II
NIM : 010030170 B TANGGAL : 8-12 April 2002
TOPIK : ASUHAN KEPERAWATAN PADA IBU DENGAN POST PARTUM (MASA NIFAS)

Gangguan Pemenuhan Kebutuhan Dasar
(Dikaitkan Dengan Patofisiologi, Insiden dan Prognosis Penyakit)

1. PENGERTIAN:
Puerperium (masa nifas) adalah masa sesudah persalinan yang diperlukan untuk pulihnya kembali alat kandungan yang lamanya 6 minggu. Kejadian yang terpenting dalam nifas adalah involusi dan laktasi.

2. PATOFISIOLOGI:

Post partum/masa nifas/puerperium


Aspek fisiologis Aspek psikososial


Tanda vital Sist.kardiovaskuler Sist.endokrin Sist.urinaria Kelahiran bayi


Sist.pencernaan Sist.muskuloskletal Reproduksi Perubahan dalam keluarga


Adaptasi Tidak beradaptasi
Suhu meningkat Sensasi eks.bawah
Breast engorgement Tromboplebitis
Edema Resiko ggn.proses parenting

Nyeri Ggn. Pemenuhan ADL Diuresis
Resiko gangguan proses laktasi Urgensi
Resiko infeksi puerperalis Urinary frekuency

Nafsu makan Meningkat Prod. Hormon turun.
Penurunan tonus abdomen Prolaktin meningkat Ggn. Eleminasi BAK
Prod. ASI

Resiko konstipasi Resiko ggn. Proses parenting


Bradikardia Involusi uteri
Takikardia involusi daerah impalntasi plasenta
Cerviks
Instability vasomotor Perubahan pd. vagina
Kencang pd clitoris dan labia
Diaporesis/menggigil Luka perineum
Pengeluaran kolostrum.
Gangguan rasa nyaman
Resiko infeksi puerperalis
Ggn.rasa nyaman(nyeri)
Resiko ggn proses laktasi

Pemeriksaan Diagnostik Hasil:
1. Kondisi uterus: palpasi fundus, kontraksi, TFU.
2. Jumlah perdarahan: inspeksi perineum, laserasi, hematoma.
3. Pengeluaran lochea.
4. Kandung kemih: distensi bladder.
5. Tanda-tanda vital: Suhu 1 jam pertama setelah partus, TD dan Nadi terhadap penyimpangan cardiovaskuler. Kontraksi miometrium, tingkat involusi uteri.

Bentuk insisi, edema.

Rubra, serosa dan alba.
Hematuri, proteinuria, acetonuria.
24 jam pertama  380C.
Kompensasi kardiovaskuler TD sistolik menurun 20 mmHg.
Bradikardi: 50-70 x/mnt.
Diagnosa Keperawatan:
1. Resiko defisit volume cairan b/d pengeluaran yang berlebihan; perdarahan; diuresis; keringat berlebihan.
2. Perubahan pola eleminasi BAK (disuria) b/d trauma perineum dan saluran kemih.
3. Perubahan pola eleminasi BAB (konstipasi) b/d kurangnya mobilisasi; diet yang tidak seimbang; trauma persalinan.
4. Gangguan rasa nyaman (nyeri) b/d peregangan perineum; luka episiotomi; involusi uteri; hemoroid; pembengkakan payudara.
5. Resiko infeksi b/d trauma jalan lahir.
6. Resiko gangguan proses parenting b/d kurangnya pengetahuan tentang cara merawat bayi.
7. Gangguan pemenuhan ADL b/d kelemahan; kelelahan post partum.


RENCANA KEPERAWATAN
Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Rencana Intervensi Rasional
Resiko defisit volume cairan b/d pengeluaran yang berlebihan; perdarahan; diuresis; keringat berlebihan.
Pasien dapat mendemostrasikan status cairan membaik.
Kriteria evaluasi: tak ada manifestasi dehidrasi, resolusi oedema, haluaran urine di atas 30 ml/jam, kulit kenyal/turgor kulit baik. Pantau:
- Tanda-tanda vital setiap 4 jam.
- Warna urine.
- Berat badan setiap hari.
- Status umum setiap 8 jam.
Beritahu dokter bila: haluaran urine < 30 ml/jam, haus, takikardia, gelisah, TD di bawah rentang normal, urine gelap atau encer gelap.
Konsultasi dokter bila manifestasi kelebihan cairan terjadi.
Pantau: cairan masuk dan cairan keluar setiap 8 jam. Mengidentifikasi penyimpangan indikasi kemajuan atau penyimpangan dari hasil yang diharapkan.



Temuan-temuan ini mennadakan hipovolemia dan perlunya peningkatan cairan.

Mencegah pasien jatuh ke dalam kondisi kelebihan cairan yang beresiko terjadinya oedem paru.
Mengidentifikasi keseimbangan cairan pasien secara adekuat dan teratur.

Perubahan pola eleminasi BAK (disuria) b/d trauma perineum dan saluran kemih.
Pola eleminasi (BAK) pasien teratur.
Kriteria hasil: eleminasi BAK lancar, disuria tidak ada, bladder kosong, keluhan kencing tidak ada.
Kaji haluaran urine, keluhan serta keteraturan pola berkemih.
Anjurkan pasien melakukan ambulasi dini.

Anjurkan pasien untuk membasahi perineum dengan air hangat sebelum berkemih.
Anjurkan pasien untuk berkemih secara teratur.

Anjurkan pasien untuk minum 2500-3000 ml/24 jam.
Kolaborasi untuk melakukan kateterisasi bila pasien kesulitan berkemih. Mengidentifikasi penyimpangan dalam pola berkemih pasien.

Ambulasi dini memberikan rangsangan untuk pengeluaran urine dan pengosongan bladder.
Membasahi bladder dengan air hangat dapat mengurangi ketegangan akibat adanya luka pada bladder.
Menerapkan pola berkemih secara teratur akan melatih pengosongan bladder secara teratur.
Minum banyak mempercepat filtrasi pada glomerolus dan mempercepat pengeluaran urine.
Kateterisasi memabnatu pengeluaran urine untuk mencegah stasis urine.
Perubahan pola eleminasi BAB (konstipasi) b/d kurangnya mobilisasi; diet yang tidak seimbang; trauma persalinan.
Pola eleminasi (BAB) teratur.
Kriteria hasil: pola eleminasi teratur, feses lunak dan warna khas feses, bau khas feses, tidak ada kesulitan BAB, tidak ada feses bercampur darah dan lendir, konstipasi tidak ada. Kaji pola BAB, kesulitan BAB, warna, bau, konsistensi dan jumlah.
Anjurkan ambulasi dini.

Anjurkan pasien untuk minum banyak 2500-3000 ml/24 jam.

Kaji bising usus setiap 8 jam.
Pantau berat badan setiap hari.
Anjurkan pasien makan banyak serat seperti buah-buahan dan sayur-sayuran hijau. Mengidentifikasi penyimpangan serta kemajuan dalam pola eleminasi (BAB).
Ambulasi dini merangsang pengosongan rektum secara lebih cepat.
Cairan dalam jumlah cukup mencegah terjadinya penyerapan cairan dalam rektum yang dapat menyebabkan feses menjadi keras.
Bising usus mengidentifikasikan pencernaan dalam kondisi baik.
Mengidentifiakis adanya penurunan BB secara dini.
Meningkatkan pengosongan feses dalam rektum.
Gangguan pemenuhan ADL b/d immobilisasi; kelemahan.
ADL dan kebutuhan beraktifitas pasien terpenuhi secara adekuat.
Kriteria hasil:
- Menunjukkan peningkatan dalam beraktifitas.
- Kelemahan dan kelelahan berkurang.
- Kebutuhan ADL terpenuhi secara mandiri atau dengan bantuan.
- frekuensi jantung/irama dan Td dalam batas normal.
- kulit hangat, merah muda dan kering • Kaji toleransi pasien terhadap aktifitas menggunakan parameter berikut: nadi 20/mnt di atas frek nadi istirahat, catat peningaktan TD, dispnea, nyeri dada, kelelahan berat, kelemahan, berkeringat, pusing atau pinsan.
• Tingkatkan istirahat, batasi aktifitas pada dasar nyeri/respon hemodinamik, berikan aktifitas senggang yang tidak berat.
• Kaji kesiapan untuk meningkatkan aktifitas contoh: penurunan kelemahan/kelelahan, TD stabil/frek nadi, peningaktan perhatian pada aktifitas dan perawatan diri.
• Dorong memajukan aktifitas/toleransi perawatan diri.

• Anjurkan keluarga untuk membantu pemenuhan kebutuhan ADL pasien.
• Jelaskan pola peningkatan bertahap dari aktifitas, contoh: posisi duduk ditempat tidur bila tidak pusing dan tidak ada nyeri, bangun dari tempat tidur, belajar berdiri dst.
• Parameter menunjukkan respon fisiologis pasien terhadap stres aktifitas dan indikator derajat penagruh kelebihan kerja jnatung.


• Menurunkan kerja miokard/komsumsi oksigen , menurunkan resiko komplikasi.

• Stabilitas fisiologis pada istirahat penting untuk menunjukkan tingkat aktifitas individu.


• Komsumsi oksigen miokardia selama berbagai aktifitas dapat meningkatkan jumlah oksigen yang ada. Kemajuan aktifitas bertahap mencegah peningkatan tiba-tiba pada kerja jantung.
• Teknik penghematan energi menurunkan penggunaan energi dan membantu keseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen.
• Aktifitas yang maju memberikan kontrol jantung, meningaktkan regangan dan mencegah aktifitas berlebihan.

Gangguan rasa nyaman (nyeri) b/d peregangan perineum; luka episiotomi; involusi uteri; hemoroid; pembengkakan payudara.
Pasien mendemonstrasikan tidak adanya nyeri.
Kriteria hasil: vital sign dalam batas normal, pasien menunjukkan peningkatan aktifitas, keluhan nyeri terkontrol, payudara lembek, tidak ada bendungan ASI. Kaji tingkat nyeri pasien.
Kaji kontraksi uterus, proses involusi uteri.

Anjurkan pasien untuk membasahi perineum dengan air hangat sebelum berkemih.
Anjurkan dan latih pasien cara merawat payudara secara teratur.
Jelaskan pada ibu tetang teknik merawat luka perineum dan mengganti PAD secara teratur setiap 3 kali sehari atau setiap kali lochea keluar banyak.
Kolaborasi dokter tentang pemberian analgesik bial nyeri skala 7 ke atas. Menentukan intervensi keperawatan sesuai skala nyeri.
Mengidentifikasi penyimpangan dan kemajuan berdasarkan involusi uteri.
Mengurangi ketegangan pada luka perineum.

Melatih ibu mengurangi bendungan ASI dan memperlancar pengeluaran ASI.
Mencegah infeksi dan kontrol nyeri pada luka perineum.


Mengurangi intensitas nyeri denagn menekan rangsnag nyeri pada nosiseptor.
Resiko infeksi b/d trauma jalan lahir.
Infeksi tidak terjadi.
Kriteria hasil: tanda infeksi tidak ada, luka episiotomi kering dan bersih, takut berkemih dan BAB tidak ada. Pantau: vital sign, tanda infeksi.

Kaji pengeluaran lochea, warna, bau dan jumlah.
Kaji luka perineum, keadaan jahitan.

Anjurkan pasien membasuh vulva setiap habis berkemih dengan cara yang benar dan mengganti PAD setiap 3 kali perhari atau setiap kali pengeluaran lochea banyak.
Pertahnakan teknik septik aseptik dalam merawat pasien (merawat luka perineum, merawat payudara, merawat bayi). Mengidentifikasi penyimpangan dan kemajuan sesuai intervensi yang dilakukan.
Mengidentifikasi kelainan pengeluaran lochea secara dini.
Keadaan luka perineum berdekatan dengan daerah basah mengakibatkan kecenderunagn luka untuk selalu kotor dan mudah terkena infeksi.
Mencegah infeksi secara dini.


Mencegah kontaminasi silang terhadap infeksi.
Resiko gangguan proses parenting b/d kurangnya pengetahuan tentang cara merawat bayi.
Gangguan proses parenting tidak ada.
Kriteria hasil: ibu dapat merawat bayi secara mandiri (memandikan, menyusui). Beri kesempatan ibu untuk melakuakn perawatan bayi secara mandiri.
Libatkan suami dalam perawatan bayi.

Latih ibu untuk perawatan payudara secara mandiri dan teratur.

Motivasi ibu untuk meningkatkan intake cairan dan diet TKTP.
Lakukan rawat gabung sesegera mungkin bila tidak terdapat komplikasi pada ibu atau bayi. Meningkatkan kemandirian ibu dalam perawatan bayi.

Keterlibatan bapak/suami dalam perawatan bayi akan membantu meningkatkan keterikatan batih ibu dengan bayi.
Perawatan payudara secara teratur akan mempertahankan produksi ASI secara kontinyu sehingga kebutuhan bayi akan ASI tercukupi.
Mneingkatkan produksi ASI.

Meningkatkan hubungan ibu dan bayi sedini mungkin.


BUKU ACUAN:

1. Bagian Obstetri dan Ginekologi FK Unpad (1994), Obstetri Patologi, Bagian Obstetri dan Ginekologi FK Unpad, Bandung.
2. Hacker Moore (1999), Esensial Obstetri dan Ginekologi Edisi 2, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
3. Hanifa Wikyasastro (1997), Ilmu Kebidanan, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo, Jakarta.
4. Marylin E. Doengoes, Mary Frances Moorhouse, Alice C. Geissler (2000), Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien Edisi 3, Peneribit Buku Kedokteran EGC, Jakarta
ANALISA DATA

No D A T A Etiologi Masalah Paraf
1. S: Pasien mengatakan luka jahitan pada kemaluan terasa sakit bila duduk dan bergerak. Pasien juga mengatakan sakit dirasa bila cebok setelah berkemih dan buang air besar. Pasien mengatakan jahitan terasa tegang. Ibu mengatakan payudara terasa bengkak dan nyeri, ASI tidak mau keluar dengan lancar.
O: Pasien meringis saat berpindah posisi, pasien post partum hari I, riwayat persalinan pertama kali, TD: 110/70 mmHg, N: 84 x/mnt. Peregangan perineum, luka episiotomi, involusi uteri, pembengkakan payudara. Nyeri.
2. S: --
O: Luka perineoterapi masih basah, tanda infeksi tidak ada, pasien post partum hari I, riwayat persalinan pertama kali, pasien meringis bila berpindah posisi, S: 37,20C. Trauma jalan lahir; perineoterapi. Resiko infeksi.
3. S: Pasien banyak bertanya tentang perawatan bayinya, pasien mengatakan belum pernah sebelumnya merawat bayi, pasien mengatakan persalinan ini adalah persalinan yang pertama kali.
O: Pasien terlihat canggung dalam merawat bayi (menggendong, memandikan, menyusui bayi), Ibu primipara, usia 21 tahun, ASI keluar belum lancar, bayi sering menangis karena kecukupan ASI kurang terpenuhi. Kurangnya pengetahuan tentang cara merawat bayi. Resiko gangguan proses parenting.

DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Nyeri b/d Peregangan perineum, luka episiotomi, involusi uteri, pembengkakan payudara.
Data penunjang:
S: Pasien mengatakan luka jahitan pada kemaluan terasa sakit bila duduk dan bergerak. Pasien juga mengatakan sakit dirasa bila cebok setelah berkemih dan buang air besar. Pasien mengatakan jahitan terasa tegang. Ibu mengatakan payudara terasa bengkak dan nyeri, ASI tidak mau keluar dengan lancar.
O: Pasien meringis saat berpindah posisi, pasien post partum hari I, riwayat persalinan pertama kali, TD: 110/70 mmHg, N: 84 x/mnt.
2. Resiko infeksi b/d trauma jalan lahir; perineoterapi.
Data penunjang:
S: --
O: Luka perineoterapi masih basah, tanda infeksi tidak ada, pasien post partum hari I, riwayat persalinan pertama kali, pasien meringis bila berpindah posisi, S: 37,20C.
3. Resiko gangguan proses parenting b/d kurangnya pengetahuan tentang cara merawat bayi.
Data penunjang:
S: Pasien banyak bertanya tentang perawatan bayinya, pasien mengatakan belum pernah sebelumnya merawat bayi, pasien mengatakan persalinan ini adalah persalinan yang pertama kali.
O: Pasien terlihat canggung dalam merawat bayi (menggendong, memandikan, menyusui bayi), Ibu primipara, usia 21 tahun, ASI keluar belum lancar, bayi sering menangis karena kecukupan ASI kurang terpenuhi.


RENCANA INTERVENSI, RASIONAL DAN IMPLEMENTASI KEPERAWATAN

No Diagnosa Keperawatan Rencana Keperawatan Implementasi Keperawatan Paraf
Tujuan dan Kriteria Hasil Rencana Intervensi Rasional Implementasi Evaluasi
1. Nyeri b/d Peregangan perineum, luka episiotomi, involusi uteri, pembengkakan payudara.
Pasien menunjukkan tidak adanya nyeri.
Kriteria hasil: vital sign dalam batas normal (TD: 110-120/70-80 mmHg, N: 70-90 x/mnt), pasien menunjukkan peningkatan aktifitas, keluhan nyeri terkontrol, payudara lembek, tidak ada bendungan ASI. Kaji tingkat nyeri pasien.

Kaji kontraksi uterus, proses involusi uteri.
Anjurkan pasien untuk membasahi perineum dengan air hangat sebelum berkemih.
Anjurkan dan latih pasien cara merawat payudara secara teratur.
Jelaskan pada ibu tentang teknik merawat luka perineum dan mengganti PAD secara teratur setiap 3 kali sehari atau setiap kali lochea keluar banyak.
Delegatif dokter tentang pemberian analgesik Mef. Acid 3x500 mg. Menentukan intervensi keperawatan sesuai skala nyeri.
Mengidentifikasi penyimpangan dan kemajuan berdasarkan involusi uteri.
Mengurangi ketegangan pada luka perineum.
Melatih ibu mengurangi bendungan ASI dan memperlancar pengeluaran ASI.
Mencegah infeksi dan kontrol nyeri pada luka perineum.



Mengurangi intensitas nyeri denagn menekan rangsnag nyeri pada nosiseptor.
2. Resiko infeksi b/d trauma jalan lahir; perineoterapi Infeksi tidak terjadi.
Kriteria hasil: tanda infeksi tidak ada, luka episiotomi kering dan bersih, vital sign dalam batas normal (S: 36-370C, N: 70-90 x/mnt). Pantau: vital sign, tanda infeksi.

Kaji pengeluaran lochea, warna, bau dan jumlah.
Kaji luka perineum, keadaan jahitan.


Anjurkan pasien membasuh vulva setiap habis berkemih dengan cara yang benar dan mengganti PAD setiap 3 kali perhari atau setiap kali pengeluaran lochea banyak.
Pertahnakan teknik septik aseptik dalam merawat pasien (merawat luka perineum, merawat payudara, merawat bayi).
Delegatif pemberian antibiotika Amoxicillin 3x500 mg. Mengidentifikasi penyimpangan dan kemajuan sesuai intervensi yang dilakukan.
Mengidentifikasi kelainan pengeluaran lochea secara dini.
Keadaan luka perineum berdekatan dengan daerah basah mengakibatkan kecenderunagn luka untuk selalu kotor dan mudah terkena infeksi.
Mencegah infeksi secara dini.



Mencegah kontaminasi silang terhadap infeksi.


Antibiotika mampu membunuh kuman penyebab infeksi.
3. Resiko gangguan proses parenting b/d kurangnya pengetahuan tentang cara merawat bayi.
Gangguan proses parenting tidak ada.
Kriteria hasil: ibu dapat merawat bayi secara mandiri (memandikan, menggendong, menyusui), bayi tidak menangis, ASI keluar dengan lancar. Beri kesempatan ibu untuk melakukan perawatan bayi secara mandiri.
Libatkan suami dalam perawatan bayi.


Latih ibu untuk perawatan payudara secara mandiri dan teratur.

Motivasi ibu untuk meningkatkan intake cairan dan diet TKTP.
Lakukan rawat gabung sesegera mungkin bila tidak terdapat komplikasi pada ibu atau bayi. Meningkatkan kemandirian ibu dalam perawatan bayi.

Keterlibatan bapak/suami dalam perawatan bayi akan membantu meningkatkan keterikatan batih ibu dengan bayi.
Perawatan payudara secara teratur akan mempertahankan produksi ASI secara kontinyu sehingga kebutuhan bayi akan ASI tercukupi.
Mneingkatkan produksi ASI.

Meningkatkan hubungan ibu dan bayi sedini mungkin.

CATATAN PERKEMBANGAN

No Diagnosa Keperawatan Evaluasi Perkembangan
1. Nyeri b/d Peregangan perineum, luka episiotomi, involusi uteri, pembengkakan payudara.
Data penunjang:
S: Pasien mengatakan luka jahitan pada kemaluan terasa sakit bila duduk dan bergerak. Pasien juga mengatakan sakit dirasa bila cebok setelah berkemih dan buang air besar. Pasien mengatakan jahitan terasa tegang. Ibu mengatakan payudara terasa bengkak dan nyeri, ASI tidak mau keluar dengan lancar.
O: Pasien meringis saat berpindah posisi, pasien post partum hari I, riwayat persalinan pertama kali, TD: 110/70 mmHg, N: 84 x/mnt.






















2. Resiko infeksi b/d trauma jalan lahir; perineoterapi.
Data penunjang:
S: --
O: Luka perineoterapi masih basah, tanda infeksi tidak ada, pasien post partum hari I, riwayat persalinan pertama kali, pasien meringis bila berpindah posisi, S: 37,20C.






















3. Resiko gangguan proses parenting b/d kurangnya pengetahuan tentang cara merawat bayi.
Data penunjang:
S: Pasien banyak bertanya tentang perawatan bayinya, pasien mengatakan belum pernah sebelumnya merawat bayi, pasien mengatakan persalinan ini adalah persalinan yang pertama kali.
O: Pasien terlihat canggung dalam merawat bayi (menggendong, memandikan, menyusui bayi), Ibu primipara, usia 21 tahun, ASI keluar belum lancar, bayi sering menangis karena kecukupan ASI kurang terpenuhi.

PSI KONSELING CLIENT CENTERED

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Permasalahan hidup yang semakin kompleks dan rumit sangat terasa di era yang global ini, mulai dari permasalahan, sosial ekonomi, politik, keluarga dan masih banyak lagi permasalahan hidup yang timbul sehingga sifat negatif yang ada dalam diri manusia pun terpacu untuk dapat diaktualisasikan. Tentu hal ini sangat dilematis sekali karena dari semua itu hanya akan memperburuk dan menambah masalah saja, dalam teori client centered berlandaskan suatu filsafata tentang manusia menyusun dirinya sendiri menurut persepsi-persepsinya tentang kenyataan. Orang termotivasi untuk mengaktualkan diri dalam kenyataan yang dipersepsinya.
Dari teori tersebut dapat dipahami ketika permasalahan hidup semakin komplek maka diperlukan adanya konsep diri ataupun memperspsi diri dalam menghadapi masalah yang dia hadapi tersebut, agar dapat mencapai aktualisasi diri yang dia punyai..
Manusia memiliki kesanggupan untuk memahami factor-faktor yang ada dalam hidupnya yang menjadi penyebab ketidakbahagiaan. Manusia juga memiliki kesanggupan untuk mengarahkan diri dan melakukan perubahan pribadi yang konstruktif Oleh karena itu saat ini banyak sekali kita temukan permasalahan-permasalahan yang mengarah pada kehidupan efektif sehari-hari terhambat karena disebabkan banyak faktor yang sudah disebutkan diatas sehingga pemikiran-pemikiran individu sudah tak dapat lagi berpikir rasional yang membuat emosi dalam diri labil dan melakukan tindakan-tindakan menyimpang tak hanya pada lingkup masyarakat luas namun kejadian ini sudah merambah kedalam institusi sekolah, yang dimana siswa juga merasakannya dan mengganggu efektivitas kegiatan belajar mengajar serta mengganggu potensi dan kemandirian siswa kedepannya
Dalam mengtasi permasalahan-permasalahan tersebut banyak teori yang dapat membatu untuk mengatasinya, namaun disini penulis akan menjelaskan teori client-centered sebagai salah satu teori teori untuk mengatasi masalah, yang mana teori tersebut dikembangkan oleh carl R. Roger

B. Rumusan Masalah
a) Apa pengertian tentang client-centered?
b) Apa peran dan fungsi Terapis dalam client-centered?
c) Bagaimana penerapanya atau teknik yang dilakukan pada client-centered?

C. Tujuan
a) Untu mengetahui pengertian tentang clien-centered.
b) Untuk mengetahui peran dan fungsi terapis dalam client-centered.
c) Untuk mengetahui penerapan atau teknik yang dilakukan pada client centered.












BAB II
PEMBAHASAN

PENDEKATAN CLIENT-CENTERED (Carl Rogers)

Carl Rogers mengembangkan terapi Client-centered sebagai reaksi terhadap apa yang disebutnya keterbatasan-keterbatasan mendasar dari psikoanalisis. Pada hakikatnya, pendekatan client-centered adalah cabang khusus dari humanistic yang menggarisbawahi tindakan mengalami klien berikut dunia subjektif dan fenomemalnya. Terapis berfungsi terutama sebagai penunjang jalan terapi pertumbuhan pribadi kliennya dengan jalan membantu kliennya itu dalam menemukan kesanggupan untuk memecahkan masalah. Pendekatan client-centered menaruh kepercayaan yang besar pada kesanggupan klien untuk mengikuti jalan terapi dan menemukan arahnya sendiri. Hubungan terapeutik antara terapis dan klien merupakan katalisator bagi perubahan; klien menggunakan hubungan yang unik sebagai alat untuk meningkatkan kesadaran dan untuk menemukan sumber-sumber terpendam yang bisa digunakan secara konstruktif dalam pengubahan hidupnya.

A. Konsep Utama
Pandangan Tentang Sifat Manusia
Pandangan ini menolak adanya kecendrungan-kecendrungan negative dasar. Sementara beberapa pendekatan beranggapan bahwa manusia menurut kodratnya adalah irasional dan berkecenderungan merusak terhadap dirinya sendiri maupun terhadap orang lain kecuali jika telah menjalani sosialisasi. Rogers menunjukkan kepercayaan yang mendalam pada manusia. Ia memandang manusia tersosialisasi dan bergerak kemuka, berjuang untuk berfngsi penuh, serta memiliki kebaikan yang positif pada intinya yang terdalam. Pendek kata, manusia dipercayai dan karena pada dasarnya kooperatif dan konstruktif, tidak perlu diadakan pengendalian terhadap dorongan-dorongan agresifnya.
Pandangan manusia yang positif ini memiliki implikasi-implikasi yang berarti bagi paktik terapi client-centered. Berkat pandangan filosofis bahwa individu memiliki kesanggupan yang inheren untuk menjauhi maldjustment menuju keadaan psikologis yang sehat, terapis meletakkan tanggung jawab utamanya bagi proses terapi pada klien. Model client-centered menolak konsep yang memandang terapis sebagai otoritas yang mengetahui yang terbaik dan yang memandang klien sebagai manusia pasif yang hanya mengikuti perintah-perinyah terapis. Oleh karena itu, terapi client-centered berakar pada kesanggupan klien untuk sadar dan membuat putusan-putusan.

Ciri-ciri Pendekatan Client-Centered
Pendekatan ini difokuskan pada tanggung jawab dan kesanggupan klien untuk menemukan cara-cara menyadari kenyataan secara lebih penuh. Menurut pendekatan ini, psikoterapi hanyalah salah satu contoh dari hubungan pribadi yang konstruktif. Klien mengalami pertpsikoterapeutik didalam dan melalui hubungannya dengan seseorang yang membantunya melakukan apa yang tidak bisa dilakukannya sendirian. Itu adalah hungan dengan konselor yang selaras (menyeimbangkan tingkah laku dan ekspresi eksternal dengan perasaan-perasaan dan pemikiran-pemikiran internal), bersikap menerima dan empatik yang bertindak sebagai agen perubahan terapeutik bagi klien.
Terapi client-centerd memasukkan konsep bahwa fungsi terapis adalah tampil langsung dan bisa dijangkau oleh lien serta memusatkan perhatian pada pengalaman disini-dan-sekarang yang tercipta melalui hubungan antara klien dan terapis.
Terapi client-centered dicirikan sebagai perjalanan bersama dimana baik terapis maupun klien memperlihatkan kemanusiawiannya dan berpartisipasi dalam pengalaman pertumbuhan.




B. PROSES TERAPEUTIK
Tujuan-tujuan Terapeutik
Yaitu menciptakan iklim yang kondusif bagi usaha membantu klien untuk menjadi seorang pribadi yang berfungsi penuh. Guna mencapai tujuan terapeutik tersebut, terapis perlu mengusahakan agar klien bias memahami hal-hal yang ada dibalik topeng yang dikenakannya. Klien mengembangakan kepura-puraan dan bertopeng sebagai pertahanan terhadap ancaman.
Apabila dinding itu runtuh selama proses terapeutik, orang macam apa yang muncul dari balik kepura-puraan itu? Rogers (1961) menguraikan cirri-ciri orang yang bergerak kea rah menjadi bertambah teraktualkan sebagai berikut :
1. Keterbukaan pada pengalaman
Keterbukaan pemgalaman perlu memandang kenyataan tanpa mengubah bentuknya supaya sesuai dengan struktur diri yang tersusun lebih dulu. Sebagai lawan kebertahanan, keterbukaan pada pengalaman menyiratkan menjadi lebih sadar terhadap kenyataan sebagaimana kenyataan itu hadir diluar dirinya. Hal ini juga berarti bahwa kepercayaan-kepercayaan orang tidak kaku; dia dapat tetap terbuka terhadap pengetahuan lebih lanjut dan pertumbuhan serta bisa menoleransi kedwiartian. Orang memiliki kesadaran atas diri sendiri pada saat sekarang dan kesanggupan mengalami dirinya dengan cara-cara yang baru.
2. Kepercayaan terhadap organisme sendiri
Salah satu tujuan terapi adalah membantu klien dalam membangun rasa percaya diri terhadap diri sendiri. Acap kali, pada tahap-tahap permulaan terapi, kepercayaan klien terhadap diri sendiri dan terhadap putusan-putusannya sendiri sangat kecil. Mereka secara khas mencari saran dan jawaban-jawaban dari luar karena pada dasarnya mereka tidak mempercayai kemampuan-kemampuan dirinya untuk mengarahkan hidupnya sendiri. Dengan meningkatnya keterbukaan klien pada pengalaman-pengalamannya sendiri, kepercayaan klien kepada dirinya sendiri pun mulai timbul.
3. Tempat evaluasi internal
Tempat evaluasi internal yang berkaitan dengan kepercayaan diri, berarti lebih banyak mencari jawaban-jawaban pada diri sendiri bagi masalah-masalah keberadaanya. Orang semakin menaruh perhatian pada pusat dirinya daripada mencari pengesahan bagi kepribadiannya dari luar. Dia mengganti persetujuan universal dari orang lain dengan persetujuan dari diri sendiri. Dia menetapkan standar-standar tingkah laku dan melihat ke dalam dirinya sendiri dalam membuat putusan-putusan dan pilihan-pilihan bagi hidupnya.
4. Kesediaan untuknmenjadi suatu proses
Konsep tentang diri dalam proses pemenjadian, yang merupakan lawan dari konsep tentang diri sebagai produk, sangat penting. Meskipun klien boleh jadi menjalani terapi untuk mencari sejenis formula untuk membangun keadaan berhasil dan berbahagia (hasil akhir), mereka menjadi sadar bahwa pertumbuhan adalah suatu proses yang berkesinambungan. Para klien dalam terapi berada dalam proses pengujia persepsi-persepsi dan kepercayaan-kepercayaan serta membuka diri bagi pengalaman-pengalaman baru dan revisi-revisi ahli-ahli menjadi wujud yang membeku.
Tonggak terapi client-centered adalah anggapannya bahwa klien dalam hubungannya dengan terapis yang menunjang, memiliki kesanggupan untuk menentukan dan menjernihkan tujuan-tujuannya sendiri.

C. FUNGSI DAN PERAN TERAPIS
Peran terapis dalam pendekatan ini terletak pada cara-cara keberadaan terapis dan sikap-sikapnya, bukan penggunaan teknik. Terapis menggunakan dirinya sendiri sebagai alat untuk mengubah client. Peran terapis adalah tanpa peran. Adapun fungsi terapis adalah membangun suatu iklim terapeutik yang menunjang pertumbuhan client. Terapis memberikan pengalaman-pengalaman dalam proses terapi untuk membangun kepercayaan diri untuk membuat keputusan-keputusan sendiri. Membangun kematangan psikologis client dalam proses terapi menjadi bagian yang krusial.
Konsep hubungan antara terapis dan client dalam pendekatan ini ditegaskan oleh pernyataan Rogers (1961) “jika saya bisa menyajikan suatu tipe hubungan, maka orang lain akan menemukan dalam dirinya sendiri kesanggupan menggunakan hubungan itu untuk pertumbuhan dan perubahan, sehingga perkembangan peribadipun akan terjadi.
Ada tiga ciri atau sikap terapis yang membentuk bagian dengan hubungan teraputik :
Pertama, Keselarasan/kesejatian. Konsep kesejatian yang dimaksud Rogers adalah bagaimana terapis tampil nyata, utuh, otentik dan tidak palsu serta terinytgrasi selama pertemuan terapi. Terapis bersikap secara spontan dan terbuka menyatakan sikap-sikap yang ada pada dirinya baik yang positif maupun negatif. Jelas bahwa pendekatan client centered berasumsi bahwa jika terapi selaras/menunjukkan kesejatiannya dalam berhubungan dengan client maka proses terapeutik bisa berlangsung.
Kedua, Perhatian positif tak bersayarat. Perhatian tak bersayarat itu tidak dicampuri oleh evaluasi atau penilaian terhadap pemikiran-pemikiran dan tingkah laku client sebagai hal yang buruk atau baik. Perhatian tak bersyarat bukan sikap “Saya mau menerima asalkan…..melainkan “Saya menerima anda apa adanya”. Perhatian tak bersyarat itu seperti continuum.
Ketiga, Pengertian empatik yang akurat. Terapis benar-benar dituntut untuk menggunakan kemampuan inderanya dalam berempati guna mengenali dan menjelajahi pengalaman subjektif dari client. Konsep ini menyiratkan terapis memahami perasaan-perasaan client yang seakan-akan perasaanya sendiri. Tugas yang makin rumit adalah memahami perasaan client yang samar dan memberikan makna yang makin jelas. Regers percaya bahwa apabila terapis mampu menjangkau dunia pribadi client sebagaimana dunia pribadi itu diamati dan dirasakan oleh client, tanpa kehilangan identitas dirinya yang terpisah dari client, maka perubahan yang konstruktif akan terjadi.
D. PENERAPAN : TEKNIK-TEKNIK DAN PROSEDUR-PROSEDUR TERAPEUTIK
Tempat Teknik-Teknik dalam Pendekatan Client Centered
Penekanan teknik-teknik dalam pendekatan ini adalah pada kepribadian, keyakinan-keyakinan, dan sikap-sikap terapis, serta hubungannya dengan terapeutik. Dalam kerangka client centered, “teknik-teknik”nya adalah pengungkapan dan pengkomunikasian penerimaan, respek dan pengertian serta berbagi upaya dengan client dalam mengembangkan kerangka acuan internal dengan memikirkan, merasakan dan mengeksplorasi.
Periode-periode Perkembangan Terapi Client Centered
Hart (1970) membagi perkembangan teori Rogers ke dalam tiga periode yakni : Pertama, periode 1 (1940-1950) : Psikoterapi nondirektif, dimana menekankan penciptaan iklim permisif dan nondirektif. Penerimaan dan klarifikasi sebagai tekniknya. Kedua, Periode 2 (1950-1957) : Psikoterapi reflektif. Terapis merefleksikan perasaan-perasaan client dan menghindari ancaman dalam hubungannya dengan dengan client. Client diharapkan mampu mengembangkan keselarasan antara konsep diri dan konsep diri ideal. Ketiga, Periode 3 (1957-1970); Terapi eksperiensial. Tingkah laku yang luas terapis yang mengungkapkan sikap-sikap dsarnya menandai pendekatan ini. Terapis difokuskan pada apa yang sedang dialami client dan pengungkapan oleh terapis. Sejak tiga pulu tahun terakhir, terapi client centered telah bergeser ke arah lebih banyak membawa kepribadian terapis dalam proses terapeutik.
Penerapan di Sekolah : Proses Belajar Mengajar
Filsafat yang mendasari teori client centered memiliki penerapan langsung pada proses belajar. Seperti pandangannya terhadap terapis dan client, guru berperan sebagai alat yang menciptakan atmosfer yang positif dan siswa dipandang sebagai manusi yang dapat bertanggungjawab dan menemukan masalah-masalah yang penting yang berkaitan dengan keberadaan dirinya. Siswa bisa terlibat dalam kegiatan belajar bermakna, jika guru menciptakan iklim kebebasan dan kepercayaan. Fungsi guru seperti yang dijalankan terapis : kesejatian, ketulusan, keterbukaan, penerimaan, pengertian, empati dan kesediaan untuk membiarkan para siswa untuk mengeksplorasi materi yang bermakna menciptakan atmosfer dimana kegiatan belajar yang signifikan bisa berjalan.
Seseorang guru yang berorientasi psikologis bisa dengan banyal cara membimbing parara siswa, secara individual atau secara kelompok. Konseling bisa diintergrasikan ke dalam kurikulum yang dibuat terpisah dari kegiatan belajar. Proses belajar mengajar bisa menempatkan siswa pada satu tempat sentral yang menyingkiran persoaln-persoalan yang berkaitan dengadiri serta nilai-nilai pengalaman-pengalaman, perasaan-perasaan perhatian dan minat siswa yang sesungguhnya.

E. ANALISIS
Jika melihat paparan tentang pokok-pokok pemikiran pendekatan client centered di atas, jelas sekali bahwa ada 3 hal yang menjadi pemikiran/konsep utama yakni client, terapis dan proses terapi. Client dipandang sebagai manusia yang tumbuh dan bergerak. Manusia merupakan sesuatu yang unik. Manusia memiliki rasa, jiwa, pemikiran yang tumbuh dan bergerak untuk menjadi maju, memiliki pilihan, menentukan pilihannya yang dianggap baik dan bertanggungjawab dalam kehidupannya. Sedang terapis berfungsi sebagai alat atau media untuk membantu gerak jiwa client kearah apa yang diinginkannya. Maka proses terapeutiknya tidak bersifat searah, tetapi bagaimana mensinergikan dua bagian (terapis dan client) untuk mencapai kematangan psikologis client. Terapis tetap sebagi instrumen yang mengedepankan kepribadian dan sikap-sikap terbuka, otentik, ketulusan dan empati yang notabene ia dituntut untuk menciptakan iklim yang kondusif dalam proses terapeutiknya.
Penulis melihat pendekatan client centered ini seperti tidak memiliki “wajah” yang jelas dalam proses terapi. Artinya pendekatan ini tidak memiliki struktur dan mekanisme yang baku. Hal ini memberikan sinyal bahwa kebebasan terapis dalam berkreasi dalam proses terapi dan sekaligus menuntut adanya kreatifitas yang tinggi. Terapis dituntut untuk memiliki keterampilan terapi, berkomunikasi dan berinteraksi dengan baik. Terapis harus sangat berhati-hati dalam peranya misalnya berempati tapi tidak boleh larut kedalam perasaanya, menciptakan kesadaran client tapi tidak mengarahkan, membuat isyarat tapi tidak boleh memutuskan, dan sebaginya. Peran dan fungsi terapis dalam pendekatan ini memiliki tantangan tersendiri bagi konselor dimana kemampuan spontanitas reaktifnya sangat diuji.
Pendekatan Client Centered memandang manusia sebagai individu yang memiliki nilai-nilai tersendiri. Implikasi dari pandangan ini, terapis harus menjunjung tinggi nilai-nilai yang dibawa oleh individu. Pendekatan ini dapat diterapkan ketika asumsi-asumsi ini juga berlaku dimana konteks budaya individu itu berada. Sebagai contoh misalnya di budaya masyarakat jawa. Anak (sebelum 17) dalam budaya jawa (meskipun tidak seluruhnya) masih dianggap belum memiliki kemampuan untuk mengolah dan menentukan dirinya sendiri. Orang tua adalah bagian yang mengatur atau bila perlu mengarahkan dan menentukan keputusan-keputasan yang berkaitan dengan keberadaan anak. Dengan kata yang lebih sederhana adalah “membantu”. Dari kondisi ini tentu pendekatan client centered memiliki kesulitan dalam penerapannya.
Menurut Superka, et. al. dalam Zakaria (2001) ada lima pendekatan pendidikan penanaman nilai yang dapat diadopsi dalam bidang konseling : (1) Pendekatan penanaman nilai (inculcation approach), (2) Pendekatan perkembangan moral kognitif (cognitive moral development approach), (3) Pendekatan analisis nilai (values analysis approach), (4) Pendekatan klarifikasi nilai (values clarification approach), dan (5) Pendekatan pembelajaran berbuat (action learning approach). Dalam konteks konseling, pendekatan yang cenderung dilakukan adalah dengan pendekatan penanaman nilai dan pendekatan pembelajaran berbuat (teladan, memberi contoh). Jadi pendekatan client centered dapat digunakan dalam bidang konseling ketika filosofi dasar tentang manusia itu berlaku dalam konteks tempat dan budayanya.

BAB III
PENUTUP

A. Simpulan
Terapi Client-Centered berlandaskan suatu filsafat tentang manusia yang menekankan bahwa kita memilki dorongan bawaan pada aktualisasi diri. Selain itu Rogers mamandang manusia secara fenomenologis, yakni bahwa manusia menyusun dirinya sendiri menurut persepsi-persepsinya tentang kenyataan. Orang termotivasi untuk mengaktualisasikan diri dalam kenyataan yang dipersepsinya.
Teori ini, berlandaskan dalil bahwa klien memiliki kesanggupan untuk memahami fator-faktor yang ada dalam hidupnya yang menjadi penyebab ketidak bahagiaan. Klien juga memiliki kesanggupan untuk mengarahkan diri dan melakukan perubahan pribadi yang konstruktif.
Terapi client-centered menempatkan tanggung jawaab utama terhadap arah terapi pada klien. Tujuan-tujuan umumnya ialah menjadi lebih terbuka pada pengalaman, mempercayai organisme sendirinya sendirir, mengembangkan evaluasi internal, kesediaan untuk menjadi suatu proses, dan dengan cara-cara lain bergerak menuju taraf-taraf yang lebih tinggi dan aktualisasidiri.
Terapi ini juga menitikberatkan hubungan pribadi antara klien dan terapis; sikap-sikap terapis lebih penting daripada teknik-teknik, pengetahuan, atau teori. Jika terapis menunjukkan dan mengomunikasikan kepada kliennya bahwa terapis adalah pribadi yang selaras, secara hangat dan tak bersyarat menerima perasaan-perasan dan kepribadian klien, dan mempu mempersepsi secara peka dan tepat dunia internal klien sebagaimana klien mempersepsi dunia internalnya itu, maka klien bisa menggunakan hubungan terapeutik untuk memperlancar pertumbuhan dan menjadi pribadi yang dipilihnya


B. Saran
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca, baik kalangan mahasiswa sendiri atau bagi para pembaca lainnya.




























DAFTAR PUSTAKA

Corey, Gerald. 2003. Teori dan Praktek Konseling & Psikoterapi. Bandung : PT. Refika Aditama
Depdiknas (2007). Penataan Pendidikan Profesional Konselor dan LayananBimbingan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal. Depdiknas.
Zakaris, Teuku Ramli. (2001). Pendekatan-Pendekatan Pendidikan Nilai dan Implementasi dalam Pendidikan Budi Pekerti. Jakarta : Jurnal end Pendidikan dan Kebudayaan No 26, 479-495
Artikel Tuesday, 28 September 2010 23:46 Written by Joko Yuwono. Diposkan oleh Education di 09:30 Label: Teori Bimbingan Konseling
http://phakiah.multiply.com/journal/item/24/TEORI-TEORI_YANG_DIGUNAKAN_DALAM_KONSELING_DAN_PSIKOTERAPI

GANGGUAN ANOREKSIA NERVOSA DAN BULIMIA

A. Definisi Anoreksia (anorexia
Anoreksia (anorexia) berasal dari bahasa Yunani an-, yang artinya “tanpa” dan orexis artinya “hasrat untuk”. Anoreksia memiliki arti “tidak memiliki hasrat untuk (makan)”, yang sesungguhnya keliru, karena kehilangan nafsu makan diatara penderita anoreksia nervosa jarang terjadi.
Menurut Bruch (1973) “pengejaran tanpa lelah kekurusan tubuh dengan menciptakan kelaparan diri sendiri bahkan sampai pada kematian”
Anoreksia nervosa dapat diartikan sebagai gangguan makan karena adanya keinginan yang keras untuk mendapatkan tubuh yang kurus dan ditandai oleh penurunan berat badan yang yang ekstrim dengan cara sengaja melaparkan diri.
B. Sebab – Sebab
Seperti gangguan psikologis lainnya, anorexia melibatkan interaksi yang kompleks dari berbagai faktor. Namun demikian, faktor yang paling signifikan adalah tekanan sosial yang dirasakan oleh wanita muda yang menyebabkan mereka mendasarkan self – worth pada penampilan fisik, terutama berat badan.
1. Faktor Biologis
Kelaparan menyebabkan banyak perubahan biokimia, beberapa diantaranya juga ditemukan pada depresi. Para ilmuwan menduga bahwa terdapat ketidaknormalan dalam mekanisme otak yang mengatur rasa lapar dan kenyang pada penderita anoreksia nervosa kemungkinan terbesar berkaitan dengan serotonin kimiawi otak (Goode,2000).
Opiat endogen mungkin memberikan konstribusi pada penyangkaan dan keadaan lapar pasien anoreksia nervosa. Penelitian sebelumnya menunjukkan peningkatan berat badan yang berarti pada beberapa pasien yang diberi opiat antagonis.
Kelaparan menghasilkan beberapa perubahan biokimia, yang sebagian juga ada pada pasien depresi, seperti hiperkortikolemia dan non supresi dari dexamethason. Fungsi tiroid juga tertekan, kelainan ini hanya bisa dikoreksi dengan kaliminasi. Kelaparan juga menyebabkan amenorrhea yang menunjukkan kadar hormon (luitenizing hormon, FSH, gonadotropin, realising hormon). Meskipun begitu, beberapa pasien anoreksia nervosa menderita amenorrhea sebelum kehilangan berat badan yang signifikan.
Pembatasan makan terlalu banyak mengaktifkan saraf yang berhubungan dengan reward (contoh dopamine dan sistem opioid endogen) khususnya saat syaraf tersebut berasosiasi dengan latihan fisik yang meningkat. (Heubner, 1993 ; Bergh & Sodersten, 1996; Sodersen et al. 2006) dapat menyebabkan simptom – simptom yang berhubungan dengan Anoreksia nervosa (contoh, depresi, obsesi (keys et al. 1950; zandian et al, 2007) dan menghasilkan efek fisiologis yang merugikan serta rasa permusuhan terhadap asupan makanan (Capaldi & Myers, 1982; Pinel et al. 2000).
Farmakologi dan bukti genetik memperlihatkan bahwa dopamin dan sistem opioid berkontribusi terhadap pengurangan keinginan makan pada Anoreksia Nervosa (Yeomans & Gray, 2002; Frank et al. 2005; Brown et al.2007).
Sedikit priming efek untuk ekspersi wajah bawah sadar terhadap rasa jijik. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa efek rasa takut itu lebih kuat dibandingkan dengan rasa jijik terhadap penolakan makanan.
Hal tersebut dapat dihipotesiskan bahwa efek takut mungkin merefleksikan keterlibatan struktur otak, seperti amygdala yang berperan penting dalam mediasi otonom dan respon perilaku terhadap ancaman stimulus (Ledoux, 1996; Ohman et al.2007).
Interpretasi tentatif yang berhubungan dengan simptom Anoreksia nervosa terhadap ketakutan irasional pada asupan makanan atau pertambahan berat badan, berasal dari hyperaktifasi amigdala yang dapat mempengaruhi penilaian negatif terhadap makanan. Dapat dicatat bahwa minuman berkalori telah menunjukkan penderita anoreksia nervosa untuk memunculkan emosi takut terhadap kalori atau caloric fear dengan mengaktifnya limbik dan para limbik. (Contoh : amygdala, insula, anterior cinglate gyrus) (Ellison et al, 1998).
Secara perilaku, wanita dengan anoreksia nervosa menunjukkan rating positif yang lebih tinggi terhadap respon stimulus underweight atau kurus. Sementara pada wanita sehat lebih memilih terhadap stimulus dengan berat badan normal. Pada penderita anoreksia nervosa mempunyai aktifasi yang lebih tinggi terhadap ventral stiratal activity saat memproses stimulus undreweight dibandingkan dengan stimulus berat badan normal atau normal weight stimuly. Pada wanita dengan anoreksia nervosa, aktifasi tersebut lebih tinggi selama memproses stimulus underweight dibandingkan dengan stimulus normal weight (Anna Katharina Fladung et al, 2010).
2. Faktor Sosial.
Penderita menemukan dukungan untuk tindakan mereka dalam masyarakat yang menekankan kekurusan dan latihan.. Tidak ada gambaran keluarga yang spesifik untuk anoreksia nervosa. Walaupun begitu, ditemukan bukti yang menunjukkan pasien-pasien anoreksia nervosa mempunyai masalah yang berhubungan dengan keluarga dan penyakit mereka. Pasien anoreksia nervosa mempunyai sejarah keluarga yang depresi, ketergantungan alkohol, atau gangguan makan. Tetapi, faktor sosial memegang peran penting dimana penderita ingin menjadi kurus karena kegemukan, dianggap tidak menarik, tidak sehat, dan tidak diinginkan.
3. Faktor Psikologis dan Psikodinamis.
Anoreksia nervosa merupakan suatu reaksi terhadap kebutuhan pada remaja untuk menjadi lebih mandiri dan meningkatkan fungsi sosial dan seksual. Biasanya mereka tidak mempunyai rasa otonomi dan kemandirian, biasanya tumbuh di bawah kendali orang tua. Kelaparan yang diciptakan sendiri (self starvation) mungkin merupakan usaha untuk meraih pengakuan sebagai orang yang unik dan khusus. Hanya memalui tindakan disiplin diri yang tidak lazim pasien anoreksia dapat mengembangkan rasa otonomi dan kemandirian.
4. Faktor Sosiokultural
Teoritikus sosiokultural menitik beratkan pada tekanan sosial dan harapan dari masyarakat pada wanita muda sebagai kontributor terhadap perkembangan gangguan makan (Bempoard, 1996; Stice, 1994). Tekanan untuk mencapai stabdar kurus yang tidak realisitis, dikombinasikan dengan pentingnya faktor penampilan sehubungan dengan peran wanita dalam masyarakat, dapat menyebabkan wanita muda menjadi tidak puas dengan tubuh mereka sendiri (Stice, 2001). Model sosiokultural didukung pula dengan bukti – bukti yang menunjukkan bahwa gangguan makan lebih tidak umum, bahkan jarang terjadi di negara – negara nonBarat (Stice, 1994; Wakeling, 1996). Bahkan pada budaya barat, gangguan makan yang terkait dengan obsesi terhadap berat badan lebih umum terjadi di Amerika daripada negara – negara barat lainnya, seperti Yunani dan Spanyol atau pada negara Timur jauh yang teknologinya telah berkembang seperti Jepang (Stice, 1994).

5. Faktor Psikososial
Ketidakpuasan terhadap tubuh sendiri adalah faktor penting dalam anorexia nervosa.(Heatherton dkk, 1997). Ketidakpuasan terhadap tubuh dapat menghasilkan usaha – usaha yang maladaptif dengan melaparkan diri dan memuntahkan untuk mencapai berat badan atau bentuk tubuh yang diinginkan. Wanita pengidap anorexia cenderung menjadi sangat peduli pada berat dan bentuk tubuh mereka (Fairbun dkk, 1997). Wanita muda dengan anorexia sering kali memiliki sikap perfeksionis dan berjuang mencapai prestasi yang tinggi (Halmi dkk, 2000). Mereka sering kali kecewa pada diri mereka ketika gagal mencapai standar tinggi mereka yang tidak mungkin dicapai. Diet yang ekstrem dapat memberikan perasaan bisa mengontrol dan kebebasan yang lebih besar daripada yang didapat dari aspek kehidupan lainnya (Shafran & Mansell, 2001).
6. Faktor Keluarga
Gangguan makan, anoreksia nervosa sering jali berkembang dari adanya konflik dalam keluarga (Fairbun dkk, 1997; Wonderlich dkk, 1997). Beberapa remaja menggunakan penolakan untuk makan sebagai cara menghukum orang tua mereka karena perasaan kesepian dan keterasingan yang mereka rasakan di rumah. Ibu dari remaja yang memiliki gangguan makan lebih tidak bahagia terhadap fungsi keluarganya, juga memiliki masalah makan dan diet dan percaya bahwa putrinya harus menurunkan berat badan serta memandang putrinya sebagai orang yang tidak menarik.(Pike & Rodin, 1991). Keluarga dari wanita dengan anoreksia cenderung lebih sering mengalami konflik, kurang memiliki kedekatan dan kurang saling memberi dukungan namun lebih bersikap overprotective dan kritis daripada kelompok pembanding.(Fairbun dkk, 1997). Orang tua terlihat kurang mampu untuk membangkitkan kemandirian dalam diri anak perempuan mereka. konflik dengan orang tua mengenai isu otonomi sering kali mengakibatkan munculnya anoreksia nervosa (Ratti, Humphrey & Lyons, 1996).
7. Spiritual
Disebabkan karena individu tersebut mengingkari nikmat yang telah diberikan padanya seperti tercantum dalam surat Ibrahim ayat 7 “Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku) maka sesungguhnya azabku sangat pedih”. Serta mereka ragu terhadap dirinya sendiri seperti dijelaskan dalam surat Al Mu’minuun ayat 47 “Dan mereka berkata “apakah (patut) kita percaya kepada dua orang manusia seperti kita (juga), padahal kaum mereka (Bani Israil) adalah orang – orang yang menghambakan diri kepada kita?”
C. Pendekatan Menurut Aliran – Aliran
1. Prespektif Psikoanalisis
Teori psikoanalisis menerangkan bahwa anorexia nervosa adalah pernyataan terhenti atau mundurnya perkembangan kepribadian seseorang pada fase oral. Keadaan ini dapat disertai oleh gejala – gejala lain, hal ini ada sangkut pautnya dengan kegagalan integrasi sensasi tubuh yang normal sebagai akibat trauma psikik pada masa anak.
Penderita anorexia tampaknya memiliki kesulitan untuk berpisah dari keluarga mereka dan menyatukan identitas terpisah dan terindividuasi (Bruch, 1973; Minuchin, Rosman & Baker, 1978). Anoreksia mungkin mencerminkan usaha alam bawah sadar dari remaja putri untuk mempertahankan masa prapubertasnya. Hal ini dilakukan dengan isu – isu orang dewasa seperti peningkatan kemandirian dan perpisahan dengan keluarga, kematangan sexual dan asumsi adanya tanggung jawab pribadi.
Psikoanalisis juga memandang bahwa gangguan tersebut dikarenakan oleh id yang tumpul dengan padukan oleh superego yang tinggi. Id yang tumpul ditandai dengan kurangnya rasa ingin memakan sesuatu meskipun individu tersebut sudah merasa lapar (penolakan / denial terhadap fungsi id). Superego beranggapan bahwa ia harus mempunyai berat badan yang ideal, sehingga untuk mengkompensasi superego maka ego akan bertindak untuk tidak makan atau sangat memperihatinkan kandungan gizi dalam makanan. Yang terpenting baginya adalah dia akan mempunyai berat badan yang ideal menurut dia.
2. Perspektif Humanistik
Memandang anoreksia sebagai suatu fobia berat badan. Ketakutan berlebihan dan tidak rasional terhadap pertambahan berat badan dapat merefleksikan kecenderungan dalam budaya untuk mengidealkan untuk bentuk badan wanita yang ramping. Mengeluarkan makanan merupakan sebuah tipe ritual kompulsif yang diperkuat dengan berkurangnya ketakutan akan pertambahan berat badan yang mengikuti episode makan berlebihan seperti mencuci tangan yang kompulsif pada individu obsesif kompulsif yang diperkuat dengan munculnya perasaan lega karena terlepas dari gangguan kecemasan yang ditimbulkan oleh pikiran obsesif.
3. Perpektif Behavioristik
Teori behavioristik memandang bahwa gangguan anoreksia nervosa disebabkan oleh proses belajar yang salah. Individu tersebut beranggapan bahwa dengan memiliki tubuh yang ideal tersebut dengan berpenampilan tidak gemuk. Selain itu, anorexia nervosa berkembang dikarenakan oleh persepsi reward jika makan sedikit dan tindakan melaparkan diri diperkuat oleh rendahnya reinforcement atau nilai hedonic pada makanan.
4. Psikologi Islami
Pendekatan islami memandang individu yang terkena gangguan anorexia nervosa karena individu tersebut tidak mensyukuri keadaannya sekarang atau bisa karena individu tersebut mendholimi dirinya sendiri.
5. Kognitif
Teori kognitif memandang gangguan anorexia nervosa bahwa individu yang terkena gangguan anorexia nervosa disebabkan oleh pola pikir yang salah bahwa dengan cara diet secara berlebihan maka akan mendapatkan hasil tubuh yang ideal. Dan mereka pun mengalami distorsi kognitif mengenai body image mereka. Sehingga mereka berpikir bahwa mereka masih overweight meskipun badannya sudah sangat kurus.
D. Gejala
1. Indikasi awal dari kecenderungan terjadinya kelainan ini adalah meningkatnya perhatian terhadap makanan dan berat badan bahkan pada penderita yang sebelumnya sudah kurus.
2. Perubahan gambaran tubuh.
3. Ketakutan yang luar biasa akan kegemukan.
4. Penolakan untuk mempertahankan berat badan yang normal.
5. Hilangnya siklus menstruasi ( pada wanita ).
6. Denyut jantung lambat.
7. Tekanan darah lambat.
8. Suhu tubuh rendah.
9. Pembengkakan jaringan karena penimbunan cairan (ederma)
10. Rambut yang tipis dan lembut atau rambut tubuh dan wajah yang berlebihan.
11. Mengurangi berat badan dengan sengaja, dipacu dan atau dipertahankan oleh penderita.
12. Gejala kekurangan gizi
13. Konstipasi
14. Gangguan pencernaan dan perut kembung
15. Dehidrasi
16. Kram otot
17. Gemetaran
18. Tumbuh rambut halus di wajah, punggung atau lengan
19. Payudara semakin datar
20. Rambut kusam, menipis dan mudah patah
21. Kulit kering dan pecah-pecah
22. Tangan dan kaki dingin
23. Detak jantung tidak beraturan
24. Depresi dan kecemasan
Dalam pedoman penggolongan dan diagnosis gangguan jiwa edisi ke III (PPDGJ– III). Pedoman diagnostik anoreksia nervosa.
Ciri khas gangguan adalah mengurangi berat badan dengan sengaja, dipacu dan atau dipertahankan oleh penderita.Untuk suatu diagnosis yang pasti, dibutuhkan hal-hal seperti dibawah ini :
a. Berat badan tetap dipertahankan 15 % dibawah yang seharusnya (baik yang berkurang maupun yang tidak pernah dicapai) atau Quatelet’s body – mass index : adalah 17,5 atau kurang [Quatelet’s body – mass index = berat (Kg) / tinggi (M2)].Pada penderita pria pubertas bisa saja gagal mencapai berat badan yang diharapkan selama periode pertumbuhan.
b. Berkurangnya berat badan dilakukan sendiri dengan menghindarkan makanan yang mengandung lemak dan salah satu atau lebih dari hal-hal yang berikut ini :
1. Merangsang muntah oleh diri sendiri.
2. Menggunakan pencahar.
3. Olah raga berlebihan.
4. Memakai obat penekan nafsu makan dan atau diuretika.
c. Terdapat distorsi “ body image” dalam bentuk psikopatologi yang spesifik dimana ketakutan gemuk terus menerus menyerang penderita, penilaian yang berlebihan terhadap berat badan yang rendah.
d. Adanya gangguan endokrin yang meluas, melibatkan hypothalmic-pituitary ayis, dengan manifestasi pada wanita sebagai amenorrhea dan pada pria sebagai kehilangan minat dan potensi seksual. (Suatu perkecualian adalah perdarahan vagina yang menetap pada wanita yang anoreksia yang menerima terapi hormon, umumnya dalam bentuk pil, kontrasepsi), juga dapat terjadi kenaikan hormon pertumbuhan, naiknya kadar kortisol, perubahan metabolisme periperal dan hormon tiroid dan sekresi insulin abnormal.
e. Jika onsetnya terjadi pada masa prepubertas, perkembangan puber tertunda atau dapat juga tertahan (pertumbuhan berhenti, pada anak perempuan buah dadanya tidak berkembang dan terdapat amenorrhea primer, pada anak laki-laki genitalianya tetap kecil). Pada penyembuhan, pubertas kembali normal, tetapi menarche terlambat.
E. Onset
Onset anoreksia nervosa biasanya umur 10 tahun hingga 40 tahun. Pasien diluar range ini tidak tipikal, jadi diagnosa untuk pasien ini masih dipertanyakan. Setelah umur 13 tahun, onsetnya meningkat sangat cepat. Maksimum pada usia 17 tahun sampai 18 tahun sekitar 85 % dari pasien anoreksia nervosa, onsetnya antara umur 13 tahun dan 20 tahun.
Gangguan anorexia nervosa biasanya berkembang di masa dewasa ataupun dewasa akhir, gangguan ini umumnya mulai muncul pada masa remaja dan dewasa awal ketika tuntutan untuk menjadi kurus sangat kuat (Beck, Casper & Andersen, 1996).
Gangguan ini umumnya muncul di usia 17 dan sangat jarang dijumpai pada perempuan di atas 40.
F. Prevalensi
Perilaku makan yang terganggu dan gangguan makan juga bervariasi di antara kelompok etnik Amerika, dimana angka yang lebih tinggi terdapat pada remaja Eropa Amerika dibandingkan Afrika Amerika dan remaja dari etnik minoritas lainnya.
Anoreksia lebih banyak terjadi pada wanita dibandingkan pada pria karena pada wanita cenderung lebih memperhatikan penampilan yang dikaitkan dengan isu kecantikan, para perempuan lebih gampang “diintimidasi” termasuk gambaran tentang tubuh ideal atau super kurus agar bisa disebut “cantik”.
G. Terapi
1. Psikoterapi
Mayoritas pasien anoreksia nervosa membutuhkan intervensi yang berlanjut setelah keluar dari rumah sakit. Bahkan dalam kasus yang kurang parah. Hospitalisasi bahkan tidak dibutuhkan karena kebanyakan pasien mengalami gangguan pada masa remaja tetapi keluarga adalah bagian dari rencana terapi. Meskipun psikodinamik terapi tidak dibutuhkan pada tingkatan awal terapi, terutama jika pasien anoreksia nervosa dalam kelaparan. Psikoterapi yang berorientasi pada insight hanya berguna pada pasien anoreksia nervosa yang telah stabil.
Psikoterapi adalah pendekatan yang terbaik untuk gangguan ini. Beberapa penelitian mendukung penggunaan dari family based interventions, adolesent focused indivudual therapy dan developmentally adaptedcognitive behavioral therapy (James lock et al, 2009).
Cakupan perawatan psikologis yang fokus terhadap individual [ada gangguan makan diantaranya adalah psikoterapi psikodinamika, psikoterapi interpersonal, developmentally oriented individual therapy, CBT, dialectical behavioral therapy, nutritional therapy dan psikoterapi baru yaitu cognitive remediation therapy (Crisp, 1980 : Lavenkron, 2001; mcintosh et al. 2005; Pike, Walsh, Vitousek, Wilson & Bauner, 2004 ; Robin et al. 1999; Tchanturia, Whitney & Treasure, 2006)
2. Terapi Kognitif Behavioral (CBT)
Diakui sebagai treatment yang efektif untuk gangguan makan. Dari beberapa study menunjukkan bahwa CBT paling baik digunkan sebagai single antidepresant drugs dan lebih efektif dari pada treatmen lainnya (Wilfew & Cohen, 1997; wilson & Fairbun, 1998).
CBT didasarkan pada suatu model kognitif tentang apa yang memelihara gangguan (Fairbun, 1997). Tekanan sosial atas wanita untuk lebih kurus yang berhubungan dengan shape dan weigh dan untuk melakukan pengekangan diet secara ketat (Polivy & Herman, 1993). Treatmen diarahkan pada pengurangan dengan dengan dietary restraint menuju pada pola makan yang kebih normal, pengembangan kognitif dan keterampilan untuk coping terhadap situasi – situasi yang beresiko tinggi mencetuskan binge eating dan purging dan memodifikasi pikiran yang disfungsional dan perasaan – perasaan personal yang berkaitan dengan berat dan bentuk tubuh.
3. Family – Based Treatment
Anoreksia diperlukan penanganan dini, karena penanganan yang terlambat mempersulit pengobatan. Pengobatan segera harus diberikan untuk memulihkan berat badannya dan jika kondisinya sangat lemah harus dirawat di rumas sakit. Perawatan penderita anoreksia nervosa harus disertai dengan bimbingan para spesialis (psikolog, ahli diet) karena dia perlu berdialog dengan pada ahli tersebut agar bisa mengubah pandangannya. Lama terapi bisa beberapa bulan bahkan sampai tahunan. Perawatannya pun sama yaitu dengn mengubah persepsi diri mengenai tubuhnya.
Biasanya, keluarga pasien akan diminta bantuan dalam perawatan seperti terapi psikologis, konseling gizi, modifikasi perilaku dan self-help group. Terapi dapat berlangsung setahun atau lebih. Dapat dilakukan sendiri di rumah bersama keluarga atau untuk kasus yang parah dengan rawat inap di rumah sakit. Tetapi meskipun perawatan di rumah sakit diperlukan akan lebih baik jika perawatan dilakukan di rumah yakni tanpa opname di rumah sakit. Menurut hasil penelitian dalam jurnal Family – Based Treatment of Adolesencet Anorexia Nervosa The Maudsley Approach. Menurut studi hasil penelitian di London menunjukkan 75 – 90% penderita anorexia nervosa dapat sembuh dengan melakukan perawatan Family based dengan perawatan kurang lebih selama 12 bulan.
Target kunci terapi keluarga (Christoper Dare, 1997) :
1. Mendorong orang tua untuk ambil bagian atau ikut serta pada pola makan anak dan olah raga untuk menaikkan berat badan anak mereka.
2. Mempromosikan kompetensi pengasuhan dengan menantang asumsi orang tuanya bahwa mereka menyebabkan anoreksia nervosa.
3. Menempatkan orang tua dalam pengambilan keputusan mengenai cara menyelamatkan dari tindakan melaparkan diri anak adan olah raga yang berlebihan.
4. Menyediakan pendidikan bagi orang tua mengenai dampak anorexia nervosa terhadap pola pikir, perilaku dan hubungan interpersonal.
5. Agar tidak menyalahkan dan mengeksternalisasi masalah agar dihadapi secara kekeluargaan dengan menjelaskan bahwa anorexia nervosa adalah penyakit jiwa.
Bentuk manual dari pendekatan terapi tersebut di Family – Based Treatment for Anorexia Nervosa (FBT – AN) (Lock, Le Grange, Agras & Dare, 2001). Pada banyak kasus, treatment tersebut berlangsung antara 6 sampai 12 bulan dan terdiri dari 10 dan 20 kali satu jam sesi keluarga (lock, Agras, Bryson & Kraemer, 2005)
H. Prevensi
1. Makan secara normal, diet yang seimbang sejak usia dini.
2. Adakan diskusi keluarga tentang anoreksia nervosa sebelum anak – anak menjadi remaja. Mereka yang tahu tentang kondisi ini dan konsekuensinya tentu tidak begitu suka menderita akibat kelainan tersebut.
3. Bila ingin mengurangi berat badan, mulailah program berat badan dengan bantuan seorang ahli gizi atau dilakukan sendiri setelah membaca tentang cara yang baik untuk melakukan hal tersebut.
4. Berkonsultasi kepada psikolog tentang perasaan yang dialami agar mengetahui bagaimana cara untuk mencari jalan keluarnya.
I. Kualitas Hidup
Penderita anoreksia beranggapan bahwa kulit dan daging tubuhnya sebagai lemak yang harus dilenyapkan. "Seseorang yang mengalami anoreksia akan menolak makanan, muntah, dan menggunakan obat diet berlebihan. Penderita anoreksia membutuhkan perawatan. Bukan hanya medis, juga psikologis," ungkap staff physician dari Albert Einstein College of Medicine Bradley J Kaufman MD.


A. Definisi Bulimia
Bulimia berasal dari bahasa Yunani bous yang artinya sapi atau kerbau, dan limos yang artinya rasa lapar. Gambaran dari istilah tersebut adalah makan yang terus menerus, seperti sapi yang memamah biak. Bulimia nervosa adalah gangguan makan yang melibatkan episode berulang-ulang dari tindakan makan berlebihan (binge) tak terkontrol yang diikuti dengan tindakan kompensatoris untuk mengenyahkan makanan itu (Durand dan Balow, 2007). Menurut Siswono, bulimia nervosa dan anorexia nervosa merupakan penyakit atau gangguan pada kebiasaan atau pola makan. Dalam DSM-IV-TR disebutkan bahwa bulimia terbagi menjadi 2, yaitu purging type dan non-purging type. Purging type adalah penderita bulimia yang menggunakan cara langsung seperti memuntahkan atau dengan memakai obat pencahar, serta non-purging type adalah penderita bulimia yang menggunakan olahraga yang ketat atau puasa sebagai cara untuk mempertahankan berat badannya.
B. Sebab-Sebab
Beberapa penelitian tentang bulimia menyebutkan bahwa ada beberapa faktor penyebab terjadinya bulimia nervosa, antara lain:
1. Faktor Sosial
Di dalam kesehariannya para wanita menganggap bahwa berat tubuh yang ideal adalah semakin tubuh kurus maka semakin ideal bentuk tubuhnya. Di daerah masyarakat industri orang lebih memilih memiliki bentuk tubuh yang kurus, sedangkan di daerah non-industri masyarakat lebih memilih tubuh yang gemuk (Hsu,1990).
Paxton, Schutz, Wertheim dan Munir (1999) mengeksplorasi pengaruh persahabatan pada sikap tentang citra tubuh, diet, dan perilaku ekstrim dalam usaha mengurangi berat badan. Dalam sebuah eksperimen yang cerdas, para peneliti mengidentifikasi 79 macam klik pertemanan diantara 523 gadis remaja. Mereka menemukan bahwa klik-klik pertemanan ini cenderung mmemiliki sikap yang sama terhadap citra tubuh, diet, dan pentingnya usaha mengurangi berat badan. Juga jelas dari studi ini bahwa klik-klik pertemanan ini memberikan kontribusi yang signifikan terhadap terbentuknya keresahan mengenai citra tubuh dan perilaku makan. Dengan kata lain, bila teman-teman anda cenderung menggunakan diet ekstrem atau teknik menurunkan berat badan lainnya, anda memiliki peluang yang lebih besar untuk melakukannya juga (Field, dan kawan-kawan, 2001; Vanderwal dan Thalen, 2000).
Stice, Cameron, Killen, Hayward dan Taylor (1999) menunjukkan bahwa salah satu alasan mengapa usaha menurunkan berat badan dapat mengakibatkan gangguan makan adalah karena usaha menurunkan berat badan pada gadis remaja lebih cenderung menyebabkan berat badan justru bertambah daripada turun.
Faktor keluarga juga menjadi faktor sosial lain dalam penyebab gangguan ini. Penderita bulimia berasal dari keluarga yang tidak bahagia, umumnya mereka memiliki orang tua yang gemuk, atau mereka sendiri kegemukan pada masa kanak-kanak. Namun hingga kini masih belum jelas apakah gangguan emosional ini sebagai sebab atau akibat dari bulimia.
2. Faktor Psikologis
Seseorang yang memiliki gangguan bulimia kebanyakan adalah perempuan muda. Hasil observasi klinis menunjukkan bahwa banyak perempuan muda mengalami penurunan dalam hal control pribadi dan kemampuan dan talentanya sendiri (Bruch,1973). Hal ini juga dapat dimanifestasikan sebagai self-esteem yang rendah (Firburn,et.al,2003). Kemudian sikap perfeksionis juga menjadi hal yang penting dalam kehidupannya tersebut (Fairburn,et.al, 1997,1999). Jika sikap perfeksionisme diarahkan kepada ke persepsi yang terdistorsi mengenai citra tubuh, maka sebuah mesin berkekuatan tinggi untuk mendorong perilaku gangguan makan pun siap bekerja (Shafran, Cooper, dan Fairburn, 2002).
J.C. Rosen dan H. Leitenberg (1985) melihat adanya kecemasan yang substansial sebelum dan saat makan yang diredakan dengan purging. Mereka mengatakan bahwa perilaku purging tersebut akan membuat mereka lega serta mereka akan mengulangi perilaku yang membuat diri mereka menjadi senang atau bebas dari cemas.
McKenzie, Williamson, dan Cubic (1993) menemukan bahwa perempuan bulimik menilai ukuran tubuhnya lebih besar dan berat yang mereka anggap ideal lebih ringan dibandingkan kelompok kontrol yang memiliki ukuran tubuh sama dengan mereka. Bahkan, para perempuan penderita bulimia menilai tubuh mereka bertambah besar setelah mereka makan sebatang permen dan minum sebotol minuman ringan.
3. Faktor Biologi
Gangguan makan mengalir dalam suatu keluarga dan tampaknya memiliki gangguan genetik (Strober, 2002). Hsu (1990) memiliki spekulasi bahwa cirri kepribadian nonspesifik seperti ketidakstabilan emosi dan pengendalian impuls buruk mungkin bersifat warisan. Kemudian Strober (2002) juga mengatakan seseorang mungkin mewarisi kecenderungan untuk bersifat responsif secara emosional terhadap hal-hal atau kejadian- kajadian yang stressful, dan sebagai konsekuensinya, mungkin makan secara kompulsif sebagai usahanya untuk mengurangi stres dan kecemasannya. Sampai sekarang para peneliti belum menemukan penyebab yang pasti antara fungsi-fungsi neurobiologist terhadap gangguan makan tersebut. Akan tetapi peneliti hanya menemukan gangguan yang merupakan hasil atau akibat dari siklus makan tersebut.
Beberapa penelitian menjelaskan bahwa pada penderita bulimia yang parah, kadar neurotransmiternya (pengantar kimia pada otak), terutama serotonin -- yang berhubungan dengan depresi dan gangguan obsesif-kompulsif cenderung lebih rendah. Bahan kimia tersebut mengontrol tubuh dalam pembuatan hormon. Penderita bulimia memiliki kadar neurotransmitter serotonin dan norepinephrine yang sangat rendah. Keduanya berperan penting dalam mendorong kelenjar pituitari untuk membuat dan melepaskan hormon yang mengontrol sistem neuroendokrin yang mengatur emosi, perkembangan fisik, ingatan dan detak jantung. Ketika hormon tidak terbentuk, kerja beberapa fungsi tubuh tersebut menjadi terganggu. Penelitian lain menemukan rendahnya kadar asam amino triptofan dalam darah. Asam amino triptofan merupakan sejenis zat dalam makanan yang penting untuk produksi serotonin, yang bisa menyebabkan depresi dan mendorong terjadinya bulimia.
C. Perspektif
Kasus bulimia nervosa dapat dipandang dari beberapa perspektif psikologi, diantaranya adalah:
1. Psikoanalisa
Psikoanalisa memandang suatu gangguan merupakan dari alam bawah sadarnya. Gangguan yang terjadi merupakan tabrakan dari keinginan-keinginan tak sadarnya dengan keinginan-keinginan sadarnya (Gerungan, 2004). Psikoanalisa membagi jiwa manusia menjadi tiga yaitu id, ego dan super ego. Keinginan untuk makan individu merupakan id dari individu tersebut. Akan tetapi id yang muncul merupakan keinginan untuk makan secara terus-menerus (binge). Kemudian muncul keinginan untuk mengikuti norma masyarakat (superego) yaitu individu merasa bentuk tubuhnya harus terlihat ideal atau seperti orang lain atau bahkan lebih baik. Kemudian dari pertentangan tersebut muncul gangguan jiwa seseorang. Ego yang fungsinya sebagai “penyeimbang” tidak bisa menyeimbangkannya. Maka dari gejala tersebut individu tersebut akan terus-menerus makan akan tetapi individu tersebut ingin tubuhnya tetap terlihat ideal yang dimanifestasikan dengan mengeluarkan makanan tersebut atau dengan cara yang lain agar bentuk tubuhnya tetap ideal.
2. Behavioral
Substansi dari teori skinner adalah teori belajar, pengkajian mengenai bagaimana proses individu memiliki tingkah laku baru, menjadi lebih tahu, dan menjadi lebih trampil. Menurut Skinner (dalam Alwisol, 2006), kehidupan terus menerus dihadapkan dengan situasi eksternal yang baru dan organisme harus belajar merespon situasi baru itu memakai respon lama atau memakai respon yang baru dipelajari.
Menurut Skinner juga kelainan tingkah laku adalah kegagalan belajar membuat seperangkat respon yang tepat. Merespon secara salah (inapropriate set of response) terkait dengan ketidakmampuan mengenali penanda spesifik suatu stimulus, individu akhirnya mengembangkan respon yang salah karena justru respon itu yang mendapat penguatan. Dalam teori ini, manusia cenderung akan mengulangi perbuatan yang mendapat penguatan. Dalam hal ini individu yang mengalami gangguan bulimia nervosa adalah seorang individu yang salah dalam belajarnya. Individu belajar bagaimana cara agar tubuhnya tidak gemuk atau tetap ideal. Akan tetapi respon yang muncul adalah dengan mengeluarkan makanan tersebut atau dengan olahraga secara berlebihan. Dari respon tersebut individu merasa mendapat penguatan yaitu tubuhnya tetap ideal. Penguatan-penguatan itulah yang menjadikan individu selalu melakukan tindakan tersebut.
3. Kognitif
Persepsi adalah proses mengetahui / mengenali objek dan kejadian objektif dengan bantuan indera (Zulaifah, et.al, 2008). Terkadang individu bisa salah mempersepsi sesuatu termasuk dalam mempersepsi diri. Kesalahan mempersepsi dapat menyebabkan masalah yang muncul akibat hal tersebut. Sternberg (1999) membedakan masalah ke dalam 2 tipe, yaitu:
a. Well-structured problems, ciri-ciri :
i. Masalah terstruktur dengan baik.
ii. Biasanya terdapat pada soal-soal ujian seperti yang terdapat di lingkungan sekolah. Ex :matematika, sejarah, geografi.
iii. Tujuan :memperoleh jawaban.
iv. Penilaian ‘benar’ dan ‘salah’.
b. Ill structured problems, ciri-ciri:
i. Memungkinkan problem solver kesulitan untuk membentuk gambaran mental mengenai bagaimana solusi yang tepat karena tidak terstruktur.
Dalam hal ini, individu yang menderita bulimia memiliki ill structured problems. Individu tidak dapat atau sulit membentuk gambaran mental mengenai bagaimana pemikiran tubuh yang ideal mendapatkan solusi untuk permasalahannya. Menurut Simon (1957), seseorang cenderung menggunakan pemikiran rasional namun terbatas (bounded rationality). Menurutnya kita cenderung menggunakan strategi pengambilan keputusan berdasarkan kepuasan. Apabila kita merasa puas, maka kita tidak akan mempertimbangkan lagi kemungkinan-kemungkinan dan lebih berhati-hati dalam memutuskan. Individu tersebut memiliki suatu cara atau pola pikir yang salah tentang dirinya dalam hal ini adalah bentuk tubuh yang ideal. Individu cenderung membandingkan dirinya sendiri dengan orang lain. Keterbatasan itulah yang kemudian menjadikan individu mencari jalan keluar agar bentuk tubuhnya tetap ideal dan juga tetap makan makanan yang individu tersebut inginkan.
Individu merasa bahwa dengan mengeluarkan makanan secara langsung atau dengan olahraga yang berat agar tidak terjadi timbunan lemak adalah hal yang paling baik dilakukan agar tubuhnya tetap ideal dimatanya maupun orang lain. Serta dari persepsi inilah individu merasa “aman” jika makan terus-menerus atau dalam jumlah yang banyak sekalipun. Persepsi inilah yang menjadi sumber utama gangguan bulimia tersebut.
D. Gejala
Tanda-tanda komplikasi bulimia, menurut Monique Elizabeth Sukamto (1999) yakni individu mengalami peradangan tenggorokan, pembengkakkan kelenjar ludah, kerusakan gigi karena penderita sering melakukan purging (memuntahkan makanannya).
Sedangkan karakteristik diagnostik bulimia nervosa berdasarkan DSM IV adalah:
1. Episode berulang dari makan berlebihan seperti yang ditunjukkan oleh kedua hal berikut ini :
a. Memakan makanan dalam jumlah yang sangat luar biasa selama periode 2 jam.
b. Merasa kehilangan kontrol terhadap pemasukan makanan pada saat episode tersebut.
2. Perilaku tidak sesuai yang sering terjadi untuk menjaga agar berat tubuh tidak bertambah seperti membangkitkan rasa ingin muntah, penyalahgunaan obat pencahar, diuretik atau enema, dengan berpuasa atau latihan berlebihan.
3. Rata – rata minimal dalam seminggu terjadi dua episode makan berlebihan dan perilaku kompensasi yang tidak sesuai untuk menghindari bertambahnya berat badan, dan hal ini terjadi minimal selama 3 bulan.
4. Perhatian yang berlebihan yang terus menerus pada bentuk dan berat badan.
E. Onset
Usia rata – rata dari terjadinya bulimia adalah remaja akhir, ketika tekanan tentang diet dan ketidakpuasan akan bentuk tubuh atau berat badan berada pada puncaknya. Bulimia nervosa biasanya mempengaruhi wanita kulit putih (non Hispanik) pada tahap remaja akhir atau dewasa awal (APA, 2000). Beberapa penyebab terjadinya gangguan makan antara lain perubahan hormone (Garfinkel & Garner, 1982), pertentangan hidup (Minuchin, Rosman, & Baker, 1978), masalah seksualitas (Coovert, Kinder, dan Thompson, 1989), dan masalah image beauty (Hsu,1990)
Pendapat bahwa gangguan makan berhubungan dengan status sosial ekonomi tinggi mungkin menunjukkan kecendrungan pada pasien – pasien yang berada untuk mendapatkan perawatan. Pada kenyataannya, tekanan sosial pada wanita muda dalam usaha untuk mencapau tubuh ideal yang sangat kurus terdapat pada golongan status sosial ekonomi manapun.
F. Prevalensi
Makan berlebihan pada penderita bulimia biasanya muncul diam – diam dan biasanya di rumah pada siang atau sore hari (Drewnowski, 1997; Guertin, 1999). Makan berlebihan biasanya berlangsung selama 30 sampai 60 menit dan ditujukan untuk mengkonsumsi makanan yang harusnya dihindari seperti makanan yang manis dan kaya lemak. Penderita biasanya merasa kurang dapat mengontrol kebiasaan makan berlebihan dan dapat mengkonsumsi 5000 sampai 10000 kalori sekaligus.
Prevalensi individu yang mengalami gangguan bulimia adalah 90%-95% atau sebagian besar adalah perempuan yang berkulit putihdan berasal dari kaum menengah ke atas, sedangkan sisanya 5%-10% adalah laki-laki dimana umur onset untuk gangguan ini sedikit lebih tua dan banyak diantaranya adalah kaum biseksual atau homoseksual (Rothblum, 2002). Schlundt dan Johnson (1990) merangkum sejumlah besar survei dan mengatakan bahwa 6%-8% perempuan muda terutama mahasiswi, memenuhi kriteria bulimia nervosa.
Studi yang paling penting adalah yang dilaporkan oleh Kendler dan rekan-rekan sejawatnya (1991). Dalam studi ini, 2163 orang kembar (lebih dari 1000 pasangan kebar 2 atau lebih) diwawancarai. Prevalensi seumur-hidup bulimia ditemukan 2,8% atau bisa menjadi 5,3% jika gejala bulimia yang tidak memenuhi kriteria juga diambil.
Dalam sebuah penelitian tentang perjalanan hidup bulimia, dari 102 perempuan yang mengalami bulimia dan mengikuti 92 orang diantaranya secara prospektif selama 5 tahun, sekitar sepertiga diantaranya mengalami perbaikan sampai ke titik di mana setiap tahunnya mereka tidak lagi memenuhi kriteria diagnostiknya.
G. Terapi
Terdapat berbagai macam terapi yang dapat digunakan dalam menangani kasus bulimia tersebut, antara lain:
1. Terapi kognitif perilaku
Cooper dan kerabat (1994) menyebutkan bahwa mereka mendapatkan pengurangan yang sangat kuat dalam frekuensi dari binge eating dan memuntahkannya kembali setelah memakai panduan terapi self-help cognitive behavior. Panduan tersebut termasuk enam sampai delapan sesi laporan yang dipandu dengan terapis yang bukan spesialis yang menyediakan dukungan dan dorongan dalam memakai panduan tersebut. Satu dari tiga penderita yang ditanya setelah mengikuti terapi ini selama 8 minggu follow up menyebutkan bahwa terdapat perubahan yang signifikan. Di dalam panduan self help tersebut berisi tentang bagaimana cara membantu mereka dalam mengatasi masalah gangguan makannya. Setelah membaca panduan tersebut, maka individu tersebut diminta sambil mengamalkan atau menjalankan apa yang terdapat dalam buku tersebut. Terapi ini menggunakan pendekatan kognitif perilaku yang mana individu diberikan pengetahuan awal yang dapat mengubah pola pikirnya mengenai dampak buruk baik makan berlebihan ataupun dampak purging atau mengeluarkan makanan tersebut serta mngubah cara pandangnya tentang body image. Setelah itu individu merubah pola makannya serta kebiasaan makannya.
2. Terapi obat
Penderita bulimia dapat dibantu dengan obat-obatan walaupun belum terbukti secara pasti efeknya (Wilson dan Fairburn, 2002). Ada penelitian yang menyebutkan bahwa obat jenis Prozak mungkin efektif untuk mencegah kekambuhan penyakit (Kaye,et.al,2001). Namun ada obat yang dipercaya paling efektif untuk bulimia yaitu obat-obatan yang sama dengan obat anti-depresan yang efektif untuk gangguan suasana perasaan dan gangguan kecemasan (Kaye,et.al, 1999). Dalam suatu penelitian tentang obat anti-depresan dan prozak, para peneliti mendapatkan pengurangan rata-rata dalam perilaku makan berlebih dan purging masing-masing sebesar 47% dan 65% (Walsh, 1991).
3. Terapi keluarga
Terapi lainnya yang dapat dipakai adalah terapi keluarga yang diadaptasi dari Maudsley model of family therapy. Dalam terapi ini peran keluarga adalah sebagai kunci yang sangat penting dalam membantu perawatan dan kesembuhan dari individu tersebut. Dalam terapi ini dibuat agar anggota keluarga lain ikut serta dan menunjukkan bahwa mereka adalah tempat yang tepat untuk membantu masalah tersebut. Perlakuan yang dilakukan antara lain:
a. membuat orientasi masalah yaitu individu diminta untuk menjelaskan masalahnya kepada keluarganya,
b. Menekankan sebuah peraturan dari keluarga dalam mempromosikan pemulihan dari cara makan yang benar
c. Menyediakan pendidikan tentang bulimia dan dampaknya.
H. Prevensi
Pencegahan yang dapat dilakukan untuk menghindari gangguan bulimia nervosa pada dasarnya lebih mengacu kepada sejauh mana penerimaan diri seseorang terhadap dirinya sendiri, penerimaan terhadap lingkungan dan penerimaan lingkungan orang sekitar terhadap dirinya.
Hal ini dapat diterapkan dengan cara memulai memberikan pandangan yang positif kepada diri sendiri dan orang lain. Kita juga dapat memberikan pengajaran kepada anak untuk selalu menjaga tubuh mereka agar selalu sehat dengan berolahraga dan menerapkan pola hidup sehat serta mengkonsumsi makanan yang baik dan berguna untuk tubuh sesuai dengan proporsinya masing-masing.
Hal lain yang dapat dilakukan adalah dengan menghindari stigma atau pandangan tertentu yang terasa sepele akan tetapi dapat menimbulkan dampak negatif. Misalnya, jangan membuat opini bahwsanya badan yang kurus merupakan sebuah tubuh yang sehat, populer, indah dan dapat diterima di masyarakat luas, sedangkan badan yang gemuk akan dikucilkan dari masyarakat. Hal seperti itulah yang dapat merangsang seseorang berpikir negatif terhadap dirinya dan kemudian orang tersebut merasa takut bila badannya terlihat gemuk karena khawatir tidak cantik lagi, sehingga orang tersebut memutuskan untuk melakukan binge eating dari setiap makanan yang ia konsumsi. Hal lain yang dapat dilakukan adalah dengan menghindari memberikan reward terutama pada anak-anak dalam bentuk makanan, karena hal ini sama saja menstimulasi seseorang untuk merusak pola makan.
I. Kualitas Hidup
Individu penderita bulimia biasanya mengalami depresi. Dari penelitian terhadap 20 orang bulimia, 20 orang fobia social, dan 20 orang gangguan panic menunjukkan bahwa 75% orang dengan gangguan bulimia juga menunjukkan gangguan kecemasan seperti fobia sosial atau kecemasan menyeluruh (Schwalburg, Barlow, Alger, dan Howard, 1992). Kemudian penderita bulimia terutama tipe purging biasanya akan memiliki dampak atau konsekuensi lebih tinggi dari non-purging. Komplikasi medis dari bulimia disebabkan karena muntah yang terus menerus. Dampak fisik yang mungkin terjadi:
1. Iritasi pada kulit sekitar mulut. Penyebabnya adalah seringnya kontak dengan asam lambung, terhambatnya air liur, peluruhan enamel gigi dan karang gigi.
2. Dapat merusak reseptor pada lidah yang disebabkan oleh asam yang timbul dari muntah, sehingga menyebabkan orang menjadi kurang sensitif terhadap rasa dari makanan yang dimuntahkan (Rodin dkk., 1999).
3. Siklus makan banyak dan memuntahkannya dapat menyebabkan sakit pada perut, hiatal hernia, dan keluhan perut lainnya.
4. Tekanan pada pankreas dapat menghasilkan pankreatitis (rasa panas) yang merupakan situasi darurat medis.
5. Gangguan fungsi menstruasi ditemukan pada 50% wanita penderita bulimia yang memiliki berat badan normal (Weltzin dkk., 1994).
6. Penggunaan obat pencahar yang berlebihan dapat menyebabkan diare berdarah dan ketergantungan.
7. Pada kasus yang ekstrem, organ – organ pencernaan akan kehilangan respon refleknya untuk menekan zat – zat sisa.
8. Muntah yang berulang atau penyalahgunaan obat pencahar dapat menyebabkan kekurangan potassium, membuat otot – otot melemah, fungsi jantung tidak normal, atau bahkan kematian mendadak – terutama ketika diuretic juga digunakan.
Pribadi yang menghindar juga muncul dari penderita bulimia nervosa terutama menghindar dari tekanan atau stressor. Kemudian dampak psikis yang dapat terjadi pada penderita bulimia adalah :
1. Perasaan tidak berharga
2. Sensitif, mudah tersinggung, mudah marah
3. Mudah merasa bersalah
4. Kehilangan minat untuk berinteraksi dengan orang lain
5. Tidak percaya diri, canggung berhadapan dengan orang banyak
6. Cenderung berbohong untuk menutupi perilaku makannya
7. Minta perhatian orang lain
8. Depresi (sedih terus menerus

GANGGUAN ANXIETY

BAB I
PENDAHULUAN
Sensasi anxietas atau cemas sering dialami oleh hampir semua manusia. Perasaan tersebut ditandai oleh rasa ketakutan yang difius, tidak menyenangkan, seringkali disertai oleh gejala otonomik, seperti nyeri kepala, berkeringat, palpitasi, gelisah, dan sebagainya. Kumpulan gejala tertentu yang ditemui selama kecemasan cenderung bervaniasi, pada setiap orang tidak sama. Dalam praktek sehari-hani anxietas sering dikenal dengan istilah perasaan cemas, perasaan bingung, was-was, bimbang dan sebagainya, dimana istilah tersebut lebih merujuk pada kondisi normal. Sedangkan gangguan anxietas merujuk pada kondisi patologik.
Anxietas sendiri mempunyai rentang yang luas dan normal sampai level yang moderat misalnya pertandingan sepak bola, ujian, wawancara untuk masuk kerja mempunyai tingkat anxietas yang berbeda. Anxietas sendiri dapat sebagai gejala saja yang terdapat pada gangguan psikiatrik, dapat sebagai sindroma pada neurosis cemas dan dapat juga sebagai kondisi normal.
Anxietas normal sebenarnya sesuatu hal yang sehat, karena merupakan tanda bahaya tentang keadaan jiwa dan tubuh manusia supaya dapat mempertahankan diri dan anxietas juga dapat bersifat konstruktif, misalnya seorang pelajar yang akan menghadapi ujian, merasa cemas, maka ia akan belajar secara giat supaya kecemasannya dapat berkurang.
Anxietas dapat bersifat akut atau kronik. Pada anxietas akut serangan datang mendadak dan cepat menghilang. Anxietas kronik biasanya berlalu untuk jangka waktu lama walaupun tidak seintensif anxietas akut, pengalaman penderitaan dari gejala cemas ini oleh pasien biasanya dirasakan cukup gawat untuk mempenganuhi prestasi kerjanya. Bila dilihat dan segi jumlah, maka orang yang menderita anxietas kronik jauh lebih banyak daripada anxietas akut.
Ansietas merupakan satu keadaan yang ditandai oleh rasa khawatir disertai dengan gejala somatik yang menandakan suatu kegiatan berlebihandari susunan saraf autonomic (SSA). Ansietas merupakan gejala yang umum tetapi non-spesifik yang sering merupakan satu fungsi emosi. Sedangkan depresi merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia yang berkaitan dengan alam perasaan yang sedih dan gejala penyertanya termasuk perubahan pola tidur dan nafsu makan, psikomotor, konsentrasi, kelelahan, rasa putus asa dan tak berdaya, serta gagasan bunuh diri.

BAB II
PEMBAHASAN

A. DIFINISI ANXIETAS
“Anxietas adalah perasaan yang difius, yang sangat tidak menyenangkan, agak tidak menentu dan kabur tentang sesuatu yang akan terjadi. Perasaan ini disertai dengan suatu atau beberapa reaksi badaniah yang khas dan yang akan datang berulang bagi seseorang tertentu. Perasaan ini dapat berupa rasa kosong di perut, dada sesak, jantung berdebar, keringat berlebihan, sakit kepala atau rasa mau kencing atau buang air besar. Perasaan ini disertai dengan rasa ingin bergerak dan gelisah. (Harold I Lief)
“Anenvous condition of unrest” ( Leland E. HINSIE dan Robert S CAMBELL)
“Anxietas adalah perasaan tidak senang yang khas yang disebabkan oleh dugaan akan bahaya atau frustrasi yang mengancam yang akan membahayakan rasa aman, keseimbangan, atau kehidupan seseorang individu atau kelompok biososialnya.” ( J.J GROEN)

GEJALA UMUM ANXIETAS
Gejala Psikologik :
Ketegangan, kekuatiran, panic, perasaan tak nyata, takut mati, takut gila, takut kehilangan control dan sebagainya.
Gejala Fisik :
Gemetar, berkeringat,jantung berdebar, kepala terasa ringan, pusing, ketegangan otot, mual, sulit bernapas, diare, gelisah, rasa gatal, gangguan di lambung, dan sebagainya.

Keluhan yang dikemukakan pasien dengan anxietas kronik seperti: rasa sesak nafas, rasa sakit dada, kadang-kadang merasa harus menarik nafas dalam, ada sesuatu yang menekan dada, jantung berdebar, mual, vertigo, tremor, kaki dan tangan merasa kesemutan, kaki dan tangan tidak dapat diam ada perasaan harus bergerak terus menerus, kaki merasa lemah, sehingga berjalan dirasakan beret, kadang- kadang ada gagap dan banyak lagi keluhan yang tidak spesifik untuk penyakit tertentu. Keluhan yang dikemukakan disini tidak semua terdapat pada pasien dengan gangguan anxietas kronik, melainkan seseorang dapat saja mengalami hanya beberapa gejala 1 keluhan saja. Tetapi pengalaman penderitaan dan gejala ini oleh pasien yang bersangkutan biasanya dirasakan cukup gawat.

B. Beberapa Teori Tentang Gangguan Anxietas:
a. TEORI PSIKOLOGIS
I. Teori Psikoanalitik
Freud menyatakan bahwa kecemasan sebagai sinyal, kecemasan menyadarkan ego untuk mengambil tindakan defensive terhadap tekanan dari dalam diri. Misal : menggunakan mekanisme represi, dan bila berhasil terjadi pemulihan keseimbangan psikologis tanpa adanya gejala gangguan anxietas dan jika represi tidak berhasil sebagai suatu pertahanan, maka dipakai mekanisme pertahanan yang lain yakni : konvensi, regresi, ini menimbulkan gejala.
II. Teori perilaku
Teori perilaku menyatakan bahwa kecemasan adalah suatu respon yang dibiaskan terhadap stimuli lingkungan spesifik. Misal : seorang anak dapat belajar untuk memiliki respon kecemaan internal dengan meniru respon kecemasan orang tuanya.
III. Teori Eksistensial
Konsep dan teori ini adalah, bahwa seseorang menjadi menyadari adanya kehampaan yang menonjol di dalam dirinya. Perasaan ini lebih mengganggu daripada penerimaan tentang kenyataan kehilangan/ kematian seseorang yang tidak dapat dihindari. Kecemasan adalah respon seseorang terhadap kehampaan eksistensi tersebut.
b. TEORI BIOLOGIS
I. Susunan Saraf Otonom
Stimuli sistem saraf otonom menyebabkan gejala tertentu. Sistem kardiovaskular takikardi, muskular nyeri kepala, gastrointestinal diare dan sebagainya.
II. Neurotransmiten
Tiga neurotrasmiter utama yang berhubungan dengan kecemasan berdasarkan penelitian pada binatang dan respon terhadap terapi obat yaitu : norepinefrin, serotonin dan gamma-aminobutyric acid
III. Penelitian genetika
Penelitian ini mendapatkan, hampir separuh dan semua pasien dengan gangguan panik memiliki sekurangnya satu sanak saudara yang juga menderita gangguan.
IV. Penelitian Pencitraan Otak
Contoh: pada gangguan anxietas didapati kelainan di korteks frontalis, oksipital, temporalis. Pada gangguan panik didapati kelainan pada girus para hipokampus.

C. BENTUK GANGGUAN ANXIETAS
1. Gangguan Panik
Ada dua kriteria Gangguan panik : gangguan panik tanpa agorafobia dan gangguan panik dengan agorofobia kedua gangguan panik ini harus ada serangan panik.
Gambaran klinis :
Serangan panik pertama seringkali spontan, tanpa tanda mau serangan panik, walaupun serangan panik kadang-kadang terjadi setelah luapan kegembiraan, kelelahan fisik, aktivitas seksual atau trauma emosional. Klinisi harus berusaha untuk mengetahui tiap kebiasaan atau situasi yang sering mendahului serangan panik. Serangan sering dimulai dengan periode gejala yang meningkat dengan cepat selama 10 menit. Gejala mental utama adalah ketakutan yang kuat, suatu perasaan ancaman kematian dan kiamat. Pasien biasanya tidak mampu menyebutkan sumber ketakutannya. Pasien mungkin merasa kebingungan dan mengalami kesulitan dalam memusatkan perhatian. Tanda fisik adalah takikardia, palpitasi, sesak nafas dan berkeringat. Pasien seringkali mencoba untuk mencari bantuan dan biasanya serangan berlangsung 20 sampai 30 menit.
Pasien dengan gangguan agoraphobia akan menghindari situasi dimana dia akan sulit mendapat bantuan. Pasien mungkin memaksa bahwa mereka harus ditemani setiap kali keluar rumah.
Gejala penyerta :
Gejala depresi seringkali ditemukan pada serangan panik dan agorafobia, pada beberapa pasien suatu gangguan depresi ditemukan bersama-sama dengan gangguan panik. Penelitian telah menemukan bahwa resiko bunuh diri selama hidup pada orang dengan gangguan panik adalah lebih tinggi dibandingkan pada orang tanpa gangguan mental.
Diagnosa banding :
Penyakit kardio paskuler : anemia, hipertensi, infark iniokardium, dst.
Penyakit pulmonum : asma, hiper ventilasi, emboli paru-paru.
Penyakit neurologis : serebrovaskular, epilepsy, migrain, tumor, dsb.
Penyakit endoktrin : diabetes, hipertroidisme, hipoglikemi, sindroma pramenstruasi, gangguan menopause,dsb.
Intoksikasi obat dan putus obat
Kondisi lain : anafilaksis, gangguan elektrolit, keracunan logam berat, uremia, dsb.
Pedoman diagnostik agropobia :
• Kecemasan berada di dalam suatu tempat atau situasi dimana kemungkinan sulit meloloskan diri
• Situasi dihindari, misal jarang bepergian
• Kecemasan atau penghindaran fobik bukan karena gangguan mental lain, misal fobia social
Pedoman diagnostik gangguan panik :
• Serangan panik rekuren dan tidak diharapkan
• Sekurangnya satu serangan , diikuti satu atau lebih : kekawatiran menetap akan mengalami serangan tambahan, ketakutan tentang arti serangan, perubahan perilaku bermakna berhubungan dengan serangan
• Serangan panik bukan karena efek fisiologis langsung atau suatu kondisi medis umum
• Serangan panik tidak lebih baik diterangkan oleh gangguan mental lain. Misal : gangguan obsesif - kompulsif.
• Gangguan panik bisa dengan agorafobia atau tanpa agoraphobia
TERAPI
Konseling dan medikasi.
Konseling
ajari pasien untuk diam ditempat sampai serangan panik berlalu, konsentrasikan diri untuk mengatasi anxietas bukan pada gejala fisik, rileks, latihan pernafasan. Identifikasikan rasa takut selama serangan. Diskusikan cara menghadapi rasa takut saya tidak mengalami serangan jantung, hanya panik, akan berlalu.
Medikasi
banyak pasien tertolong melalui konseling dan tidak membutuhkan medikasi. Bila serangan sering dan berat, atau secara bermakna dalam keadaan depresi beri antidepresan (imipramin 25 mg malam hari, dosis bisa sampai 100 150 mg malam selama 2 minggu ). Bila serangan jarang dan terbatas beri anti anxietas, jangka pendek (lorazepam 0,5 1 mg 3 dd 1 atau alprazolam 0,25 1 mg 3 dd 1) hindari pemberian jangka panjang dan pemberian medikasi yang tidak perlu.
Gangguan fobik
Penelitian epidemiologis di amerika serikat menemukan 510 persen populasi menderita gangguan ini. Fobia adalah suatu ketakutan yang tidak rasional yang menyebabkan penghindaran yang disadari terhadap objek, aktivitas, atau situasio yang ditakuti.
Fobia spesifik : takut terhadap binatang, badai, ketinggian, penyakit, cidera, dsb.
Fobia sosial : takut terhadap rasa memalukan di dalam berbagai lingkungan social, seperti berbicara di depan umum, dsb.
Pedoman diagnostik
• Rasa takut yang jelas, menetap dan berlebihan atau tidak beralasan (obyek /situasi)
• Pemaparan dengan stimulus fobik hampir selalu mencetuskan kecemasan
• Menyadari bahwa rasa takut adalah berlebihan
• Situasi fobik dihindari
TERAPI
Konseling dan medikasi: dorong pasien untuk dapat mengatur pernafasan, membuat daftar situasi yang ditakuti atau dihindari, diskusikan cara-cara menghadapi rasa takut tersebut. Dengan konseling banyak pasien tidak membutuhkan medikasi. Bila ada depresi bisa diberi antidepresan lmipramin 50 150 mg/ hari. Bila ada anxietas beri antianxietas dalam waktu singkat, karena bisa menimbulkan ketergantungan. Beta bloker dapat mengurangi gejala fisik. Konsultasi spesialitik bila sampai rasa takut menetap.
2. Gangguan Obsesif-kompulsif
Prevalensi seumur hidup gangguan obsesif-kompulsif pada populasi umum diperkirakan adalah 2-3 persen. Obsesif adalah pikiran, perasaan, ide yang berulang, tidak bisa dihilangkan dan tidak dikehendaki. Kompulsif adalah tingkah-laku yang berulang, tidak bisa dihilangkan dan tidak dikehendaki.
Pedoman diagnosis
 Pikiran, impuls, yang berulang
 Perilaku yang berulang
 Menyadari bahwa obsesif-kompulsif adalah berlebihan atau tidak beralasan
 Obsesif-kompulsif menyebabkan penderitaan
 Tidak disebabkan oleh suatu zat atau kondisi medis umum.
Diagnosis banding
Kondisi fisik : gangguan neurologis (epilepsy lobul temporalis, komplikasi trauma, dsb)
Kondisi psikiatrik : gangguan kepribagian obsesif-kumpulsif, fobia, gangguan depresif.
Terapi
Konseling dan medikasi : mengenali, menghadapi, menantang pikiran yang berulang dapat mengurangi gejala obsesd, yang pada akhirnya mengurangi perilaku kompulsif. Latihan pernafasan. Bicarakan apa yang akan dilakukan pasien untuk mengatasi situasi, kenali dari perkuat hal yang berhasil mengatasi situasi. Bila diperlukan bisa diberi Klomipramin 100 - 150mg atau golongan Selected Serotonin Reuptake Inhibitors. Konsultasi spesialistik bila kondisi tidak berkurang atau menetap.
3. Gangguan Stres Pasca Trauma
Pasien dapat diklasifikasikan mendenta gangguan stres pasca-trauma, bila mereka mengalami suatu stres yang akan bersifat traumatik bagi hampir semua orang. Trauma bisa berupa trauma peperangan, bencana alam, penyerangan, pemerkosaan, kecelakaan.
Gangguan stres-pasca trauma terdiri dari : pengalaman kembali trauma melalui mimpi dan pikiran, penghindaran yang persisten oleh penderita terhadap trauma dan penumpulan responsivitas pada penderita tersebut, kesadaran berlebihan dan persisten. Gejala penyerta yang sering dan gangguan stres pasca-trauma adalah depresi, kecemasan dan kesulitan kognitif (contoh : pemusatan perhatian yang buruk)
Prevalensi seumur hidup gangguan stres pasaca-trauma diperkirakan I sampai 3 persen populasi umum, 5 sampai 15 persen mengalami bentuk gangguan yang subklinis. Walaupun gangguan stres pasca-trauma dapat terjadi pada setiap usia, namun gangguan paling menonjol pada usia dewasa muda.
Pedoman diagnostik pasca trauma
A. Telah terpapar dengan peristiwa traumatik, didapati:
 mengalami, menyaksikan, dihadapkan dengan peristiwa yang berupa ancaman kematian, atau kematian yang sesungguhanya atau cedera yang serius,atau ancaman integritas fisik diri sendiri atau orang lain
 respon berupa rasa takut yang kuat, rasa tidak berdaya
B. Keadan traumatik secara menetap dialami kembali dalam satu atau lebih cara berikut:
 rekoleksi yang menderitakan, rekuren dan mengganggu tentang kejadian
 Mimpi menakutkan yang berulang tentang kejadian
 berkelakuan atau merasa seakan-akan kejadian traumatik terjadi kembali
 penderitaan psikologis yang kuat saat terpapar dengan tanda internal atau eksternal yang menyimbolkan atau menyerupai suatu aspek kejadian traumatik
 reaktivitas psikologis saat terpapar dengan tanda internal atau eksternal yang menyimbolkan atau menyerupai aspek kejadian traumatik
C. Penghindaran stimulus yang persisten yang berhubungan dengan trauma
D. Gejala menetap, adanya peningkatan kesadaran, seperti dua atau lebih berikut :
kesulitan tidur, irritabilitas, sulit konsentrasi, kewaspadaan berlebihan, respon kejut
yang berlebihan.
E. Lama gangguan gejala B,C,D adalah lebih dari satu bulan.
F. Gangguan menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lain.
4. Gangguan stres Akut
Suatu gangguan sementara yang cukup parah yang terjadi pada seseorang tanpa adanya gangguan jiwa lain yang nyata, sebagai respons terhadap stres fisik maupun mental yang luar biasa dan biasanya menghilang dalam beberapa jam atau hari. Stresornya dapat berupa pengalaman traumatik yang luar biasa . Kerentanan individu dan kemampuan menyesuaikan diri memegang peranan dalam terjadinya dan keparahannya suatu reaksi stres akut.
Pedoman diagnostik
Harus ada kaitan waktu yang langsung dan jelas antara terjadinya pengalaman stresor luar biasa dengan onset dan gejala. Onset biasanya setelah beberapa menit atau bahkan segera setelah kejadian. Selain itu ditemukan (a) terdapat gambaran gejala campuran yang biasanya berubah-ubah; selain gejala permulaan berupa keadaan “ terpaku” , semua gejala berikut mungkin tampak: depresif, anxietas, kemarahan, kekecewaan, overaktif dan penarikan diri, akan tetapi tidak satupun dan jenis gejala tersebut yang mendominasi gambaran klinisnya untuk waktu lama. (b) pada kasus-kasus yang dapat dialihkan dan stresomya, gejala-gejalanya dapat menghilang dengan cepat (dalam beberapa jam); dalam hal dimana stres tidak dapat dialihkan, gejala-gejala biasanya baru mulai mereda setelah 24 - 48 jam dan biasanya menghilang setelah 3 hari.
5. Gangguan Anxietas Menyeluruh.
Gambaran esensial dan gangguan ini adalah adanya anxietas yang menyeluruh dan menetap (bertahan lama), Gejala yang dominant sangat bervariasi, tetapi keluhan tegang yang berkepanjangan, gemetaran, ketegangan otot, berkeringat, kepala terasa ringan, palpitasi, pusing kepala dan keluhan epigastnik adalah keluhan¬keluhan yang lazim dijumpai. Ketakutan bahwa dirinya atau anggota keluarganya akan menderita sakit atau akan mengalami kecelakaan dalam waktu dekat, merupakan keluhan yang seringkali diungkapkan.
Pedoman diagnostik
Pasien harus menunjukan gejala primer anxietas yang berlangsung hampir setiap hari selama beberapa minggu, bahkan biasanya sampai beberapa bulan. Gejala-gejala ini biasanya mencakup hal-hal berikut : kecemasan tentang masa depan, ketegangan motorik, overaktivitas otonomik
Terapi
Konseling dan medikasi: informasikan bahwa stres dan rasa khawatir keduanya mempunyai efek fisik dan mental. Mempelajari keterampilan untuk mengurangi dampak stres merupakan pertolongan yang paling efektif. Mengenali, menghadapi dan menantang kekhawatiran yang berlebihan dapat mengurangi gejala anxietas. Kenali kekhawatiran yang berlebihan atau pikiran yang pesimistik. Latihan fisik yang teratur sering menolong. Medikasi merupakan terapi sekunder, tapi dapat digunakan jika dengan konseling gejala menetap. Medikasi anxietas : misal Diazepam 5 mg malam hari, tidak lebih dari 2 minggu, Beta bloker dapat membantu mengobati gejala fisik, antidepresan bila ada depresi. Konsultasi spesialistik bila anxietas berat dan berlangsung lebih dan 3 bulan.
6. GANGGUAN CAMPURAN ANXIETAS DAN DEPRESI
DIAGNOSISBerdasarkan PPDGJ-III kriteria diagnostik untuk gangguan campuran anxietas dan depresi adalah sebagai berikut:
a. Terdapat gejala-gejala anxietas maupun depresi, di mana masing-masing tidak menunjukkan rangkaian gejala yang cukup berat untuk menegakkan diagnosis tersendiri. Untuk anxietas, beberapa gejala otonomik harus ditemukan walaupun tidak terus menerus, disamping rasa cemas atau kekhawatiran berlebihan.
b. Bila ditemukan anxietas berat disertai depresi yang lebih ringan, maka harus dipertimbangkan kategori gangguan anxietas lainnya atau gangguan anxietas fobik.
c. Bila ditemukan sindrom depresi dan anxietas yang cukup berat untuk menegakkan masing-masing diagnosis, maka kedua diagnosis tersebut harus dikemukakan, dan diagnosis gangguan campuran tidak dapat digunakan. Jika karena sesuatu hal hanya dapat dikemukakan satu diagnosis maka gangguan depresif harus diutamakan.
d. Bila gejala-gejala tersebut berkaitan erat dengan stress kehidupan yang jelas, maka harus digunakan kategori F43.2 gangguan penyesuaian.

Gambaran Klinis
Ansietas dan gangguannya dapat menampilkan diri dalam berbagai tanda dan gejala fisik dan psikologik seperti gemetar, renjatan, rasa goyah, nyeri punggung dan kepala, ketegangan otot, napas pendek, mudah lelah, sering kaget, hiperaktivitas autonomik seperti wajah merah dan pucat, takikardi, palpitasi, berkeringat, tangan rasa dingin, diare, mulut kering, sering kencing. Rasa takut, sulit konsentrasi, insomnia, libido turun, rasa mengganjal di tenggorok, rasa mual di perut dan sebagainya.Gejala utama dari depresi adalah afek depresif, kehilangan minat dan kegembiraan, dan berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah (rasa lelah yang nyata sesudah kerja sedikit saja) serta menurunnya aktivitas. Beberapa gejala lainnya dari depresi adalah:
• konsentrasi dan perhatian berkurang;
• harga diri dan kepercayaan diri berkurang;
• gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna;
• pandangan masa depan yang suram dan pesimistis;
• gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri;
• tidur terganggu;
• nafsu makan berkurang.
Untuk gangguan campuran anxietas dan depresi, kedua gejala baik gejala anxietas maupun gejala depresi tetap ada namun kedua-duanya tidak menunjukkan gejala yang cukup berat atau lebih menonjol antara satu dengan lainnya. 3,4,6,7

Diagnosa Banding
Diagnosis banding gangguan campuran anxietas dan depresi hampir semua kondisi medis yang menyebabkan kecemasan. Mengingat keadaan cemas biasanya disertai dan diikuti dengan gejala depresi. Untuk diagnosis dibutuhkan penentuan kreteria yang tepat antara berat ringannya gejala, penyebab serta perlangsungan dari gejala apakah sementara atau menetap. Pada gangguan cemas lainnya biasanya depresi adalah bentuk akhir bila penderita tidak dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi. Pada cemas menyeluruh depresi biasanya bersifat sementara dan lebih ringan gejalanya dibanding anxietas, gangguan penyesuaian memiliki gejala yang jelas berkaitan erat dengan stres kehidupan.

Terapi
Pengobatan yang paling efektif untuk pasien dengan gangguan campuran anxietas dan depresi adalah kemungkinan pengobatan yang mengkombinasikan psikoterapetik, farmakoterapetik, dan pendekatan suportif. Pengobatan mungkin memerlukan cukup banyak waktu bagi klinisi yang terlibat, terlepas dari apakah klinisi adalah seorang dokter psikiatrik, seorang dokter keluarga, atau spesialis lainnya.

Psikoterapi
Pendekatan psikoterapetik utama untuk gangguan kecemasan umum adalah kognitif-perilaku, suportif, dan berorientasi-tilikan. Data masih terbatas tentang manfaat relatif dari pendekatan-pendekatan tersebut, walaupun penelitian yang paling canggih telah dilakukan dengan teknik kognitif-perilaku, yang tampaknya memiliki kemanjuran jangka panjang dan jangka pendek. Pendekatan kognitif secara langsung menjawab distorsi kognitif pasien yang dihipotesiskan, dan pendekatan perilaku menjawab keluhan somatik secara langsung. Teknik utama yang digunakan dalam pendekatan kognitif dan perilaku adalah lebih efektif dibandingkan teknik tersebut jika digunakan sendiri-sendiri. Tetapi suportif menawarkan ketentraman dan kenyamanan bagi pasien, walaupun manfaat jangka panjangnya adalah meragukan. Psikoterapi berorientasi-tilikan memusatkan untuk mengungkapkan konflik bawah sadar dan mengenali kekuatan ego. Manfaat psikoterapi berorientasi-tilikan untuk gangguan kecemasan umum dilaporkan pada banyak kasus anekdotal, tetapi tidak terdapat penelitian besar yang terkendali.
Sebagian besar pasien mengalami kekenduran keeemasan yang jelas jika diberikan kesempatan untuk membicarakan kesulitannya dengan dokter yang prihatin dan simpatik. Jika klinisi menemukan situasi eksternal yang menyebabkan kecemasan, klinisi mungkin mampu sendirian atau dengan bantuan pasien atau keluarganya untuk mengubah lingkungan dan dengan demikian menurunkan tekanan yang penuh ketegangan. Penurunan gejala seringkali memungkinankan pasien untuk berfungsi secara efektif dalam pekerjaan dan hubungannya sehari-hari, yagn memberikan kesenangan dan pemuasan baru yang dengan sendirinya bersifat terapetik.
Pandangan psikoanalitik adalah bahwa dalam kasus tertentu kecemasan adalah suatu sinyal dari kekacauan bawah sadar yang memerlukan pemeriksaan. Kecemasan dapat normal, adaptif, maladaptif, terlalu kuat, atau terlalu ringan, tergantung pada keadaan. Kecemasan tampak dalam berbagai situasi selama peijalanan siklus hidup seseorang; pada banyak kasus, pengurangan gejala bukan merupakan tujuan tindakan yang paling tepat.
Bagi pasien yang secara psikologis bermaksud dan termotivasi untuk mengerti sumber kecemasannya, psikoterapi mungkin merupakan pengobatan terpilih. Tetapi psikodinamika bekerja dengan anggapan bahwa keeemasan mungkin meningkat pada pengobatan yang efektif. Tujuan pendekatan dinamika adalah untuk meningkatkan toleransi kecemasan pasien (didefmisikan sebagai kemampuan untuk mengalami kecemasan tanpa hares melampiaskannya), bukannya untuk menghilangkan kecemasan. Penelitian empiris menyatakan banyak pasien yang menjalani psikoterapetik secara berhasil mungkin terus mengalami kecemasan setelah dihentikannya psikoterapi. Tetapi, peningkatan penguasaan ego memungkinkan mereka untuk menggunakan gejala kecemasan sebagai sinyal untuk mencerminkan perjuangan hidup dan untuk meluaskan tilikan dan pengertian mereka. Suatu pendekatan psikodinamika pada pasien dengan gangguan kecemasan umum melibatkan pencarian rasa takut pasien yang mendasarinya.
Farmakoterapi
Keputusan untuk meresepkan suatu obat pada pasien dengan gangguan kecemasan campuran anxietas dan depresi hams jarang dilakukan pada kunjungan pertama. Karena sifat gangguan yang berlangsung lama, suatu rencana pengobatan hares dengan cermat dijelaskan. Dua golongan obat utama yang dipakai dalam pengobatan gangguan anxietas adalah Benzodiazepine dan Non-Benzodiazepine, dengan Benzodiazepine sebagai pilihan utama. Sedang untuk depresi dipakai golongan Trisiklik, Tetrasiklik, MAOI-reversible, SSRI, dan Atypical anti depresi. Dimana SSRI menjadi pilihan utama.
Benzodiazepine (Diazepam). Benzodiazepin telah merupakan obat terpilih untuk gangguan kecemasan umum. Benzodiazepin dapat diresepkan atas dasar jika diperlukan, sehingga pasien menggunakan benzodiazepin kerja cepat jika mereka merasakan kecemasan tertentu. Pendekatan alternatif adalah dengan meresepkan benzodiazepin untuk suatu periode terbatas, selama mans pendekatan terapetik psikososial diterapkan.
Beberapa masalah adalah berhubungan dengan pemakaian benzadiazepin dalam gangguan anxietas. Kira-kira 25 sampai 30 persen dari semua pasien tidak berespon, dan dapat terjadi toleransi dan ketergantungan. Beberapa pasien juga mengalami gangguan kesadaran saat menggunakan obat dan, dengan demikian, adalah berada dalam risiko untuk mengalami kecelakaan kendaraan bermotor atau mesin.
Keputusan klinis untuk memulai terapi dengan benzodiazepin hares dipertimbangkan dan spesifik. Diagonosis pasien, gejala sasaran spesifik, dan lamanya pengobatan — semuanya hares ditentukan, dan harus diberikan informasi kepada pasien. Pengobatan untuk sebagian besar keadaan kecemasan berlangksung selama dua sampai enam minggu, diikuti oleh satu atau dua minggu menurunkan obat perlahan-lahan (tapering) sebelum akhirnya obat dihentikan. Kekeliruan klinis yang sering dengan terapi benzodiazepin adalah dengan memutuskan secara pasif untuk melanjutklan pengobatan atas dasar tanpa batas.
Untuk pengobatan kecemasan, biasanya memulai dengan obat pada rentang rendah terapetiknya dan meningkatkan dosis untuk mencapai respon terapetik. Pemakaian benzodiazepin dengan waktu paruh sedang (8 sampai 15 jam) kemungkinan menghindari beberapa efek merugikan yang berhubungan dengan penggunaan benzodiazepin dengan waktu paruh panjang. Pemakaian dosis terbagi mencegah perkembangan efek merugikan yang berhubungan dengan kadar plasma puncak yang tinggi. Perbaikan yang didapatkan dengan benzodiazepin mungkin lebih dan sekedar efek antikecemasan. Sebagai contohnya, obat dapat menyebabkan pasien memandang berbagai kejadian dalam pandangan yang positif. Obat juga dapat memiliki kerja disinhibisi ringah, serupa dengan yang dilihat setelah sejumlah kecil alkohol. Untuk diazepam sediaan tab. 2-5mg, ampul 10 mg/2cc dosis anjuran l0-30mg/hari 2-3xsehari, i.v./i.m 2-10mg /3-4 jam.
Non-Benzodiazepine (Buspirone). Buspirone kemungkinan besar efektif pada 60 sampai 80 persen pasien dengan gangguan cemas. Data menyatakan bahwa buspirone adalah lebih efektif dalam menurunkan gejala kognitif dari gangguan kecemasan umum dibandingkan dengan menurunkan gejala somatik. Bukti-bukti juga menyatakan bahwa pasien yang sebelumnya telah diobati dengan benzodiazepin kemungkinan tidak berespon dengan pengobatan buspirone. Tidak adanya respons tersebut mungkin disebabkan oleh tidak adanya efek nonansiolitik dari benzodiazepin (seperti relaksasi otot dan rasa kesehatan tambahan), yang terjadi pada terapi buspirone. Namun demikian, rasio manfaat-risiko yang lebih balk, tidak adanya efek kognitif dan psikomotor, dan tidak adanya gejala putus that menyebabkan buspirone merupakan obat lini pertama dalam pengobatan gangguan kecemasan umum. Kerugian utama dari buspirone adalah bahwa efeknya memerlukan dua sampai tiga minggu sebelum terlihat, berbeda dengan efek ansiolitik benzodiazepin yang hampir segera terlihat. Buspirone bukan merupakan terapi efektif untuk putus benzodiazepin. Sediaan tab. 10mg dosis anjuran 3x25mg/h.
Anti-Depresi. mekanisme kerja Obat Anti-depresi, adalahmenghambat “re-uptake aminergic neurotransmitter”, menghambat penghancuran oleh ensirn “Monoamine Oxidase” Sehingga terjadi peningkatan jurnlah “arninergic neurotransmitter” pada sinaps neuron di SSP. Efek samping Obal Anti-depresi dapat berupa :
• Sedasi (rasa mengantuk, kewaspadaan berkurang, kinerja psikomotor menurun, kemampuan kognitif rnenurun, d11)
• Efek Antikolinergik (mulut keying, retensi urin, penglihatan kabur., konstipasi, sinus takikardia, dsb)
• Efek Anti-adrenergik alfa (perubahan EKG, hipotensi)
• Efek Nourotoksis (tremor halus, gelisah, agitasi,insomnia)
Efek samping yang tidak berat biasanya berkurang setelah 2-3 minggu. SSRI dipilih mengingat efek samping yang ditimbulkan relatif lebih ringan.namun obat ini memiliki harga yang mahal oleh karenanya trisiklik masih sering digunakan. Contoh obat golongan ini adalah fluoxetine,sertraline,paroxetine,citalopram,fluvoxamine. 2.4.6,7,8
PERJALANAN PENYAKIT DAN PROGNOSIS
Perjalanan klinis dan prognosis gangguan adalah sukar untuk diperkirakan. Namun demikian, beberapa data menyatakan peristiwa kehidupan berhubungan dengan onset gangguan ini. Terjadinya beberapa peristiwa kehidupan yang negatif secara jelas meningkatkan kemungkinan akan terjadinya gangguan. Hal ini berkaitan pula dengan berat-ringannya gangguan tersebut.
KESIMPULAN
Gangguan campuran anxietas dan depresi adalah gangguan jiwa yang umum terjadi di masyarakat. Pada gangguan anxietas terdapat pembagian gangguan campuran dan depresi (F41.2) sebagai salah satu bentuk dan gangguan anxietas lainnya Anxietas adalah respon normal individu terhadap ancaman atau stresor. Bila anxietas menjadi begitu parah atau timbul tanpa diprovokasi oleh suatu keadaan tidak berbahaya, maka keadaan anxietas tersebut menjadi gangguan
Penyebab gangguan ini adalah tidak jelas. diperantarai oleh suatu system kompleks yang melibatkan system limbic,thalamus, korteks frontal secara anatomis dan norepinefrin, serotonin dan GABA pada system neurokimia, yang man hingga saat ini belum diketahui jelas bagaimana kerja bagian-bagian tersebut
Diagnostik untuk gangguan campuran anxietas dan depresi adalah terdapat gejala-¬gejala anxietas maupun depresi, di mana masing-masing tidak menunjukkan rangkaian gejala yang cukup berat untuk menegakkan diagnosis tersendiri. Untuk anxietas, beberapa gejala otonomik harus ditemukan walaupun tidak terus menerus, disamping rasa cemas atau kekhawatiran berlebihan.
Untuk diagnosis dibutuhkan penentuan kreteria yang tepat antara berat ringannya gejala, penyebab serta perlangsungan dan gejala apakah sementara atau menetap.
Pengobatan yang paling efektif untuk pasien dengan gangguan campuran anxietas dan depresi adalah kemungkinan pengobatan yang mengkombinasikan psikoterapetik, farmakoterapetik, dan pendekatan suportif.
Perjalanan klinis dan prognosis gangguan sukar untuk diperkirakan berkaitan pula dengan berat-ringannya gangguan tersebut.














DAFTAR PUSTAKA
1. Kaplan H, Sadock B, Grebb J. Kaplan dan Sadock: Sinopsis Psikiatri Ilmu Pengetahuan Psikiatri Klinis. Edisi Ketujuh. Jilid Dua. Jakarta: Binarupa Aksara; 1997.
2. Tomb D. Buku Saku Psikiatri. Edisi Enam. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2000.
3. WHO. PPDGJ III. Cetakan pertama. Jakarta: Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pelayanan Medik; 1993
4. Kay J, Tasman A. Essentials of Psychiatry. England: John Wiley& Sons Ltd; 2006
5. Kumar P, Clark M. Kumar&Clark Clinical Medicine. 5th ed. UK: WB Saunders; 2002
6. Yates R W. Anxiety Disorders. [online]. 2007 Aug 23 [cited 2008 Feb 18]; [14 screens]. Available from http://www.emedicine.com/emerg/topic152.htm
7. Ravinder N Bhalla, MD. Depression. [online]. 2006 Oct 30 [cited 2008 Feb 181; [14 screens]. Available from http://www.emedicine.com/emerg/topic532.htm
8. Kaplan H, Sadock B, Ilmu Kedokteran Jiwa Darurat Widya Medika, Jakarta, 1998