Sabtu, 16 April 2011

PSI ABNORMAL (GANGGUAN PADA ANAK

BAB I
PENDAHULUAN

Untuk mengklasifikasikan perilaku abnormal pada anak-anak, hal pertama kita harus mengetahui apa yang dianggap normal pada usia tersebut. Untuk menentukan apa yang normal dan abnormal, khusus pada anak yang perlu ditambahkan selain kriteria umum yang telah kita ketahui adalah factor usia anak dan latar belakang budaya. Banyak masalah yang pertama kali teridentifikasi pada saat anak masuk sekolah. Masalah tersebut mungkin sudah muncul lebih awal tetapi masih ditoleransi, atau tidak dianggap sebagai masalah ketika di rumah. Kadang-kadang stres karena pertama kali masuk sekolah ikut mempengaruhi kemunculannya (onset). Namun, perlu diingat bahwa apa yang secara sosial dapat diterima pada usia tertentu, menjadi tidak dapat diterima di usia yang lebih besar. Banyak pola perilaku yang mungkin dianggap abnormal pada masa dewasa, dianggap normal pada usia tertentu.
Gangguan pada anak-anak ini sering kali di kelompokkan dalam dua kelompok yaitu eksternalisasi dan internalisasi. Gangguan eksternalisasi ditandai dengan perilaku yang diarahkan ke luar diri, seperti agresivitas, ketidak patuhan, overaktivitas, dan impulsivitas dan termasuk berbagai kategori DSM-IV-TR, yaitu ADHD, gangguan tingkah laku (GTL), dan gangguan sikap menentang (GSM). Gangguan internalisasi ditandai dengan pengalaman dan perilaku yang lebih terfokus kedalam diri seperti depresi, menarik diri dari pergaulan social, dan kecemasan, termasuk juga anxietas dan mood dimasa anak-anak.
Anak-anak yang memiliki masalah-masalah yang terinternalisasi lebih besar kemungkinannya untuk tidak tertangani dibandingkan mereka yang memiliki masalah yang tereksternalisasi yang cenderung lebih mengganggu bagi orang lain. Anak laki-laki memiliki resiko yang lebih besar untuk mengembangkan banyak masalah di masa kanak-kanak, berkisar dari autisme sampai hiperaktif hingga ganggua eliminasi. Masalah kecemasan dan depresi juga mempengaruhi lebih banyak anak laki-laki daripada perempuan.  
BAB II
PEMBHASAN

A. Gangguan Pemusatan Perhatian / Hiperaktivitas
Seorang anak yang selalu begerak, mengetuk-ketukkan jari, mengoyang-goyangkan kaki, mendorong tubuh anak lain tanpa alasan yang jelas, berbicar tanpa henti, dan bergerak gelisah sering kali disebut hiperaktif. Anak-anak tersebut sulit untuk berkonsentrasi pada tugasyang dikerjakan dalam waktu tertentu yang wajar.
Diagnosis ADHD tidak tepat untuk anak-anak yang ribut, aktif, atau agak mudah teralih perhatiannya karena di tahun-tahun awal sekolah anak-anak sering berperilaku demikian (Whalen, 1983). Anak dengan ADHD mengalami kesulitan mengendalikan aktifitas dalam berbagai situasi yang menghendaki mereka duduk tenang. Mereka terdisorganisasi, eratik, tidak berperasaan, kerasa kepala, dan bossy. Banyak anak ADHD mengalami kesulitan besar untuk bermain dengan anak seusia mereka dan menjalin persahabatan (Hinshaw & Melnick, 1995; Whalen & Henker, 1985), hal ini mungkin karena mereka cenderung agresif saat bermain sehingga membuat teman-temannya merasa tidak nyaman.
Anak ADHD bermain agresif dengan tujuan mencari sensasi sedang anak normal malakukan hal tersebut dangan tujuan untuk bermain sportif. Anak ADHD mengetahui tindakan yang dibenarkan secara sosial dalam berbagai situasi hipotesis, namun tidak mampu mempraktekan pengetahuan tersebut dalam perilaku interaksi sosialnya (Whalen & Henker, 1985, 1999). Karena simtom-simtom ADHD bervariasai, DSM-IV-TR mencantumkan tiga subkategori, yaitu:
1. Tipe predominan inatentif: anak-anak yang masalah utamanya adalah rendahnya konsentrasi.
2. Tipe predominan Hiperaktif-Impulsif: anak-anak yang masalah utamanya diakibatkan oleh perilaku hiperaktif-impulsif.
3. Tipe kombinasi: anak-anak yang mengalami kedua rangkaian masalah diatas.
Anak-anak yang mengalami masalah atensi, namun memiliki tingkat aktivitas yang sesuai dengan tahap perkembangannya, tampak sulit memfokuskan perhatian atau lebih lambat dalam memproses informasi (Barkley, Grodzinsky, & DuPaul,1992), mungkin berhubungan dengna masalah pada daerah frontal atau striatal otak (Tannock,1998). Gangguan ADHD, lebih berhubungan dengan perilaku tidak mengerjakan tugas di sekolah, kelemahan kognitif, rendahnya prestasi, dan prognosis jangka panjangnya lebih baik. Berbeda dengan anak yang mengalami gangguan tingkah laku, mereka bertingkah disekolah dan dimana pun, dan kemungkinan jauh lebih agresif, serta mungkin memiliki orang tua yang antisosial.
ADHD ini banyak terjadi pada anak laki-laki daripada anak perempuan. Anak yang mengalami ADHD, menunjukkan aktivitas yang berlebihan, perilaku temperamental, rasa ingin tahu yang berlebihan, serta sangat energik dalam bermain.

A.1 Teori Biologi ADHD
a. Faktor genetik, penelitian menunjukan bahwa predisposisi genetika terhadap ADHD kemungkinan berperan. Bila orang tua menderita ADHD, kemungkinan sebagian anaknya akan mengalami gangguan tersebut (Biederman, dkk, 1995). Mengenai apa yang diturunkan dalam keluarga sampai saat ini belum ditemukan, namun studi baru-baru ini menunjukan bahwa ada perbedaan ungsi dan struktur otak pada anak ADHD dan anak yang tidak ADHD. Frontal lobe pada anak ADHD kurang responsif terhadap stimulasi (Rubia dkk,1999 ; tannock, 1998), aliran darah cerebral berkurang (Sieg dkk, 1995). Terlebih lagi beberapa bagian otak (frontal lobe, nucleus, kaudat, globus pallidus) pada anak ADHD lebih kecil dari ukuran normal (Castellanos dkk, 1996; Filipek dkk, 1997; Hynd dkk, 1993).
b. Faktor perinatal dan prenatal, berbagai hal yang berhubungan dengan masa-masa kelahiran, serta berbagai zat yang dikonsumsi ibu saat kehamilan, merupakan prediktor simtom-simtom ADHD.
c. Racun lingkungan, teori pada tahu 1970-an menyangkut peran racun dalam terjadinya hiperaktifitas. Zat-zat adiktif pada makanan mempengaruhi kerja system saraf pusat pada anak-anak hiperaktif. Nikotin, merupakan racun lingkungan yang dapat berperan dalam terjadinya ADHD.



A.2 Teori Psikologis ADHD
Bruno Bettelheim (1973), mengemukakan teori diathesis-stres mengenai ADHD, yaitu hiperaktifitas terjadi bila suatu predisposisi terhadap gangguan dipasangkan dengan pola asuh orang tua yang otoritarian. Pembelajaran juga dapat berperan dalam ADHD, seperti yang dikemukakan Ross dan Ross (1982), hiperaktivitas dapat merupakan peniruan perilaku orang tua dan saudara-saudara kandung. Dalam hubungan orang tua-anak sangat kurang bersifat dua arah dan lebih mungkin merupakan “rantai asosiasi kompleks” (Hinshaw dkk, 1997). Seperti halnya orang tua anak yang hiperaktif mungkin memberi lebih banyak perintah dan memiliki interaksi negatif dengan mereka (a.l.,Anderson, Hinshaw, & Simmel, 1994; Heller dkk, 1996), demikian juga anak-anak hiperaktivitas diketahui kurang patuh dan memiliki interaksi yang lebih negative dengna orang tua mereka (Barkley, Karlsson & Pollar; Tallmadge & Barkley, 1983).

A.3 Penanganan ADHD
1). Pemberian Obat Stimulan. Metilfenidat, atau Ritalin, telah diresepkan bagi ADHD sejak awal tahun 1960-an (Sprague & Gadow, 1976), termasuk amfetamin, atau Adderall, dan Pemolin atau Cylert. Obat-obatan ini digunakan untuk mengurangi perilaku menganggu dan meningkatkan konsentrasi. Namun, penelitian lain mengindikasikan bahwa obat-obatan tersebut tidak dapat meningkatkan prestasi akademik untuk waktu lama. Efek samping dari obat-obatan ini adalah hilangnya nafsu makan untuk sementara dan masalah tidur.
2). Penanganan Psikologis. Selain pemberian obat, penanganan yang paling menjanjikan bagi anak-anak ADHD mencakup pelatihan bagi orang tua dan perubahan menajemen kelas berdasarkan prinsip-prinsip pengondisian operant. Program ini mampu untuk memperbaiki perilaku sosial dan akademik. Pada penanganan ini perilaku anak dipantau dan di rumah dan di sekolah, dan mereka diberi penguatan untuk berperilaku sesuai dengan harapan.
Fokus program operant ini adalah meningkatkan karya akademik, menyelesaikan tugas-tugas rumah, atau belajar keterampilan sosial spesifik, dan bukan untuk mengurangi tanda-tanda hiperaktivitas, seperti berlari ke sana kemari dan menggoyang-goyangkan kaki. Berbagai intervensi di sekolah bagi anak ADHD, mencakup pelatihan bagi para guru untuk memahami kebutuhan unik anak-anak tersebut dan menerapkan teknik-teknik operant tersebut di kelas (Welsh dkk, 1997), pembimbingan oleh teman sebaya dalam keterampilan akademik (DuPaul & Henningson,1993), meminta guru-guru untuk memberikan laporan harian kepada orang tua mengenai perilaku anak di sekolah, yang ditindaklanjuti dengan hadiah dan konsekuensi di rumah (Kelly, 1990).
B. Gangguan Tingkah Laku
Definisi gangguan tingkah laku pada DSM-IV-TR memfokuskan pada perilaku yang melanggar hak-hak dasar orang lain dan norma-norma sosial utama. Tipe perilaku yang dianggap sebagai simtom gangguan tingkah laku mencakup agresi dan kekejian terhadap orang lain atau hewan, merusakkan kepemilikan, berbohong, dan mencuri. Gangguan tingkah laku merujuk pada berbagai tindakan yang kasar dan sering dilakukan yang jauh melampaui kenakalan dan tipuan praktis yang umum dilakukan anak-anak dan remaja. Seringnya, perilaku ini ditandai dengan kesewenang-wenangan, kekejian dan kurang penyesalan.
Kriteria gangguan tingkah laku dalam DSM-IV-TR :
1. Pola perilaku yang berulang dan tetap yang melanggar hak-hak dasar orang lain atau norma-norma sosial konvensional yang terwujud dalam bentuk tiga atau lebih perilaku dibawah ini dalam 12 bulan terakhir dan minimal satu diantaranya dalam enam bulan terakhir :
a. Agresi terhadap orang lain dan hewan, contohnya mengintimidasi, memulai perkelahian fisik, melakukan kekejaman fisik kepada orang lain atau hewan, memaksa seseorang melakukan aktivitas seksual
b. Menghancurkan kepemilikan (properti), contohnya membakar, vandalisme
c. Berbohong atau mencuri, contohnya, masuk dengan paksa ke rumah atau mobil milik orang lain, menipu, mengutil
d. Pelanggaran aturan yang serius, contohnya tidak pulang ke rumah hingga larut malam sebelum usia 13 tahun karena sengaja melanggar peraturan orang tua, sering membolos sekolah sebelum berusia 13 tahun
2. Disabilitas signifikan dalam fungsi sosial, akademik atau pekerjaan
3. Jika orang yang bersangkutan berusia lebih dari 18 tahun, kriteria yang ada tidak memenuhi gangguan kepribadian anti sosial

Banyak anak yang mengalami gangguan tingkah laku juga menunjukkan gangguan lain. Ada tingkat komorbiditas yang tinggi antara gangguan tingkah laku dan ADHD. Hal ini terjadi pada anak laki-laki, namun jauh lebih sedikit yang diketahui mengenai komorbiditas gangguan tingkah laku dan ADHD pada anak perempuan. Penyalahgunaan zat juga umum terjadi bersamaan dengan gangguan tingkah laku dimana dua kondisi tersebut saling memperparah satu sama lain.
Terdapat bukti bahwa anak laki-laki yang mengalami gangguan tingkah laku dan komorbid dengan hambatan behavioral memiliki kemungkinan lebih kecil untuk melakukan kejahatan dibanding mereka yang mengalami gangguan tingkah laku yang komorbid dengan penarikan diri dari pergaulan sosial. Bukti-bukti menunjukkan bahwa anak-anak perempuan yang mengalami gangguan tingkah laku beresiko lebih tinggi untuk mengalami berbagai gangguan komorbid, termasuk kecemasan, depresi, penyalahgunaan zat, dan ADHD dibanding dengan anak laki-laki yang memiliki gangguan tingkah laku.

B.1 Prognosis Gangguan Tingkah Laku
Gangguan tingkah laku di masa kanak-kanak tidak dengan sendirinya berlanjut menjadi perilaku antisosial di masa dewasa, meskipun memang menjadi faktor yang mempredisposisi. Studi baru-baru ini, menunjukkan bahwa meskipun sekitar separuh anak laki-laki yang mengalami gangguan tingkah laku tidak memenuhi kriteria lengkap bagi diagnosis tersebut pada pengukuran terkemudian (1-4 tahun kemudian), hampir semuanya tetap menunjukkan beberapa masalah tingkah laku (Lahey dkk.,1995). Beberapa individu tampaknya menunjukkan pola perilaku anti sosial yang “tetap sepanjang hidup”, dengan masalah tingkah laku yang bermula di usia 3 tahun dan berlanjut menjadi kesalahan perilaku yang serius di masa dewasa. Sementara itu, yang lain “terbatas di usia remaja”. Orang-orang tersebut mengalami masa kanak-kanak yang normal, terlibat dalam perilaku antisosial dengan tingkat yang tinggi selama masa renaja, dan kembali ke gaya hidup tidak bermasalah di masa dewasa.
Lahey, dkk (1995) menemukan bahwa anak laki-laki dengan gangguan tingkah laku perilaku antisosialnya jauh lebih mungkin untuk berlanjut jika memiliki salah satu orang tua yang mengalami gangguan kepribadian antisosial atau jika mereka memilki kecerdasan verbal rendah. Interaksi beberapa faktor individual, seperti temperamen, psikopatologi yang dialami orang tua, dan interaksi orang tua-anak yang disfungsional, dan faktor-faktor sosiokultural, seperti kemiskinan, dan dukungan sosial rendah, berkontribusi terhadap lebih banyaknya kemungkinan timbulnya perilaku agresif di usia dini dengan sifat tetap.
B.2 Etiologi dan Faktor Resiko Gangguan Tingkah Laku
a. Faktor-faktor biologis. Dalam tiga studi adopsi berskala besar di Swedia, Denmark, dan Amerika Serikat, mengindikasikan bahwa perilaku kriminal dan agresif dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan dimana faktor lingkungan pengaruhnya sedikit lebih besar. Dari studi terhadap orang kembar mengindikasikan bahwa perilaku agresif (a.l kejam terhadap hewan, berkelahi, merusak kepemilikan) jelas diturunkan, sedangkan perilaku kenakalan lainnya (a.l mencuri, lari dari rumah, membolos sekolah) kemungkinan tidak demikian. Kelemahan neurologis, tercakup dalam profil masa kanak-kanak dari anak-anak yang mengalami gangguan tingkah laku. Kelemahan tersebut termasuk keterampilan verbal yang rendah, masalah dalam fungsi pelaksanaan (kemampuan mengantisipasi, merencanakan, menggunakan pengendalian diri, dan menyelesaikan masalah) dan masalah memori.
b. Faktor-faktor psikologis. Teori pembelajaran yang melibatkan modelling dan pengondisian operant memberikan penjelasan yang bermanfaat mengenai perkembangan dan berlanjutnya masalah tingkah laku. Anak-anak dapat mempelajari agresivitas orang tua yang berperilaku agresif. Anak juga dapat meniriu tindakan agresif dari berbagai sumber lain seperti televisi. Karena agresi merupakan cara mencapai tujuan yang efektif , meskipun tidak menyenangkan , kemungkinan hal tersebut dikuatkan. Oleh karena itu setelah ditiru, tindakan agresif kemungkinan akan dipertahankan.Berbagai karakteristik pola asuh seperti disiplin keras dan tidak konsisten dan kurangnya pengawasan secara konsisiten dihubungkan dengan perilaku antisosial pada anak-anak.
c. Pengaruh dari teman-teman seusia. Penelitian mengenai pengaruh teman seusia terhadap agresi dan antisocial anak-anak memfokuskan pada dua bidang besar, yaitu:
1) Penerimaan atau penolakan dari teman-teman seusia. Penolakan menunjukkan hubungan yang kausal dengan perilaku agresif, bahkan dengan tindakan pengendalian perilaku agresif yang terdahulu (Coie & Dodge, 1998).
2) Afiliasi dengan teman-teman seusia yang berperilaku menyimpang. Pergaulan dengan teman seusia yang nakal juga dapat meningkatkan kemungkinan perilaku nakal pada anak (Capaldi & Patterson, 1994).
d. Faktor-faktor sosiologis. Tingkat pengangguran tinggi, fasilitas pendidikan yang rendah, kehidupan keluarga yang terganggu, dan subkultur yang menganggap perilaku criminal sebagai suatu hal yang dapat diterima terungkap sebagai faktor-faktor yang berkontribusi (Lahey dkk, 1999; Loeber & Farrington, 1998). Kombinasi perilaku antisosial anak yang timbul di usia dini dan rendahnya status sosioekonomi keluarga memprediksikan terjadinya penangkapan di usia muda karena tindakan criminal (Patterson, Crosby, & Vuchinich, 1992). Factor-faktor social berperan, korelasi terkuat dengan kenakalan adalah hiperaktivitas dan kurangnya pengawasan orang tua.



B.3 Penanganan Gangguan Tingkah Laku
Hal penting bagi keberhasilan dalam penanganan adalah upaya mempengaruhi banyak system dalam kehidupan seorang remaja (keluarga, teman-teman sebaya, sekolah, lingkungan tempat tinggal). Salah satu masalah yang dihadapi masyarakat adalah bagaimana menghadapai orang-orang yang nurani sosialnya tampak kurang berkembang.
1. Intervensi keluarga, beberapa pendekatan yang paling menjanjikian untuk menangani gangguan tingkah laku mnecakup intervensi bagi orang tua atau keluarga dari si anak antisosial. Gerald Patterson dan kolegannya mengembangkan dan menguji sebuah program behavioral, yaitu Pelatihan Manajemen Pola Asuh (PMP), dimana orang tua diajari untuk mengubah berbagai respon untuk anak-anak mereka sehingga perilaku prososial dan bukannya perilaku antisosial yang dihargai secara konsisten. Para orang tua diajarkan untuk menggunakan teknik-teknik seperti penguatan positif bila si anak menunjukkan perilaku positif dan pemberian jeda serta hilangnya perilaku istimewa bila ia berperilaku agresif atau antisosial. Pmp terbukti mengubah interaksi orang tua-anak, yang pada akhirnya berhubungan dengan berkurangnya perilaku antisosial dan agresif (Dishion & Andrews, 1995; Dishion, Patterson & kavenagh, 1992). PMP juga terbukti memperbaiki perilaku para saudara kandung dan mengurangi depresi pada para ibu yang mengikuti program tersebut (Kazdin,1985).
2. Penanganan multisistemik (PMS), Henggeler menujukkan keberhasilan dalam hal mengurangi tingkat penangkapan karena tindak kriminal dalam empat tahun setelah penanganan (Borduin dkk, 1995). Intervensi ini memandang masalah tingkah laku sebagai suatu hal yang dipengaruhi oleh berbagai konteks dalam keluarga dan antara keluarga dan berbagai sistem sosial lainnya. Teknik yang dipergunakan variasai meliputi teknik perilaku kognitif, system keluarga, dan manajemen kasus. Keunikan dari terapi ini terletak pada penekanan kekuatan individu dan keluarga, mengidenikasikan konteks bagi masalah-masalah tingkah laku, yang berfokus pada masa kini dan berorientasi pada tindakan, dan menggunakan intervensi yang membutuhkan upaya harian atau mingguan oleh para anggota.
3. Pendekatan kognitif, terapi dengan intervensi bagi orang tua dan keluarga merupakan komponen keberhasilan yang penting, tetapi penangana semacam itu banyak memakan biaya dan waktu. Oleh kerena itu, penanganan dengan terapi kognitif individual bagi anak-anak yang mengalami gangguan tingkah laku dapat mempaerbaiki tingkah laku mereka, meski tanpa melibatkan keluarga. Contoh: mengajarkan keterampilan kognitif pada anak-anak untuk mengendalikan kemarahan mereka menunjukan manfaat yang nyata dalam membantu mereks mengurangi perilaku agresif. Mereka belajar untuk bertahan dari serangan verbal tanapa merespon secara agresif dengan menguanakan teknik pengalihan seperti bersenandung, mengatakan hal-hal yang menyenangkan pada diri sendiri, atau beranjak pergi. Strategi lain dengan mengajarkan keterampilan moral kepada berbagai kelompok remaja yang mengalami ganguan perilaku.
C. Disabilitas Belajar
Disabilitas belajar merujuk pada kondisi tidak memadainya perkembangan dalam suatu bidang akademik tertentu, bahasa, berbicara, atau keterampilan motorik yang tidak disebabkan oleh retardasi mental, autisme, gangguan fisik yang dapat terlihat, atau kurangnya kesempatan pendidikan. Anak-anak yang mengalami gangguan ini umumnya memiliki intelegensi rata-rata atau di atas rata-rata, namun mengalami kesulitan mempelajari beberapa keterampilan tertentu (misal aritmatika atau membaca) sehingga kemajuan mereka di sekolah menjadi terhambat. Disabilitas belajar untuk menggabungkan tiga gangguan yang tercantum dalam DSM-IV-TR yaitu : gangguan perkembangan belajar, gangguan berkomunikasi, dan gangguan keterampilan motorik.
C.1 Gangguan Perkembangan Belajar
Kriteria Gangguan Perkembangan Belajar dalam DSM-IV-TR :
a. Prestasi dalam bidang membaca, berhitung atau menulis ekspresif di bawah tingkat yang diharapkan sesuai usia penderita, pendidikan, dan intelegensi.
b. Sangat menghambat performa akdemik atau aktivitas sehari-hari.
Gangguan perkembangan belajar dibagi menjadi tiga kategori. Tidak satupun dari diagnosis yang tepat jika disabilitas tersebut dapat disebabkan oleh defisit sensori, seperti masalah visual atau pendengaran.
a. Anak dengan gangguan membaca (disleksia) mengalami kesulitan besar untuk mengenali kata, memahami bacaan, serta umumnya juga menulis ejaan. Masalah ini terus dialami hingga dewasa. Gangguan ini terjadi 5-10 persen anak usia sekolah, tidak menghambat penderitanya untuk berprestasi.
b. Gangguan menulis ekspresif menggambarkan hendaya dalam kemampuan untuk menyusun kata tertulis (termasuk kesalahan ejaan, kesalahan tata bahasa atau tanda baca, atau tulisan tangan yang buruk) yang cukup parah sehingga dapat sangat menghambat prestasi akademik atau aktivitas sehari-hari.
c. Anak-anak dengan gangguan berhitung dapat mengalami kesulitan dalam mengingat fakta-fakta secara cepat dan akurat, menghitung objek dengan benar dan cepat, atau mengurutkan angka-angka dalam kolom-kolom.

C.2 Gangguan Komunikasi
Beberapa kategori gangguan berkomunikasi, antara lain :
a. Gangguan berbahasa ekspresif, dimana anak mengalami kesulitan mengekspreksikan dirinya dalam berbicara. Anak tampak sangat ingin berkomunikasi tetapi sangat sulit untuk menemukan kata-kata yang tepat. Misalnya tidak mampu mengucapkan kata mobil saat menunjuk sebuah mobil yang melintas. Kata-kata yang sudah terkuasai terlupakan oleh kata-kata yang baru dikuasai, dan penggunaan struktur bahasa sangat di bawah tingkat usianya.
b. Gangguan fonetik, dimana anak menguasai dan mampu mempegunakan perbendaharaan kata dalam jumlah besar tetapi tidak dapat mengucapkannya dengan jelas, contohnya biru diucapkan biu. Mereka tidak menguasai artikulasi suara dari huruf-huruf yang dikuasai terkemudian, seperti r, s, t, f, z, l, dan c.
c. Gagap, yaitu gangguan kefasihan verbal yang ditandai dengan satu atau lebih pola bicara berikut ini : seringnya pengulangan atau pemanjangan pengucapan konsonan atau vokal, jeda yang lama antara pengucapan satu kata dengan kata berikutnya, mengganti kata-kata yang sulit dengan kata-kata yang mudah diucapkan, dan mengulang kata. Jumlah laki-laki yang mengalami masalah ini sekitar 3 kali lebih banyak dari perempuan, biasanya muncul sekitar usia 5 tahun dan hampir selalu sebelum usia 10 tahun. DSM memperkirakan bahwa 80% indivisu yang gagap dapat sembuh tanpa intervensi profesional sebelum penderita menmcapai usia 16 tahun.

C.3 Gangguan Keterampilan Motorik
Disebut juga gangguan komunikasi perkembangan dimana seorang anak mengalami hendaya parah dalam perkembangan koordinasi motorik yang tidak disebabkan oleh retardasi mental atau gangguan fisik lain yang telah dikenal sebagai serebral palsi. Anak mengalami kesulitan menalikan sepatu dan mengancingkan baju, dan bila berusia lebih besar kesulitan membuat suatu bangun, bermain bola, dan menggambar atau menulis. Diagnosis hanya ditegakkan bila hendaya tersebut sangat menghambat prestasi akademik atau aktivitas sehai-hari.

C.4 Etiologi Disabilitas Belajar
a. Etiologi Disleksia
Kelemahan inti yang membentuk disleksia mencakup berbagai masalah dalam proses-proses visual/pendengaran dan bahasa. Penelitian menunjukkan adanya satu masalah atau lebih dalam pemrosesan bahasa yang dapat mendasari disleksia, termasuk persepsi bicara dan analisis bunyi bahasa ucapan dan hubungannya dengan kata-kata tertulis (Mann & Braddy, 1988). Beberapa anak tertentu lebih mungkin mengalami disleksia, yaitu : mereka yang mengalami kesulitan mengenali sajak atau puisi di usia 4 tahun (Bradley & Bryant, 1985); mengalami kesulitan menyebutkan nama objek familiar dengan cepat pada usia 5 tahun (Scarborough, 1990); dan mereka yang terlambat menguasai berbagai aturan bentuk kalimat pada usia 2,5 tahun (Scarborough, 1990). Bukti lain, bahwa berbagai studi keluarga dan anak kembar menegaskan bahwa terdapat komponen keturunan dalam disleksia, yang kemungkinan dikendalikan oleh kromosom 6 (Cardon dkk. ,1994 ;Fisher dkk. ,1999; Gayan dkk. ,1999; Grigoreko dkk. , 1997)
b. Etiologi Gangguan Berhitung
Terdapat tiga subtipe gangguan berhitung menurut para ahli. Pertama, kelemahan pada memori verbal semantik dan memicu timbulnya masalah dalam mengingat fakta-fakta aritmatik, bahkan setelah melalui latihan ekstensif. Tipe ini tampaknya berhubungan dengan beberapa disfungsi pada belahan kiri otak dan seringkali terjadi bersamaan dengan gangguan membaca.
Kedua, menyangkut penggunaan strategi yang tidak sesuai dengan tahap perkembangan dalam menyelesaikan soal-soal aritmatik dan seringnya melakukan kesalahan dalam menyelesaikan soal-soal sederhana.
Ketiga, jarang terjadi yaitu yang menyangkut hendaya keterampilan visuospasial, yang mengakibatkan kesalahan dalam mengurutkan angka-angka dalam kolom atau melakukan kesalahan menempatkan angka (meletakkan poin desimal di tempat yang salah).
Secara khusus, tipe disabilitas berhitung yang menyangkut hendaya memori semantik merupakan tipe yang paling mungkin diturunkan. Sebuah studi terhadap lebih dari 250 pasangan kembar menunjukkan bahwa faktor-faktor genetis yang sama mendasari kelemahan membaca dan berhitung pada anak-anak yang mengalami kedua gangguan tersebut (Gillis & DeFries, 1991).

C.5 Penanganan Disabilitas Belajar
Berbagai program penanganan harus memberikan kesempatan bagi anak-anak untuk mengalami rasa kemampuan dan self efficacy, mengurangi masalah behavioral yang diakibatkan oleh rasa frustrasi, mencakup strategi untuk mengatasi masalah penyesuaian masalah sosial dan emosional sekunder yang mereka alami.
Intervensi untuk Gangguan Belajar (Lyon & Moats, 1988)
1. Model Psikoedukasi. Menekankan pada kekuatan-kekuatan dan preferensi-preferensi anak dari pada usaha untuk mengoreksi defisiensi yang mendasarinya. Misalnya anak yang menyimpan informasi auditori lebih baik dibanding visual akan diajar secara verbal, misalnya mengguanakan rekaman pita, dan bukan materi-materi visual.
2. Model Behavioral. Mengasumsikan bahwa belajar akademik dibangun diatas hierarki ketermpilan-keterampilan dasar, atau ’perilaku yang memampukan (enabling behaviours)”. Kompetensi belajar anak akan dinilai untuk menentukan letak defisiensi dalam hierarki keterampilan. Program intruksi dan penguatan perilaku yang disusun secara individual akan membantu anak.
3. Model Medis. Mengasumsikan bahwa gangguan belajar merefleksikan dalam pengolahan informasi yang memiliki dasar biologis. Program-program harus diadaptasi untuk memperhatikan defisit-defisit yang mendasarinya ini dan disesuaikan dengan kebiutuhan anak (Levine, 2000).
4. Model Linguistik. Terfokus pada defisiensi dasar pada bahasa anak. Menekankan intruksi dalam keterampilan mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis dengan cara yang logis, berurutan, dan multi indrawi, seperti membaca dengan keras seraya disupervisi dengan teliti. Model ini mengajarkan keterampilan bahasa secara bertahap, membantu murid-murid menangkap struktur dan meggunakan kata-kata (Shaywitz, 1998; Wagner & Torgesen, 1987)
5. Model Kognitif. Berfokus pada bagaimana anak mengatur pemikiran mereka ketika belajar materi-materi akademik. Anak dibantu untuk belajar dengan (1) mengenali sifat dari tugas belajar, (2) menerapkan strategi-strategi untuk menyelesaikan tugas-tugas dan (3) memonitor kesuksesan strategi-strategi mereka.
Para peneliti mengembangkan permainan komputer khusus dan rekaman radio yang memperlambat pengucapan bunyi. Latihan intensif dapat meningkatkan keterampilan bahasa anak yang mengalami gangguan bahasa berat .

D. Retardasi Mental
Retardasi mental ialah keterlambatan yang mencakup rentang yang luas dalam perkembangan fungsi kognitif dan social (APA, 2000).
Kriteria Retardasi Mental dalam DSM-IV-TR :
 Fungsi intelektual yang secara signifikan di bawah rata-rata, IQ kurang dari 70
 Kurangnya fungsi sosial adaptif dalam minimal dua bidang berikut : komunikasi, mengurus diri sendiri, kehidupan keluarga, keterampilan interpersonal, pengguanaan sumber daya komunitas, kemampuan untuk mengambil keputusan sendiri, keterampilan akademik fungsional, rekreasi, pekerjaan, kesehatan dan kemanan
 Onset sebelum usia 18 tahun

D.1 Kriteria Tradisional untuk Retardasi Mental
Skor Tes Intelegensi. Mereka yang memiliki skor di bawah 70 hingga 75, dua deviasi standar di bawah rata-rata populasi, memenuhi kriteria “fungsi intelektual umum secara signifikan di bawah rata-rata.”
Fungsi Adaptif. Merujuk pada penguasaan keterampilan masa kanak-kanak seperti menggunakan toilet dan berpakaian, memahami konsep waktu dan uang, mampu menggunakan peralatan, berbelanja, dan melakukan perjalanan dengan transportasi umum, serta mengembangkan responsivitas sosial.
Usia Onset. Gangguan retardasi mental terjadi sebelum usia 18 tahun, untuk mencegah mengklasifikasikan kelemahan intelegensi dan perilaku adaptif yang disebabkan oleh cedera atau sakit yang terjadi kemudian dalam hidup sebagai retardasi mental.



D.2 Klasifikasi Retardasi Mental
 Retardasi Mental Ringan (IQ 50 hingga 70). Di usia remaja akhir dapat mempelajari ketrampilan akademik setara dengan kelas enam. Ketika dewasa, mampu melakukan pekerjaan yang tidak memerlukan keterampilan, meski masih membutuhkan bantuan dalam masalah sosial dan keuangan. Mereka bisa menikah dan mempunyai anak.
 Retardasi Mental Sedang (IQ 35-40 hingga 50-55). Mereka dapat mengalami kelemahan fisik dan disfungsi neurologis yang menghambat keterampilan motorik normal. Dengan banyak bimbingan dan latihan, mereka dapat bepergian sendiri di tempat yang tidak asing bagi mereka.
 Retardasi Mental Berat (IQ 20-25 hingga 35-40). Memiliki abnormalitas fisik sejak lahir dan keterbatasan dalam pengendalian sensori motor. Mereka hanya dapat melakukan sedikit aktivitas karena kerusakan otak yang parah. Mereka mampu melakukan pekerjaan yang sangat sederhana dengan supervisi terus menerus.
 Retardasi Mental Sangat Berat (IQ di bawah 20-25). Mereka membutuhkan supervisi total dan seringkali harus diasuh sepanjang hidup mereka. Sebagian besar memiliki abnormalitas fisik berat serta kerusakan neurologis dan tidak dapat berjalan sendiri ke manapun.

D.3 Etiologi Retardasi Mental
Penyebab spesifik yang dapat diidentifikasi umumnya adalah penyebab biologis:
1. Anomali Genetik atau kromosom. Abnormalitas kromosom terjadi pada kurang dari 5 % dari seluruh kehamilan yang dapat bertahan. Secara keseluruhan, sekitar separuh dari 1 % bayi yang dilahirkan mengalami abnormalitas kromosom (Smith, Bierman, & Robinson, 1978). Sebagian besar bayi tersebut meninggal sesaat setelah dilahirkan. Bayi yang dapat bertahan, mayoritas mengalami Sindroma Down atau trisomi 21.
2. Penyakit Gen Resesif. Salah satu penyakit tersebut adalah fenilketonuria (PKU) dimana terjadi defisiensi enzim hati (fenilalanin hidroksilase) yang pada akhirnya menyebabkan kerusakan otak yang tidak dapat diperbaiki.
3. Penyakit Infeksi. Konsekuensi paling terjadi dalam trimester pertama dimana janin belum memiliki respon imunologis yang dapat dideteksi, yaitu sistem imunnya belum berkembang untuk melawan virus.
4. Kecelakaan. Dapat menyebabkan berbagai cedera otak dalam tingkat yang bervariasi dan retardasi mental.
5. Bahaya Lingkungan. Beberapa polutan seperti merkuri, timah dapat menyebabkan keracunan dan retardasi mental.

D.4 Pencegahan dan Penanganan Retardasi Mental
1. Penanganan Residensial
Sejak tahun 1975, individu yang mengalami retardasi mental berhak mendapatkan penanganan yang sesuai dalam lingkungan dengan batasan yang sangat minimal. Orang dewasa dengan retardasi mental sedang, tinggal di tempat sederhana dan disediakan perawatan medis. Mereka didorong untuk berpartisipasi dalam tugas rutin rumah tangga semampu mereka. Mereka yang mengalami retardasi mental berat, tinggal di rumah perawatan yang dilengkapi dengan layanan pendidikan dan psikologis.
2. Intervensi Behavioral Berbasis Pengondisian Operant
Dalam metode operant, anak-anak diajari berbagai keterampilan selangkah demi selangkah dan berurutan. Prinsip-prinsip pengondisian operant kemudian diterapkan untuk mengajarkan berbagai komponen aktivitas pada anak, juga digunakan untuk mengurangi perilaku yang tidak pada tempatnya dan perilaku mencederai diri sendiri. Intervensi Kognitif
3. Latihan Inruksional Diri mengajari mereka yang mengalami retardasi mental untuk memandu upaya penyelesaian masalah mereka melalui kata-kata yang diucapkan.
4. Intruksi dengan Bantuan Komputer
Komponen visual dan auditori dalam komputer dapat mempertahankan konsentrasi para siswa yang sulit berkonsentrasi. Komputer dapat memenuhi kebutuhan akan banyaknya pengulangan materi tanpa menjadi bosan atau tidak sabar seperti yang dapat terjadi pada guru.
E. Gangguan Autistik (Gangguan Perkembangan Pervasif)
E.1 Karakteristik Gangguan Autistik
Individu autis tidak mampu berhubungan dengan orang lain secara wajar. Mereka memiliki keterbatasan yang parah dalam bahasa dan keinginan obsesif yang kuat. Mereka mengalami ketertarikan dan menciptakan kelekatan kuat dengan berbagai benda-benda mati dan berbagai benda mekanis.
Kekurangan Komunikasi. Mengoceh (babbing), istilah yang menggambarkan ucapan bayi sebelum mereka mulai mengucapkan kata-kata sebenarnya, jarang dilakukan oleh bayi autis. Pada usia 2 tahun, sekitar 50 % anak autis tidak pernah belajar berbicara sama sekali. Mereka yang jarang belajar berbicara, bicaranya mencakup berbagai keanehan. Salah satu cirinya adalah ekolalia, dimana anak mengulangi, biasanya dengan ketepatan luar biasa, perkataan orang lain yang didengarnya. Abnormalitas lain yang umum terjadi adalah pembalikan kata ganti. Anak merujuk dirinya sendiri dengan kata “ia”, atau “kamu” atau dengan menyebut nama mereka sendiri. Neologisme, kata-kata ciptaan atau kata-kata yang digunakan dengan cara tidak biasa. Misalnya anak 2 tahun, dapat menyebut milk (susu) dengan kata “moyee” dan terus berlanjut hingga melewati masa dimana anak normal sudah bisa mengucapkannya. Anak-anak dengan autisme sangat kaku dalam menggunakan kata-kata. Kelemahan komunikasi tersebut dapat menjadi penyebab kelemahan sosial pada mereka. Meskipun mereka telah belajar berbicara, mereka seringkali kurang memiliki spontanitas verbal dan jarang berekspresi secara verbal serta penggunaan bahasa mereka tidak selalu tepat (Paul, 1987).
Tindakan Repetitif dan Ritualistik. Anak dengan autis dapat menjadi sangat marah bila terjadi perubahan dalam rutinitas harian dan situasi sekeliling mereka. Karakteristik obsesional juga terdapat dalam perilkau anak autis dengan cara yang berbeda. Mereka juga memiliki perilaku stereotipik, gerakan tangan ritualistik yang aneh, dan gerkan ritmik lainnya, seperti menggoyangkan tubuh tanpa henti, berjalan dengan berjinjit. Menunjukkan fokus yang berlebihan pada bagian-bagian objek (misalnya memutar roda moil-mobilan secara berualang-ulang,) atau kelekatan yang tidak biasa terhadap objek-objek (seperti membawa seutas tali).
Kemunculannya (onsetnya) terjadi sebelum usia 3 tahun yang tampak dari fungsi yang abnormal pada paling tidak satu dari hal-hal berikut ini: perilaku sosial, komunikasi, atau bermain imjinatif.

E.2 Prognosis Gangguan Autistik
Berdasarkan kajiannya terhadap semua studi yang dipublikasikan, Lotter (1978) menyimpulkan bahwa 5 hingga 17 % anak-anak autis yang dapat melakukan penyesuaian yang relatif baik pada masa dewasa, menjalani hidup mandiri, namun tetap mengalami beberapa masalah residual seperti kegugupan sosial. Sebagian besar menjalani kehidupan yang terbatas dan sekitar separuhnya dirawat di institusi mental.
Individu autistik yang tidak mengalami retardasi mental dan memiliki keberfungsian tinggi mengindikasikan bahwa sebagian besar tidak membutuhkan perawatan di suati institusi dan beberapa diantaranya mampu belajar di perguruan tinggi dan membiayai diri sendiri dengan bekerja (Yirmia & Sigman, 1991). Namun banyak juga yang mampu berfungsi secara mandiri tetap menunjukkan hendaya dalam hubungan social.
E.3 Etiologi Gangguan Autistik
Basis Psikologis
1). Teori psikoanalisis
Yang paling dikenal adalah teori yang dikemukakan oleh Bruno Bettelhem (1967) dimana asumsi dasarnya bahwa autis disebabkan oleh pengalaman masa lalu. Balita dapat menolak orang tuanya dan mampu merasakan perasaan negatif mereka. Bayi melihat tindakannya hanya berdampak kecil pada perilaku orang tua yang tidak responsif. Maka, si anak kemudian meyakini bahwa ia tidak memiliki danpak apapun pada dunia, kemudian menciptakan “benteng kekosongan” autisme untuk melindungi diri dari penderitaan dan kekecewaan.
2). Teori Behavioral
Beberapa teori mengemukakan teori bahwa pengalaman belajar tertentu di masa kanak-kanak menyebabkan autisme. Ferster (1961), berpendapat bahwa tidak adanya perhatian dari orang tua, terutama ibu, mencegah terbentuknya berbagai asosiasi yang menjadikan manusia sebagai penguat sosial.
Basis Biologis
1). Faktor-Faktor Genetik
Resiko autisme pada saudara-saudara kandung dari orang-orang yang mengalami gangguan tersebut sekitar 75 kali lebih besar dibanding jika kasus indeks tidak mengalami gangguan autistik (McBride, Anderson, & Shapiro, 1996).dalam studi terhadap orang kembar, menemukan 60-91 % kesesuaian bagi autisme antara kembar identik, dibanding dengan tingkat kesesuaian 0-20 % pada kembar fraternal (Bailey dkk. , 1995 ; LeCouter dkk., 1996 ; Steffenberg dkk.,1989).
2). Faktor-Faktor Neurologis
Dari berbagai studi EEG, banyak anak autis yang memiliki pola gelombang otak abnormal, adanya tanda-tanda disfungsi otak. Abnormalitas neurologis tersebut menunjukkan bahwa dalam masa perkembangan otak mereka, sel –sel otak gagal menyatu dengan benar dan tidak membentuk jaringan koneksi seperti terjadi dalam perkembangan otak secara normal.
Prevalensi autisme pada anak yang ibunya terinfeksi rubella semasa hamil hampir 10 kali lebih besar dibanding pada anak-anak dalam popilasi umum. Pada para individu dengan autisme, berbagai daerah otak yang berhubungan dengan pemrosesan ekspresi wajah (lobus temporalis) dan emosi (amigdala) tidak aktif selama melakukan tugas tersebut (Critchley dkk., 2001).

E.4 Penanganan Gangguan Autistik
Penanganan untuk anak autis biasanya mencoba mengurangi perilaku mereka yang tidak wajar dan meningkatkan keterampilan komunikasi dan sosial. Meski teori biologis labih banyak mendapat dukungan empiris, intervensi psikologislah yang paling menjanjikan.
Masalah Khusus dalam Menangani Anak dengan Autis
Ada beberapa karakteristik yang dimiliki anak autis yang membuat mereka sulit untuk ditangani, antara lain :
 Mereka tidak dapat menyesuaikan diri dengan baik terhadap perubahan rutinitas dan karakteristik serta tujuan utama penanganan mencakup perubahan.
 Pengisolasian diri dan gerakan stimulasi diri yang mereka lakukan dapat menghambat pengajaran yang efektif.
 Sangat sulit menemukan cara untuk memotivasi anak dengan autis. Penguat harus eksplisit, konkret dan sangat menonjol.
 Selektivitas yang berlebihan dalam mengarahkan perhatian. Jika mereka sudah terfokus pada satu hal atau benda, yang lain akan terabaikan sama sekali.
Penanganan Behavioral Untuk Anak dengan Autis
Dengan Modelling dan Pengondisian Operant, para terapis perilaku mengajari anak-anak autis untuk berbicara, mengubah bicara ekolalik mereka, mendorong mereka untuk bermain dengan anak lain, dan membantu mereka secara umum menjadi lebih responsif kepada orang dewasa.
Ivar Lovaas menjalankan programoperant intensif bagi anak autis yang sangat muda ( di bawah usia 4 tahun). Terapi mencakup semua aspek kehidupan anak selama lebih dari 40 jam seminggu dalam waktu lebih dari 2 tahun. Para orang tua diberi pelatihan ekstensif sehingga penanganan dapat terus dilakukan hampir selama waktu terjaga anak-anak tersebut. Semua anak diberi hadiah bila berperilaku kurang agresif, lebih patuh, dan lebih berperilaku pantas secara sosial, misalnya berbicara dan bermain dengan anak lain. Tujuan program ini adalah membaurkan anak-anak tersebut dengan asumsi bahwa anak autis seiring membaiknya kondisi mereka, akan lebih memperolah manfaat bila berbaur bersama anak normal. Pendidikan yang diberika oleh orang tua bagi anak dari pada penanganan berbasis klinik atau rumah sakit. Koegel dan para koleganya (1982) menunjukkan bahwa 25 hingga 30 jam pelatihan bagi orang tua sama efektifnya dengan 200 jam penanganan langsung di klinik dalam hal memperbaiki perilaku anak autis. Namun Koegel berpendapat bahwa dari pada mengajari para orang tua untuk memfokuskan pada mengubah perilaku bermasalah yang ditargetkan secara individual dengan cara berurutan, orang tua akan lebih efktif bila diajari untuk terfokus pada meningkatkan motivasi dan responsivitas umum anak autis mereka. Misalnya, mengjinkan anak memilih bahan pengajaran, memberi penguat alami (pujian, bermain) dari pada pengaut berupa makanan, dan menguatkan upaya merespon serta memperbaiki respon dapat meningkatkan interaksi dan komunikasi keluarga. Salah satu intervensi berbasis komunitas yang berupaya melibatkan orang tua dalam proses penanganan adalah Treatment and Education of Autistic and related Communication Handicapped Children (TEACHC).

Penanganan Psikodinamik bagi Anak-Anak Autis
Menurut Bruno Bettelheim (1967, 1974), atmosfer yang hangat dan penuh kasih sayang harus diciptakan untuk mendorong si anak memasuki dunia. Kesabaran sebagai penerimaan positif tanpa syarat diyakini merupakan hal yang perlu dilakukan oleh anak autis untuk memulai mempercayai orang lain dan untuk mengambil kesempatan dalam membangun hubungan dengan orang lain.

Penanganan dengan Obat-Obatan
Obat yang paling umum digunakan adalah haloperidol, suatu obat antipsikotik yang sering digunakan untuk menangani skizofrenia. Beberapa studi menunjukkan bahwa obat ini mengurangi penarikan diri dari kehidupan sosial, perilaku motorik stereotipik, dan perilaku maladaptif, seperti melukai diri sendiri dan agresi.namun, obat ini tidak menunjukkan efek positif untuk aspek-aspek lain gangguan autistik, seperti hubungan interpersonal yang abnormal dan hendaya bahasa.
Para peneliti meneliti suatu antagonis reseptor opioid, neltrakson, dan menemukan bahwa obat ini mengurangi hiperaktivitas pada anak anak autis dan cukup meningkatkan perilaku memulai interaksi sosial. Selain itu juga menunjukkan sedikit peningkatan dalam perilaku memulai komunikasi. Namun obat tersebut tampaknya tidak berpengaru pada simtom-simtom utama autisme, dan beberapa bulti menunjukkan bahwa dalam dosis tertentu obat tersebut dapat meningkatkan perilaku melukai diri sendiri (Anderson dkk, 1997).


BAB III
KESIMPULAN
• Gangguan di masa kanak-kanak sering dikelompokkan dalam dua kelompok:
1. Gangguan eksternalisasi ditandai oleh perilaku seperti agresivitas, ketidakpatuhan, aktivitas yang berlebihan dan impulsivitas; gangguan tersebut mencakup gangguan pemusatan perhatian/ hiperaktivitas, gangguan tingkahlaku dan gangguan sikap menentang.
2. Gangguan internalisasi ditandai oleh perilaku seperti depresi, penarikan diri dari pergaulan social, dan kecemasan dan termsuk anxietas dan gangguan mood di masa kanak-kanak.
• Gangguan pemusatan perhatian/ hiperaktivitas (ADHD) adalah pola tetap tidak adanya konsentrasi dan/ hiperaktivitas dan impulsivitas yang lebih sering dan lebih parah dari yang umumnya terlihat pada anak-anak pada usia tertentu. Terdapat semakin banyak bukti mengenai factor-faktor genetic dan neurologis dalam etiologi gangguan ini. Obat-obat stimulant seperti Ritalin, dan pengutan untuk tetap mengerjakan tugas cukup efektif untuk mengurangi simtom-simtom ADHD.
• Gangguan tingkah laku kadang merupakan awal gangguan kepribadian antisocial di masa dewasa, meskipun banyak anak yang mendapatkan diagnosis tersebut tidak berlanjut ke gangguan yang lebih ekstrem tersebut. Gangguan ini ditandai dengan kadar yang tinggi dan luas dalam agresi, berbohong, mencuri, vandalism kejam terhadap orang lain yan gmelanggar hokum dan norma-norma social. Diantara factor-faktor etiologis dan risiko yang nyata adalah predisposisi genetic, pembelajaran tentang kesadaran moral yang tidak memadai, modeling dan penguatan langsung terhadap perilaku antisocial, pengaruh newgatif dari anak-anak sebaya dan tinggal di wilayah pemukiman miskin dengan angka tindak kejahatan tinggi. Pendekatan yang paling menjajikan dalam menangani anak-anak muda dengan gangguan tingkah laku mencakup intervensi intensif dalam banyak system, termasuk keluarga, sekolah, dan system pergaulan dengan anak-anak seusia.
• Gangguan perkembangan belajar didiagnosis bila seseorang anak tidak mampu berkembang hingga ke kadar yang sesuai dengan tingkat intelektualnya dalam bidang akademis tertentu, bahasa atau ketrampilan motorik.
• Criteria diagnostic tradisional untuk retardasi mental adalah fungsi intelektual dibawah rata-rata dan kurangnya perilaku adaptif, dengan onset sebelum 18 tahun. Namun, analisis kontemporer lebih memfokuskan pasa berbagai kekuatan individu dengan retardasi mental dan bukan pada penempatan mereka dalam kadar keparahan tertentu.
• Bentuk retardsi mental yang lebih parah memiliki basis biologis, seperti trisomo kromosom menyebabkan sindroma down. Beberapa penyakit infeksi tertentu yang dialami ibu hamil, seperti HIV, rubella dan sifillis serta penyakit yang langsung mempengaruhi anak, seperti ensefalitis, dapat menghambat perkembangan kognitif dan social, seperti juga malnutrisi, jatuh yang fatal, dan kecelakaan mobil yang mencederai otak. Factor-faktor lingkungan dianggap sebagai penyebab utama retardasi mental ringan.
• Para peneliti berusaha mencegah retardasi ringan pada anak-anak yang beresiko mengalaminya karena kondisi serba kekurangan dengan memberikan pelatihan khusus prasekolah dan berbagai kesempatan social.
• Gangguan autistic, salah satu gangguanperkembangan pervasive, berawal sebelum usia dua setengah tahun. Simtom-simtom utamnya adalah ketidakmampuan untuk berhubungan dengan orang lain, berbagaai masalah komunikasi, mencakup kegagalan untuk mempelajari bahasa atau ketidak wajaran bicara, seperti ekolalia dan pembalikan kata ganti; dan mempertahankan kesamaan, suatu keinginan obsesiv untuk mempertahankan rutinitas sehari-hari dan lingkungan sekelilingnya selalu sama persis.
• Gangguan autistic pada awalnya diyakini sebagai akibat dari ketidakhangatan dan pengambilan jarak oleh orangtua dan penolakan mereka terhadap anak-anak mereka, namun berbagai penmelitian mutakhir tidak memberikan bukti apapun terhadap teori semacam itu.
• Penangan yang paling menjanjikan untuk autism adalah penangan yang berciri psikologis, melibatkan prosedur modeling dan pengondisian operant. Meskipun prognosis anak-anak autistic secara umum tetap buruk, penelitian mutakhir manunjukkan bahwa penangan behavior intensif yang melibatkan orangtua sebagai terapis anak-anak mereka dapat memungkinkan beberapa anak tersebut berpartisipasi dengan penuh makna dalam hubungan social yang normal.

























Daftar Pustaka

Davison, Gerald C., dkk. 2006. Psikologi Abnorma (jilid dua). Jakarta : PT Raja Grafindo Persada
Nevid, Jeffrey S dkk. 2006. Psikologi Abnormal. Jakarta : Penerbit Erlangga.
www. puterakembara.com

Minggu, 03 Oktober 2010

NEGARA HARUS MENJAMIN KEBEBASAN BERIBADAH, BERAGAMA DAN BERKEYAKINAN

Kamis, 19 Agustus 2010 05:17
PERNYATAAN SIKAP FORUM SOLIDARITAS KEBEBASAN BERAGAMA
PERNYATAAN SIKAP
Indonesia merupakan negara majemuk, terdiri dari berbagai suku bangsa, agama maupun aliran kepercayaan yang merasa senasib untuk membentuk suatu negara yakni Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945, berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Kemajemukan dalam wujud Berbhineka Tunggal Ika ini merupakan kekayaan yang harus dipelihara sebagai alat persatuan bangsa, sebagaimana yang dicita-citakan dan diperjuangkan para pendiri bangsa kita. Dengan kemajemukan ini, tentunya negara berkewajiban dan bertanggung-jawab untuk melindungi dan menghormati setiap unsur-unsur pembentuk kemajemukan, termasuk didalamnya kebebasan beribadah, beragama dan berkeyakinan sebagai Hak Asasi Manusia yang sangat fundamental.
Tetapi kenyataan menunjukkan hal lain karena negara tidak konsisten memberikan perlindungan dan penghormatan terhadap hak atas kebebasan beribadah, beragama dan berkeyakinan bagi warganya. Hal ini dapat dilihat dari eskalasi penutupan, penyegelan dan penyerangan terhadap rumah ibadah yang dilakukan oleh negara dan non-negara, yang disebut dengan kelompok-kelompok vigilante (kelompok yang melakukan kekerasan dengan mengambil alih fungsi penegakan hukum). Dalam laporan Setara Institute pada siaran pers tanggal 26 Juli 2010 menyatakan bahwa sejak memasuki tahun 2010, eskalasi penyerangan terhadap rumah ibadah, khususnya jemaat Kristiani terus meningkat jika dibandingkan pada tahun sebelumnya. Pada tahun 2008, terdapat 17 tindakan, pada tahun 2009 terdapat 18 tindakan pelanggaran-pelanggaran yang menyasar Jemaat Kristiani dalam berbagai bentuk, tahun 2010 antara Januari - Juli terdapat 28 kasus yang sama. Berdasarkan catatan Persekutuan Gereja- Gereja di Indonesia (PGI), ada 16 kasus pelarangan beribadah dan penutupan gereja dan lembaga Kristiani tahun 2010.
Selain itu, rumah ibadah dan bangunan-bangunan pemeluk agama/keyakinan lainnya mengalami hal yang sama misalnya, pembongkaran rumah ibadah Ahmadiyah di Bogor, pembatasan ibadah jemaat Ahmadiyah di Tasikmalaya hingga pada Surat Perintah Bupati Kuningan, H. AANG HAMID SUGANDA untuk menyegel rumah ibadah Ahmadiyah pada bulan Juli 2010 di Manis Lor, Kuningan, Jawa Bara dan kasus penutupan/penyegelan rumah ibadah pemeluk agama lainnya.
Kasus terakhir menimpa Jemaat Gereja HKBP Pondok Timur Indah di Kelurahan Mustika Jaya, Bekasi Timur. Gereja ini telah berdiri selama kurang lebih 20 tahun, dan dalam kurun waktu yang sama berupaya mendirikan gedung Peribadatan / Gereja. Tetapi kenyataanya, negara melakukan ketidakadilan terhadap gereja tersebut karena rumah ibadahnya disegel Walikota Bekasi, MOCHTAR MOHAMMAD pada tanggal 01 Maret 2010 dan tanggal 20 Juni 2010, dengan alasan hanya karena adanya penolakan dari sekelompok masyarakat. Kejadian menyedihkan kembali dialami jemaat gereja tersebut dalam beberapa Minggu terakhir (11 Juli 2010, 18 Juli 2010, 25 Juli 2010, 01 Agustus 2010, 08 Agustus 2010), sekelompok massa (vigilante) berusaha menghalang-halangi bahkan melakukan penyerbuan dan kekerasan terhadap jemaat yang sedang melakukan ibadah di tanah milik gereja itu sendiri, yang terletak di Kampung Ciketing, RT 03/RW 06, Pondok Indah Timur, Bekasi Timur, Jawa Barat. Akibatnya, puluhan jemaat yang sebagian besar dari kaum perempuan menderita luka-luka, ironisnya tangisan dan jeritan warga jemaat menjadi tontonan aparat kepolisian yang datang dengan jumlah besar, yang semestinya memberikan pengamanan dan cenderung membiarkan aksi kekerasan berlangsung.
Problematika kebebasan beribadah, beragama dan berkeyakinan sebagaimana diuraikan di atas merupakan puncak gunung es, artinya bahwa kasus-kasus di atas hanya sebagian dari berbagai permasalahan yang ada. Kenyataan ini menunjukkan bahwa negara telah mengingkari nilai-nilai Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika yang mengakui dan menghargai keberagaman (pluralisme) sebagaimana dicita-citakan dan diperjuangkan para pendiri negara. Dalam ini juga negara gagal mengikat keseluruhan keberagaman (perbedaan-perbedaan) menjadi suatu persatuan.
Berbicara mengenai hak asasi manusia, dalam hal ini Negara, utamanya Pemerintah telah mengingkari Konstitusi dan peraturan hukum lainnya yang mengakui eksistensi hak atas kebebasan beribadah, beragama, dan berkeyakinan sebagaimana dimaksud dalam dalam Pasal 28E ayat (1) dan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 jo. Pasal 22 Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia jo. Pasal 18 UU. No. 12 Tahun 2005 Tentang Ratifikasi Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik jo pasal 18 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM).
Secara khusus perlu ditegaskan bahwa hak beribadah secara sendiri-sendiri atau bersama-sama di tempat tertutup atau terbuka merupakan hak asasi manusia yang dijamin dalam Konstitusi dan peraturan hukum lainnya sebagaimana disebutkan di atas.
Di sisi lain, perlu juga ditegaskan bahwa penutupan/penyegelan rumah ibadah selain melanggar hak konstitusional warga negara, dari segi kebijakan publik menunjukkan adanya kekeliruan dan kesalahan mendasar karena hal tersebut merupakan bentuk intervensi negara terhadap hak privasi warga negara. Semestinya negara lebih fokus mengurus persoalan kemiskinan, kesehatan, pendidikan, petani dan pertanian, nelayan, buruh, kaum miskin kota dan kelompok-kelompok lemah lainnya.
Refleksi Hari Kemerdekaan 17 Agustus
Hari Kemerdekaan 17 Agustus, yang akan kita rayakan beberapa hari lagi menjadi momentum tepat untuk merefleksikan eksistensi kemerdekaan yang diperjuangkan para pendiri bangsa yang terdiri dari berbagai suku bangsa dan golongan. Momentum ini juga sangat tepat untuk melihat berbagai permasalahan kebebasan beribadah, beragama dan berkeyakinan bagi pemeluk agama tertentu, sekaligus mempertanyakan eksistensi 65 tahun kemerdekaan, benarkah kita sudah merdeka? Hari Kemerdekaan 17 Agustus ini merupakan momentum tepat untuk menemukan kembali kemerdekaan yang hakiki bagi setiap warga negara, khususnya hak atas kebebasan beribadah, beragama, dan berkeyakinan.
Hari Kemerdekaan 17 Agustus seharusnya juga menjadi pembelajaran bagi negara untuk dapat memberikan perlindungan dan penghormatan terhadap hak-hak warga negara dalam melaksanakan ibadahnya, agamanya dan keyakinannya. Tanggung jawab ini dapat dilakukan dengan membuat aturan hukum dan kebijakan yang menciptakan rasa aman bagi warga negara dalam melaksanakan ibadah, agama dan keyakinannya. Ini merupakan amanat hukum dan HAM, yaitu bahwa negara mempunyai kewajiban pokok terhadap Hak Asasi warga negara yaitu: melindungi (to protect), memenuhi (to fulfill) dan menghormati (to respect) hak asasi warga negara, dimana hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan turut di dalalamnya.
Didasarkan pada uraian diatas, kami FORUM SOLIDARITAS KEBEBASAN BERAGAMA menyatakan sikap kami sebagai berikut:
1. Negara dalam hal ini Pemerintah, terutama Presiden harus bertanggung jawab untuk menjamin hak-hak warga negara untuk beribadah, beragama dan berkeyakinan yang merupakan Hak Asasi yang tidak bisa dikurangi dalam keadaan apapun (non derogable rights),sesuai dengan UUD 1945, UU. No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, UU. Nomor. 12 Tahun 20005 Tentang Ratifikasi Konvenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.
2. Negara harus menindak tegas terhadap tindakan kekerasan atas nama agama yang dilakukan oleh kelompok-kelompok vigilante /ormas radikal terterhadap penganut agama tertentu.
3. Negara harus mencabut peraturan perundang-undangan yang diskriminatif, yang membelenggu hak atas kebebasan beribadah, beragama dan berkeyakinan.
4. Negara seharusnya mengurus kepentingan publik, seperti masalah kemiskinan, pengangguran, buruh, petani, nelayan, kaum miskin kota dan kelompok-kelompok lemah lainnya, bukan mengurus urusan keagamaan yang merupakan ranah privat (pribadi)
Jakarta, 15 Agustus 2010
21 September 2010
Negara dan Kebebasan Beragama
• Oleh Abu Rokhmad
Menafsirkan ajaran agama secara anarkis tanpa melihat rambu-rambu ilmu, hukum, dan sosial dapat berpotensi menimbulkan benturan antarmasyarakat
ISTILAH aliran sesat, ajaran menyimpang, atau gerakan sempalan, sudah lama populer di lndonesia. Sebutan ini lazim dikenakan kepada orang, jamaah, aliran, atau pikiran yang dianggap aneh alias menyimpang dari akidah, ibadah, amalan, atau pendirian mayoritas umat. Karena itu, kajian tentang aliran sesat atau gerakan sempalan selalu bertolak dari suatu pengertian tentang ortodoksi atau mainstream (aliran induk).
Tanpa ortodoksi, takkan ada sempalan. Jadi, gerakan sempalan adalah aliran yang menyimpang atau memisahkan diri dari ortodoksi. Karena menyempal maka dihinakan sebagai aliran sesat dan ajarannya dianggap menyimpang. Untuk memudahkan pemahaman tesis ini, sebutlah contohnya Jamaah Ahmadiyah.
Mereka dianggap menyimpang dari aliran induk. Ajarannya sedikit berbeda tapi sangat krusial bagi aliran induk. Misalnya aliran induk mengatakan bahwa Muhammad SAW adalah nabi dan utusan terakhir, sedang Ahmadiyah berpendapat tidak demikian. Karena perbedaan itulah, mereka dianggap sesat. Lantas apa dan siapa yang salah? Bagaimanakah sejatinya kebebasan beragama?
Apa yang menimpa Ahmadiyah dapat ditarik sebagai masalah kebebasan beragama. Pejuang dan aktivis HAM selalu berdalih bahwa setiap orang bebas meyakini dan menafsirkan ajaran agamanya. Adalah HAM-nya warga Ahmadiyah untuk meyakini seperti itu. Di sisi lain, muncul kritik tajam bahwa HAM tidak identik dengan perilaku semau gue. Kebebasan beragama dan berkeyakinan harus menghindari penghinaan dan penodaan terhadap keyakinan orang lain.
Semua persoalan yang menyangkut kebebasan beragama dan berkeyakinan tidak mudah diselesaikan. Buktinya, kekerasan atas nama agama dan pemaksaan berkeyakinan masih menjadi fenomena rutin di negeri ini. Setidaknya ada tiga faktor yang membuat implementasi kebebasan beragama tidak mudah dilakukan.
Pertama, perbedaan definisi tentang apa yang dimaksud dengan kebebasan beragama dan keyakinan itu? Jika yang dimaksud adalah kebebasan untuk memeluk atau tidak memeluk suatu agama tertentu, hemat saya tidak menjadi masalah. Begitu pun bila yang dimaksud adalah kebebasan untuk membuat agama baru dan meyakininya sebagai agama yang benar, hemat saya juga tidak masalah.
Wajib Menegakkan Kedua, perbedaan definisi tentang HAM. Apakah HAM identik dengan kebebasan sebebas-bebasnya, sehingga setiap orang bebas dan berhak mengaku sebagai tuhan, rasul, dan nabi yang sedang menyampaikan risalah kepada manusia. Kebebasan beragama yang diyakini seperti ini adalah bagian dari HAM yang anarkis; identik dengan kehidupan di rimba raya. Padahal, masyarakat yang lain juga memiliki HAM yang perlu dihormati pula.

Ketiga, apa yang dimaksud dengan melindungi HAM sama saja artinya dengan melanggar sebagian HAM milik orang lain. Batas-batas HAM yang dimiliki setiap orang adalah ketika kebebasan beragama dan keyakinannya telah membuat orang lain (yang seagama dengannya) merasa tidak nyaman dan terganggu karenanya.
Tiga faktor di atas perlu dituntaskan pembahasannya agar kasus yang menimpa Ahmadiyah tidak terulang kembali. Menafsirkan ajaran agama secara anarkis tanpa melihat rambu-rambu ilmu, hukum dan sosial berpotensi menimbulkan benturan antarmasyarakat. Menafsir tentang ajaran jihad dan menyimpulkan bahwa semua orang yang menentang Islam dicap kafir dan halal darahnya adalah HAM bagi yang meyakininya. Keyakinan seperti ini pasti tidak semua orang setuju.
Dalam masalah agama dan hal-hal yang berhubungan dengannya, peran negara sesungguhnya diatur secara jelas dalam konstitusi,’’Negara menjamin kebebasan warganya menjalankan agama dan kepercayaannya masing-masing’’. Secara filosofis, jaminan ini adalah komitmen dan janji agung negara kepada warganya yang wujud konkretnya berupa disusunnya berbagai peraturan organik dan kesediaan aparatus negara mengimplementasikannya.
Dengan kata lain, sepanjang kebebasan beragama dan berkeyakinan seseorang atau kelompok tidak mengganggu kebebasan beragama dan berkeyakinan orang atau kelompok lain, maka negara tidak boleh ikut campur di dalamnya. Namun, ketika kebebasan beragama telah menimbulkan masalah di masyarakat, maka negara wajib menegakkan hukum yang berlaku. (10)

— Doktor H Abu Rokhmad MA, dosen IAIN Walisongo Semarang
Potret Buram Kebebasan Beragama
Oleh Saidiman Ahmad
Negara yang absen dalam perlindungan hak atas kebebasan beragama menjadi pintu gerbang pelbagai bentuk tindakan kekerasan dan diskriminatif terhadap penganut-penganut agama minoritas. Hal ini berkali-lipat menjadi lebih buruk ketika ternyata negara tidak sekedar absen memberi perlindungan, melainkan juga secara aktif melakukan tindakan pelanggaran.
Bagaimana merumuskan kehidupan keagamaan di Indonesia memang telah menjadi perdebatan yang tak kunjung selesai. Ketidakselesaian pembahasan itu tentu bukan khas Indonesia. Hampir seluruh negara di muka bumi ini mengalami persoalan yang sama: belum selesai merumuskan kehidupan beragama.
Beberapa Kemajuan
Namun di tengah proses yang terus berjalan itu, harus diakui bahwa Indonesia mengalami sejumlah kemajuan penting. Amandemen Undang-undang Dasar 1945 secara tegas memasukkan unsur kebebasan beragama dan berkeyakinan. Pada pasal 28 E ayat 1, 2 dan 3, pasal 28 I ayat 1 dan 2, dan pasal 29 ayat 2 UUD 1945 menyatakan tentang kebebasan warga negara untuk meyakini dan menjalankan keyakinannya masing-masing.
Pada tahun 2005, Indonesia telah meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik melalui UU No.12/2005. Kovenan ini jelas menunjukkan dukungan terhadap gagasan mengenai kebebasan beragama. Pasal 18 kovenan ini menjelaskan konsep mengenai kebebasan beragama.
Pada 25 November 1981, Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB)—di mana Indonesia adalah salah satu anggotanya—mengeluarkan resolusi Sidang Umum PBB No.36/55/1981 tentang Declaration of the Elimination of All Forms of Intolerance and of Discrimination Based on Religion or Belief. Deklarasi ini memberi dukungan kebebasan beragama secara luas baik dalam bentuk keyakinan maupun ekspresi keyakinan berupa ibadah, pendirian rumah ibadah, pendirian komunitas, dakwah, dan penyebaran gagasan melalui pelbagai media.
Perangkat hukum lain yang menjamin kebebasan beragama adalah UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pasal 4 UU ini menyebutkan bahwa hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun. Pada pasal 22 ayat 2 menyebutkan bahwa negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Diskriminasi Konstitusional
Meski mengalami kemajuan, tetapi kemajuan itu sangat terasa tertinggal jika dibandingkan dengan negara-negara maju yang secara konsisten memberi pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia, khususnya tentang hak atas kebebasan beragama. Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik, misalnya, baru diratifikasi pada tahun 2005, padahal kovenan ini telah ada sejak 1966.
Hal lain yang cukup merisaukan adalah masih adanya sejumlah perangkat UU yang diskriminatif. UU diskriminatif yang paling banyak disorot, dalam hubungannya dengan kebebasan beragama, adalah UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. UU ini pada mulanya adalah Penetapan Presiden Tahun 1965 yang kemudian statusnya diangkat menjadi UU pada tahun 1969. Pasal 1 UU tersebut menyatakan bahwa setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.
Implikasi UU No. 1/PNPS/1965 ini adalah tercantumnya delik hukum pada pasal 156 a Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang mengatur tentang pemidanaan lima tahun penjara bagi siapapun yang di muka hukum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan (a) yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia (b) dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan ke-Tuhanan Yang Maha Esa.
Gugatan Judicial Review yang dilakukan oleh sejumlah tokoh dan LSM terhadap UU No. 1/PNPS/1965 mengalami beberapa benturan konstitusional yang cukup serius. Di samping pencantuman gagasan kebebasan beragama, Konstitusi ternyata juga secara eksplisit mengandung unsur yang melegitimasi pembatasan kebebasan beragama. Pasal 28 J ayat 2 UUD 1945 menyebutkan: “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”
Di atas segalanya, dasar negara, Pancasila, sebenarnya sejak mula telah mencantumkan sila diskriminatif dan pembatasan kebebasan beragama. Sila pertama Pancasila secara tegas menyatakan: “Ketuhanan Yang Maha Esa.” Sila diskriminatif ini kemudian dipertegas oleh pasal 29 ayat 1 UUD 1945: “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi pada 2005 juga tidak tanpa masalah. Pasal 18 ayat 3 Kovenan tersebut menyatakan: “Kebebasan untuk mengejewantahkan agama atau kepercayaan seseorang hanya dapat dibatasi oleh ketentuan berdasarkan hukum dan apabila diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan atau moral masyarakat, atau hak-hak dan kebebasan mendasar orang lain.” Dengan demikian, kovenan ini membuka kemungkinan bagi pembatasan kebebasan beragama setidaknya pada lima alasan: (1) keamanan (public safety), (2) ketertiban (public order), (3) kesehatan (public health), (4) moral (public moral) dan (5) hak-hak atas kebebasan orang lain.
Fakta Kekerasan
Sepintas lalu tampak bahwa semua instrumen perundang-undangan di atas tidak memiliki persoalan pada hak sipil mengenai kebebasan beragama. Ketertiban sosial, misalnya, bahkan sangat diperlukan untuk penegakan hukum. Hanya pada kondisi di mana hukum dihormatilah kebebasan beragama bisa tercapai. Dan hanya pada kondisi normal dan stabillah penegakan hukum bisa diwujudkan.
Laporan indeks kebebasan beragama yang dilakukan sejumlah lembaga beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa persoalan kebebasan beragama justru bermula dari pendefinisian mengenai ketertiban, keamanan, dan moral sosial, juga beberapa kali dengan alasan untuk melindungi hak-hak kebebasan orang lain. Sejumlah kasus kriminalisasi terhadap kelompok minoritas dan agama-agama baru justru terjadi di atas argumen bahwa keyakinan kelompok-kelompok tersebut telah meresahkan warga dan berpotensi menimbulkan konflik sosial. UU No. 1/PNPS/1965 secara nyata digunakan dalam sejumlah bentuk kriminalisasi atas kebebasan beragama. Kasus-kasus seperti Lia Eden, Ahmadiyah, Salat Bersiul dan semacamnya dijatuhi hukuman pidana berdasarkan UU ini. Dan yang lebih mengerikan adalah bahwa UU ini telah digunakan oleh sejumlah elemen masyarakat untuk melakukan kekerasan tanpa memperoleh tanggapan serius dari negara (tidak diproses secara hukum).
Dengan demikian, pencegahan keonaran atau anarkhi yang menjadi semangat UU ini sama sekali tidak tercipta dalam penerapannya. Yang terjadi justru UU ini menjadi alat legitimasi bagi terciptanya rasa tidak aman untuk menjalan agama dan keyakinan pribadi.
Akibat lebih jauh terhadap adanya sejumlah instrumen UU yang diskriminatif adalah keterlibatan negara secara konsisten dalam kegiatan diskriminasi dan pelanggaran hak kebebasan beragama. Sejumlah data indeks kebebasan beragama yang ditunjukkan oleh sejumlah lembaga menyatakan bahwa negara sangat aktif dalam melakukan atau terlibat dalam kegiatan pelanggaran hak atas kebebasan beragama. Setara Institute merilis temuan bahwa dari 291 tindakan pelanggaran kebebasan beragama tahun 2009, 139 di antaranya dilakukan oleh negara. Wahid Institute melaporkan ada 35 kasus pelanggaran kebebasan beragama dan/atau keyakinan yang dilakukan oleh negara sepanjang tahun 2009. Moderat Moslem Society mengidentifikasi 22 dari 59 kasus intoleransi sepanjang 2009 dilakukan oleh pemerintah. Sementara Center for Religious & Cross-cultural Studies (CRCS) mengidentifikasi sejumlah kasus di mana negara juga terlibat aktif seperti persoalan seputar rumah ibadah dan Ahmadiyah.
Temuan-temuan ini semakin mempertegas bahwa negara tidak hanya absen di dalam perlindungan hak-hak kebebasan beragama, melainkan juga secara aktif melakukan tindakan pelanggaran kebebasan beragama. Aktivitas negara melanggar kebebasan beragama tersebut dilakukan dalam bentuk tindakan aktif (by commission) dan pembiaran (by omission). Yang mengejutkan adalah bahwa tindakan aktif di mana aparatus negara berinisiatif melakukan pelanggaran sangat dominan. Dari 139 pelanggaran negara yang dilaporkan oleh Setara, 101 di antaranya dilakukan dalam bentuk keterlibatan aktif (by commission).
Kondisi semacam ini sangat merisaukan. Negara yang absen dalam perlindungan hak atas kebebasan beragama menjadi pintu gerbang pelbagai bentuk tindakan kekerasan dan diskriminatif terhadap penganut-penganut agama minoritas. Hal ini berkali-lipat menjadi lebih buruk ketika ternyata negara tidak sekedar absen memberi perlindungan, melainkan juga secara aktif melakukan tindakan pelanggaran. Pantauan yang dilakukan oleh Setara Institut dalam tiga tahun terakhir menunjukkan grafik yang bergerak naik. Meski lebih banyak pelanggaran yang terjadi pada tahun 2008 di banding tahun 2009, namun jika ditarik garis dari tahun 2007 sampai 2009, maka akan ditemukan trend pelanggaran yang menaik.
Melihat fakta-fakta hukum yang ada, tampaknya kelompok-kelompok minoritas masih tetap harus dirundung malang dalam jangka waktu yang lama. Salah satu sumber petaka diskriminasi, UU No. 1/PNPS/1965, memang sedang dibahas oleh Mahkamah Konstitusi. Tetapi belum lagi MK memberi keputusan, Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) baru sedang disusun dan diusulkan untuk ditetapkan. RUU ini secara terperinci mengurai pembatasan kebebasan beragama.
Tentu kita mengharapkan terpenuhinya hak-hak kebebasan warga secara penuh, namun tampaknya kita mesti lebih banyak bersabar.
Kebebasan Beragama Kisah Negara
Pertanyaan yang Sering Diajukan
Berikut adalah beberapa pertanyaan yang sering diajukan tentang hasil dari sebuah negara Restorasi Undang-Undang Kebebasan Beragama.
What is a Religious Freedom Restoration Act? Apa yang dimaksud dengan Restorasi Undang-Undang Kebebasan Beragama?
Sebuah Kebebasan Beragama Restorasi Act (RFRA) membangun kembali tes yang pengadilan harus digunakan untuk menentukan apakah keyakinan keagamaan seseorang harus diakomodasi bila tindakan pemerintah atau peraturan melarang praktek agama nya. Dikenal sebagai "uji bunga menarik," mengharuskan tes ini pemerintah untuk membuktikan dengan bukti bahwa regulasi adalah (1) penting untuk mencapai suatu kepentingan pemerintah yang menarik dan (2) cara pembatasan paling tidak untuk mencapai's menarik bunga pemerintah.
Menggunakan "Tes bunga menarik," dibutuhkan pengadilan negara untuk menunjukkan bahwa (1) sertifikasi guru sangat penting untuk memenuhi's menarik kepentingan negara bahwa anak-anak dididik dan (2) bahwa sertifikasi guru adalah alat pembatasan paling tidak untuk memenuhi bunganya.
Negara itu mampu menunjukkan tanpa kesulitan banyak sehingga memiliki minat yang menarik dalam melihat warganya dididik. Tapi karena pasangan anak-anak ini adalah penilaian di atas persentil ke-90 pada tes standar, negara tidak bisa membuktikan sertifikasi guru sangat penting bagi anak-anak untuk dididik dan cara-cara pembatasan paling tidak untuk mencapai tujuan itu.
Dengan demikian, karena negara tidak bisa memuaskan "uji bunga menarik," orang tua diizinkan untuk melanjutkan mengajar anak-anak mereka sesuai dengan keyakinan agama mereka
Mengapa negara RFRA yang dibutuhkan?
Sebelum tahun 1990 Mahkamah Agung AS digunakan uji-atas "menguji kompetensi menarik"-ketika memutuskan klaim keagamaan. Namun, dalam keputusan 1990 (Pekerjaan Div. Of Oregon v. Smith) Pengadilan memiringkan timbangan keadilan dalam mendukung peraturan pemerintah. Pengadilan membuang uji bunga menarik, yang terlindung kebebasan beragama kita dari peraturan pemerintah berat selama lebih dari 30 tahun.
Keputusan Smith mengurangi standar review dalam kasus-kasus kebebasan beragama ke. Dalam "lain kata" standar kewajaran, jika peraturan negara adalah "wajar" (yang mereka hampir selalu adalah), seorang penentang agama kehilangan. Sementara semua hak-hak dasar lainnya (kebebasan berbicara, pers, perakitan, dll) tetap dilindungi dengan ketat "test bunga menarik," dipilih Mahkamah keluar kebebasan beragama, mengurangi perlindungan kepada yang lemah "uji kewajaran."
Pada tahun 1993, Kongres berusaha untuk memperbaiki keputusan Smith dengan memberlakukan Agama Kebebasan Restorasi federal Undang-Undang. Undang-undang ini hanya memulihkan "menguji kompetensi menarik" dalam kasus-kasus kebebasan beragama. Empat tahun kemudian, RFRA federal telah tertimpa oleh Mahkamah Agung AS di Kota 1.997 kasus Boerne.
Sebagai masalah praktis, berikut adalah kehidupan nyata beberapa contoh pemerintah membatasi latihan bebas dari agama yang telah terjadi di bawah "uji kewajaran."
Di antara konflik peraturan zonasi lain, pelayanan gereja untuk tunawisma ditutup karena terletak di lantai dua gedung dengan lift no.
d) Sebuah gereja dilarang oleh peraturan kota setempat dari makan lebih dari 50 orang per hari.
e) Justice Fellowship reports that a Jewish minimum-security prisoner (CPA in jail for fraud, in 6th year of 8-year term) was denied the right to attend high holy day celebrations. e) Keadilan Fellowship melaporkan bahwa seorang tahanan minimum-security Yahudi (BPA di penjara untuk penipuan, dalam jangka waktu 6 tahun 8 tahun) adalah ditolak haknya untuk menghadiri perayaan hari kudus tinggi.
Bagaimana suatu negara menetapkan suatu hukum RFRA jika Mahkamah Agung AS telah memutuskan UU inkonstitusional?
1993 RFRA federal mencoba untuk menggunakan 'kekuasaan Kongres dalam Bagian 5 dari 14 Perubahan ke untuk meminta baik pemerintah federal dan negara untuk menggunakan "menguji kompetensi menarik" dalam kasus-kasus kebebasan beragama.
Namun, ketika Mahkamah Agung memukul RFRA federal pada tahun 1997 (Kota Boerne ay Flores), masalah tidak dengan itu, AS oleh Mahkamah Agung menarik "kepentingan tes." Uji telah digunakan, seperti yang disebutkan sebelumnya sendiri selama lebih dari 30 tahun. Sebaliknya, sementara Mahkamah Agung mengakui legitimasi "uji bunga menarik," Kongres memutuskan seperti itu tidak dapat meminta negara untuk menggunakan tes ini dalam kasus-kasus kebebasan beragama.
Berdasarkan prinsip ini dan keputusan Boerne, negara-negara bebas untuk menetapkan RFRAs mereka sendiri, sehingga memilih untuk menerapkan "bunga yang lebih tinggi" menarik uji standar dalam agama sendiri kasus kebebasan mereka.
Akankah negara Undang-Undang Kebebasan Beragama menciptakan peningkatan litigasi?
No RUU ini hanya akan mengembalikan "uji bunga menarik," mana Mahkamah Agung AS didirikan hampir 40 tahun lalu sebagai standar review untuk kasus-kasus hak-hak dasar.
Ini "menguji kompetensi menarik" bekerja dengan baik selama lebih dari 30 tahun tanpa ledakan kasus kebebasan beragama. Penerapan yang konsisten dari "menguji kompetensi menarik" di pengadilan "menyamakan lapangan bermain," memberikan orang-orang beriman religius tulus kesempatan yang adil terhadap peraturan negara yang melanggar keyakinan agama mereka. Sering kali, kedua organisasi konservatif dan liberal kebebasan beragama dan sipil berhasil menggunakan "menguji kompetensi menarik" untuk membela hak-hak individu untuk secara bebas melaksanakan keyakinan agama mereka.
Seperti disebutkan di atas, RFRA federal, yang memulihkan "menguji kompetensi menarik" dalam kasus-kasus kebebasan beragama, ini berlaku efektif dari ditetapkannya pada tahun 1993 sampai Mahkamah Agung AS memukul ke bawah pada tahun 1997. Tidak ada catatan dari sebuah ledakan di litigasi kebebasan beragama selama periode empat tahun.
Selanjutnya, dua belas negara telah secara resmi lulus RFRAs untuk secara khusus mengembalikan aplikasi dari "menguji kompetensi menarik" dalam kasus-kasus kebebasan beragama (AL, AZ, CT, FL, ID, IL, NM, OK, PA, RI, SC, TX). Tujuh negara lebih, melalui preseden pengadilan negeri, telah membentuk sebuah "uji bunga menarik" independen Mahkamah Agung AS merusak diutamakan dalam Smith dan Boerne (KS, MA, MN, OH, VT, WA, WI, dan MI.) Tidak ada negara ini mengalami ledakan dalam litigasi latihan bebas.
Berdasarkan kurangnya contoh litigasi berlebihan selama hampir 30 tahun pengalaman menggunakan "uji bunga menarik" untuk kebebasan beragama (baik sebelum keputusan Smith dan selama tahun RFRA federal), kami percaya bahwa memulihkan tes ini akan menghasilkan sangat sedikit, jika ada litigasi, baru.. Bahkan, menjelaskan standar untuk kebebasan beragama menurut hukum negara mungkin terbukti mengurangi jumlah litigasi, karena hukum standar yang ditetapkan secara jelas sering menyebabkan pihak untuk menyelesaikan sengketa sebelum terjadi kemudian litigasi.
Apakah ini juga meningkatkan biaya untuk kantor pengacara umum dalam membela pejabat negara?
"menguji kompetensi menarik" bukanlah hal baru. It has been in effect for most of the last 40 years. Telah berlaku untuk sebagian besar 40 tahun terakhir.. dan pejabat negara belum dibanjiri dengan setelan kebebasan beragama.
Tak satu pun dari negara-negara yang telah melewati negara RFRA pernah mengalami tanda ledakan kasus kebebasan beragama, termasuk Rhode Island di mana hukum adalah sembilan tahun. "menguji kompetensi menarik" adalah waktu-diuji.
Selanjutnya, "menguji kompetensi menarik" hanyalah sebuah "uji balancing." Hal ini tidak memberikan sebuah agama pengadu menang otomatis. Ini hanya "GENAP lapangan bermain" untuk si kecil.
Apakah keadaan RFRA mengganti semua obat yang ada untuk melindungi kebebasan beragama?
No negara Sebuah RFRA hanya menciptakan sebuah "lagu" tambahan yang seorang penuntut agama dapat digunakan untuk melindungi latihan bebas tentang agama. State constitutional and federal constitutional remedies are still available. solusi konstitusional Negara konstitusional dan federal masih tersedia.
Apakah ada masalah dengan kurangnya definisi untuk "keyakinan agama"?
Isu pertama adalah keprihatinan atas tidak adanya definisi keyakinan agama.
Ada tubuh besar kasus hukum yang berkaitan dengan definisi Hukum Kebebasan Beragama "agama. (" Untuk rangkuman yang baik dari kasus hukum melihat Carl H. Esbeck A dari Penyajian Kembali tersebut, Mahkamah Agung: Coherence, Konflik, atau Chaos? , Sebagai contoh, di AS v. Seeger, 380 US 163, 176 (1965), Mahkamah Agung AS keyakinan agama didefinisikan sebagai "dan bermakna keyakinan tulus yang menempati dalam kehidupan pemiliknya tempat yang sejajar dengan yang diisi oleh Allah."
Para perancang tahun 1993 RFRA federal dianggap mendefinisikan "agama" tetapi memutuskan untuk tidak melakukannya terutama karena Mahkamah Agung AS telah melakukannya. Karena Mahkamah Agung AS telah didefinisikan keyakinan agama dalam puluhan kasus dengan kejelasan yang cukup, tidak perlu untuk mendefinisikan itu dalam keadaan RFRA.
Para setan hipotesis yang ditolak akses ke sekolah bisa membuat klaim di bawah Klausul Pidato Free, Klausul Bebas Latihan, dan Equal Access Act. Kasus mereka mungkin akan dipertimbangkan di bawah Undang-Undang Equal Akses dan Amandemen Pertama's Free Speech hukum latihan Ayat-tidak bebas. Di bawah Akses Equal Act (berlaku sejak 1984), jika sekolah memungkinkan satu kelompok noncurriculum bertemu, maka harus membiarkan semua kelompok noncurriculum bertemu. Ketika Kongres sedang mempertimbangkan Equal Access Act, orang-orang khawatir bahwa hal itu akan menyebabkan ledakan setan, Nazi, dan membenci kelompok-kelompok yang ingin bertemu dan berorganisasi di sekolah, namun, ini "ledakan" belum terjadi.
Dalam Klausul Pidato Free Amandemen Pertama, ekspresi keagamaan menerima tingkat perlindungan yang sama sebagai ekspresi nonreligius. hak berbicara bebas adalah dasarnya pagu hak latihan bebas. Standar ulasan untuk kasus-kasus kebebasan berbicara adalah "kepentingan tes menarik" memberikan individu-individu yang menggunakan hak mereka untuk kebebasan berbicara tingkat tertinggi perlindungan. Lihat Heffron v. Int'l Masyarakat Kesadaran Krishna, 452 US 640, 652-53 (1981) (ajakan pada adil dasar negara).
Jadi, sekali sekolah memungkinkan Persekutuan Kristen Atlet bertemu setelah jam kerja, maka harus membiarkan kelompok lain. Ini adalah kasus terlepas dari standar hukum latihan bebas. Sekolah tidak bisa membedakan antara kelompok-kelompok kecuali sejauh yang dibutuhkan untuk mengatur pidato mengganggu. See, eg, Tinker v. Des Moines , 393 US 503 (1969). Lihat, misalnya, Tinker v. Des Moines, 393 US 503 (19
By Christopher J. Klicka, Senior Counsel for Home School Legal Defense Association. Oleh Christopher J. Klicka, Penasihat Senior untuk Home Sekolah Dasar Hukum Pertahanan. Permission to reprint granted. Izin untuk mencetak ulang diberikan.